Feliciana Soares memukul-mukul dadanya. Suaranya terdengar parau ketika menembangkan ratapan dalam bahasa Tetun Terik.
Sesekali bahkan suara itu menghilang, yang terdengar kemudian isakan yang berlarat-larat seolah memukul sunyi di sekitarnya. Tak ada yang menjawab, kecuali entakan suara tihar yang dipukul lima gadis lainnya.
Feliciana sampai sekarang menjadi warga negara Timor Leste meski ia tinggal di wilayah Indonesia, dekat perbatasan yang letaknya tak jauh dari Kota Atambua, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur.
Ketika terjadi referendum tahun 1999 dan Timor Timur berdiri sebagai negara sendiri, ayah Feliciana memilih menjadi warga negara Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai tentara, ayahnya harus bermigrasi ke wilayah Belu. Sementara Feliciana masih berada di wilayah Timor Leste.
"Sampai sekarang banyak saudara yang hidup terpisah," katanya seusai pertunjukan tari Ibuibu Belu: Bodies of Borders karya koreografer kondang Eko Supriyanto, Kamis (6/2/2020), di Teater Salihara Jakarta.
Kondisi sekarang, kata Feliciana, jauh lebih kondusif. Berbeda dengan masa-masa awal berdirinya negara Timor Leste. Ia selalu kesulitan berkumpul bersama keluarga, terutama untuk menjalankan ibadah saat-saat perayaan hari suci seperti Natal.
"Badan ini bolak-balik perbatasan dan selalu alami banyak pembatasan," kata Feliciana.
Itulah sebabnya, ketika ia meratap sambil memukul dadanya, yang keluar justru ingatan-ingatan tentang keterpisahan akibat peristiwa politik. Tubuh terpaksa mengikuti alur perkembangan politik, yang tak jarang justru membuatnya menjadi termarjinalkan dari wilayah sosial.
Ratapan yang dilantunkan Feliciana berisi pesan tentang kepergian seseorang yang amat dicintainya. Perpisahan itu membuatnya menderita seumur-umur, seolah-olah dunia ini sudah berakhir.
Eko Supriyanto lebih dari dua tahun bolak-balik Solo-Atambua untuk melakukan riset dan kemudian merekomposisi tari likurai, sebuah tarian massal, wahana persaudaraan di kawasan perbatasan.
Dulu, kata Eko, likurai ditarikan sebagai ritus penyambutan para lelaki yang pulang berperang. "Semua penarinya perempuan yang selama ini menanti dengan harap-harap cemas para lelaki mereka yang pulang perang," kata Eko Pece, sapaan akrab koreografer asal Solo ini.
Bukanlah secara kebetulan ketika ia menemukan kata lokal "belu" yang berarti persaudaraan atau persahabatan. Dulu, wilayah Atambua dihuni empat suku yang nyaris selalu berperang satu sama lainnya.
Pada suatu masa, suku-suku menyadari bahwa perang hanya berakibat buruk bagi kelangsungan hidup mereka. Disebutkanlah katabelu, yang kemudian menjadi nama kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang sekarang berbatasan dengan wilayah Timor Leste.
Sesungguhnya, kata Eko, di balik keterpisahan akibat peristiwa politik, tubuh-tubuh warga sejak dahulu merelasikan tentang kedekatan. Sebagian besar warga Atambua, terutama di desa-desa dekat perbatasan dengan Timor Leste, adalah orang-orang yang memiliki keluarga yang terpisahkan batas-batas negara.
"Tubuh-tubuh itu menjadi menderita akibat peristiwa politik, padahal mereka sedarah," kata Eko, yang pernah menjadi penari dalam Drowned World Tour Madonna (2001).
Tubuh warga perbatasan Belu-Timor Leste adalah tubuh-tubuh traumatik. Ketika mengikrarkan Theater of Cruelty tahun 1936, Antonin Artaud mengacu kepada teater tari Bali yang ia saksikan saat Paris Colonial Exposition tahun 1931.
Saat itu rombongan kesenian dari Hindia Belanda, salah satunya membawakan tarian Bali, yang menunjukkan tubuh-tubuh sedang mengalami trance. Artaud berpandangan, teater harus melepaskan beban manusia dari rasa sakit dan tertindas.
Seorang aktor (seniman) harus mengeluarkan energi instingtif dalam dirinya. Pelepasan beban itu akan muncul sebagai rintihan, teriakan, serta gerak-gerak bebas yang diwakili boneka-boneka besar.
Sebagai penganut teater surealistik, Artaud sepenuhnya mengacu kepada teori Sigmund Freud. Bahwa apa yang dilakukan manusia di dunia ini hanyalah sebuah kepalsuan.
Ada sesuatu yang "tertutup" di dalam dirinya, yang terjadi karena tekanan-tekanan selama biografi hidupnya. Dalam istilah eksistensialis Martin Heidegger, manusia mengalami keterlemparan di dunia ini, yang kemudian mengakibatkan anguish.
Anguish tak lain adalah kecemasan dan ketakutan akan masa depan, termasuk kamatian. Kecemasan-kecemasan yang dikubur dalam alam bawah sadar, menyebabkan manusia menderita kepribadian yang rapuh sehingga mudah meledak pada situasi tertentu.
Dalam teater kekerasan yang diusung Artaud, sutradara asal Perancis, para aktor diharapkan menjadi simtom, sebuah gejala yang memperlihatkan struktur dalam jiwa manusia.
Artaud berharap simtom itu kemudian menebar kepada setiap penonton, yang hampir selalu tak berjarak dengan para aktor di panggung. Konsep ini mengacu kepada pengertian kalangandalam teater-teater tradisional Bali, di mana aktor dan penonton berada dalam simtom yang sama.
Oleh sebab itulah, sebuah pementasan bergerak menjadi "ritus" kontemporer, sebuah upacara bersama untuk pembersihan batin dan tubuh yang traumatik.
Eko Supriyanto tak sepenuhnya menyebut pementasannya sebagai pertunjukan teater. Ia tetap mengacu kepada bidang keahliannya sebagai koreografer. Ibuibu Belu: Bodies of Borders, katanya, berangkat dari ritus lokal yang coba ia angkat ke ranah global.
Likurai pada dasarnya adalah seruan persaudaraan dengan membentuk ruang-ruang arsir kesepahaman di antara bebukitan perbatasan Belu dan Timor Leste. "Ritus itu biasanya ditarikan oleh ribuan perempuan sembari melantunkan tembang-tembang ratapan," kata Eko.
Secara global, kata Eko, dalam setiap lawatannya ke daratan Eropa, ia senantiasa dihadapkan pada realitas absurd yang menimpa begitu banyak orang di tenda-tenda darurat pengungsian.
Tubuh-tubuh para pengungsi dari Timur Tengah itu, misalnya, tak hanya berhadapan dengan cuaca dingin dan kekurangan makanan di dalam tenda-tenda yang bocor dan kumuh, tetapi lebih-lebih dengan tekanan politik militer yang keras. Para pengungsi akhirnya harus menyangga tubuh-tubuh mereka yang diselimuti rasa trauma berpanjangan.
Perang dan perbedaan ideologi umumnya telah menggiring tubuh manusia menjadi marjinal. Ia terpinggirkan secara fisik dan terasing secara psikis. Paduan keduanya itulah yang menurut Freud, membuat peristiwa sehari-hari adalah kepalsuan belaka.
Secara instingtif, setiap manusia menyimpan beban trauma masa lalu, yang bisa disalurkan lewat mimpi. Pada posisi ini, Artaud sesungguhnya memperlakukan teater sebagai medium katarsis, karena ia mengeduk elemen paling archaistis dari diri manusia, untuk kemudian secara bersama-sama dibersihkan.
Eko memang tak sejauh itu. Ibuibu Belu: Bodies of Borders akan dan telah menjalani tur dunia menuju Yokohama (Jepang), Utrecht (Belanda), Munster (Jerman), dan Melbourne (Australia).
Ia selalu akan membawa Feliciana Soares, Adriyani Sindi Manisa Hale, Angela Lavenia Leki, Evie Anika Novita Nalle, Marlince Ratu Dabbo, dan Yunita Dahu.
Keenam penari yang menetap di Atambua ini, dalam kacamata Eko, mewakili tubuh-tubuh yang "mengidap" sindrom keterbelahan akibat peristiwa politik yang tak mereka pahami. Keterbelahan itu menyimpan rasa sakit, penderitaan, dan dendam tak berkesudahan.
"Mungkin situasi perbatasan Indonesia-Timor Leste sekarang berangsur kondusif. Tetapi siapa yang bisa menera rasa trauma di kedalaman jiwa para warga di perbatasan," kata Eko retorik.
Ia mendapat cerita, sungai yang memisahkan antara Desa Motaain, Atambua dengan Distrik Bobonaro, Timor Leste, dahulu menjadi arena perang dan pembataian antarwarga Timor yang sebenarnya memiliki pertalian darah kental. Peristiwa politik yang menyebabkan banyak warga menjadi korban itu seolah kembali terulang di Tanah Air, setelah berbagai peristiwa berdarah sebelumnya.
Ibuibu Belu: Bodies of Borders sebenarnya sebuah pementasan sederhana. Likurai yang menjadi basis pengembangan tarian ini mengutamakan kekompakan dalam jelajah ruang dan pemukulan tihar dengan berbagai gaya.
Kekompakan dalam berbagi ruang serta entakan bunyi tihar bukankah memberi asosiasi pada seruan perdamaian?
Kehadiran para pengungsi di daratan Eropa, termasuk Asia, akibat perang, adalah peristiwa kemanusiaan yang menyentuh sisi-sisi rasa keadilan tentang berbagi ruang. Ruang-ruang damai sudah seharusnya ditepuk bak tihar sehingga membahana ke dalam hati para jelata yang menjadi korban kekerasan.
Sederhana, tetapi menyentuh rasa kemanusiaan paling hakiki dalam diri setiap orang. Barangkali kalimat itulah yang paling tepat menggambarkan kelembutan perasaan ibu-ibu dari Belu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar