Pemilihan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Badan Pemeriksa Keuangan menunjukkan kualitas demokrasi.
Terpilihnya Puan Maharani, sebagai Ketua DPR (2019-2024), punya legitimasi kuat. Puan menjadi Ketua DPR perempuan pertama terpilih karena undang-undang mengharuskan demikian. UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyatakan, pimpinan DPR adalah partai politik pemenang pemilu. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan adalah pemenang Pemilu 17 April 2019 dan menugasi Puan Maharani sebagai ketua DPR. Puan juga menjadi legislator yang memperoleh suara terbanyak di daerah pemilihannya.
Di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terpilih La Nyalla Mattalitti, anggota DPD dari Jawa Timur, sebagai Ketua DPD. Pernah dikaitkan dengan kasus korupsi, tetapi bebas di pengadilan, terpilihnya La Nyalla boleh jadi mengejutkan. Dia menyingkirkan nama "senator lain" yang sudah terlebih dahulu eksis di DPD, seperti Nono Sampono dan Gusti Kanjeng Ratu Hemas.
Nama anggota DPD dari Jakarta, seperti mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie, bahkan tenggelam dalam "permainan" demokrasi di DPD. La Nyalla, Ketua Umum PSSI 2015-2016, meraih 47 suara dari 134 anggota DPD. Adapun Nono meraih 40 suara, Mahyudin 28 suara, dan Sultan Bahtiar 18 suara. MPR kini punya sepuluh unsur pimpinan.
Untuk lembaga negara lain, DPR mengesahkan lima unsur pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Politisi Gerindra yang mantan aktivis, Pius Lustrilanang, mendapat suara paling banyak, yakni 43 suara; disusul politisi PDI-P, Daniel Lumban Tobing (42 suara); pejabat BPK, Hendra Susanto (41 suara); politisi dan anggota BPK, Ahsanul Qosasi (31 suara); dan Harry Azhar Azis (29 suara). Harry adalah Ketua BPK 2014-2019. Politisi mendominasi.
Hasil dari demokrasi elitis itu yang kini kita terima. Sebagai sebuah sistem, demokrasi memang tidak otomatis menghasilkan sosok ideal yang sesuai dengan harapan rakyat. Sosok yang bisa memberikan kenyamanan sosial-politik dan citra bagi rakyat. Demokrasi yang diartikan dalam arti pemungutan suara—one person one vote—membuka kemungkinan terpilihnya sosok-sosok yang justru antidemokrasi. Yang justru patut menjadi refleksi kita bersama adalah kecocokan demokrasi yang sedang kita praktikkan dengan prinsip musyawarah-mufakat yang menjadi salah satu sila di Pancasila.
Rakyat hanya bisa menatap bagaimana para elite politik menggunakan demokrasi untuk berbagi kursi kekuasaan. Semoga tren ini tidak mengarah pada apa yang dikatakan John Keane, seorang profesor politik dari Inggris, sebagai "matinya demokrasi". Demokrasi telah mati, tinggal simbol kosong tak berarti. Demokrasi bukan lagi hidup dari kehendak rakyat, melainkan kehendak politisi itu sendiri.
Wajah lembaga akan ditentukan siapa pemimpinnya. Kita berharap para pemimpin lembaga itu memproduksi pikiran menerobos untuk memperkuat nation-state Indonesia dan bukan hanya jargon-jargon kosong tak bermakna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar