Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 16 April 2020

PERILAKU: Mengapa Manusia Gemar Mengusap Wajah? (M ZAID WAHYUDI)


ILUSTRASI: KOMPAS/ILHAM KHOIRI

M Zaid Wahyudi, wartawan Kompas

Sejak virus korona baru merebak di sejumlah negara, imbauan untuk menggunakan masker di tempat umum, mencuci tangan, hingga tidak menyentuh wajah berulang kali  digaungkan. Upaya itu diharapkan bisa mencegah penularan virus hingga pandemi dapat segera diakhiri.

Menggunakan masker dan mencuci tangan relatif mudah dilakukan banyak orang. Tak heran jika masker dan antiseptik pembersih tangan jadi buruan. Namun, menghindari mengusap wajah dengan tangan relatif sulit dilakukan karena manusia sudah menyentuh wajahnya sejak sebelum lahir atau ketika masih janin.

Sulit untuk mengabaikan rasa gatal yang muncul tiba-tiba di hidung meski gatal itu sebenarnya bukan tanda sebuah penyakit, seperti pada orang yang terkena flu atau alergi debu. Demikian pula untuk tidak mengucek mata saat gatal mendera walau jika sedikit bersabar gatal itu biasanya akan hilang.

HUMAS PEMKOT SURABAYA

Grafis Sosialisasi Antisipasi Penyebaran Virus Korona di Kota Surabaya, Jawa Timur

Tanganmu bukan sahabatmu. Meski otoritas kesehatan sudah melarang, kawan dan keluarga juga mengingatkan bahwa kebiasaan mengusap wajah itu membuka jalan bagi penularan virus korona baru pemicu Covid-19, nyatanya dorongan untuk mengusap wajah tetap muncul.

Studi Alejandro Ernesto Macias Hernandez dan kawan-kawan dari Universitas Guanajuato, Meksiko, yang dipublikasikan di The Journal of Hospital Infection, September 2009, menunjukkan, selama pandemi flu babi (H1N1) pada 2009, masyarakat awam rata-rata mengusap wajah mereka 3,3 kali per jam.

Bukan hanya masyarakat awam yang susah disuruh untuk tidak mengusap wajah mereka. Para profesional kesehatan yang lebih memahami risiko mengusap wajah dengan tangan pun sulit untuk mengelak dari dorongan hati untuk mengusap wajah mereka.

Studi Yen Lee Angela Kwok dkk di Sekolah Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Komunitas, Universitas New South Wales, Australia, yang dipublikasikan di American Journal of Infection Control, 1 Februari 2015, menunjukkan, mahasiswa kedokteran yang sudah dilatih tentang pencegahan penyakit menular masih mengusap wajah mereka 23 kali dalam sejam atau satu kali setiap 2,5 menit.

Dari pengusapan muka yang mereka lakukan, 44 persennya menyentuh bagian wajah yang memiliki selaput lendir atau mukosa, seperti mulut, hidung, mata, atau gabungan ketiganya.

Lisa menunjukkan masker batik yang diproduksi oleh pekerjanya dari kaum difabel di Kedungmundu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (14/4/2020). Penggunaan masker bisa mengurangi risiko penularan virus korona baru melalui droplet ataupun mengusap wajah.

Bukan hanya manusia

Bukan hanya manusia. Kebiasaan menyentuh wajah ternyata juga dimiliki sejumlah mamalia, seperti anjing yang menutupi hidungnya dengan kaki depan dan kucing yang menutupi matanya dengan cakar saat tidur.

AL Steiner dalam Canadian Journal of Zoology, 1973, menyebut kebiasaan bajing atau tupai dan sejumlah binatang pengerat lain mengusap wajahnya terkait dengan aroma. Kebiasaan itu merupakan bagian dari upaya untuk menyebarkan aroma yang dihasilkan kelenjar sekresi mereka ke seluruh tubuh.

Sementara itu, studi S Dimond dan R Harries dalam Neuropsychologia, 1984, menunjukkan, gorila, orangutan, dan simpanse memiliki frekuensi menyentuh wajah yang setara dengan manusia. Semua primata itu cenderung mengusap wajahnya dengan tangan kiri.

Penggunaan tangan kiri untuk mengusap muka pada manusia itu diduga karena manusia lebih sering mengekspresikan emosinya melalui wajah sebelah kiri. Penggunaan tangan kiri itu merupakan perintah otak sebelah kanan untuk mempertinggi efek emosi yang ingin ditunjukkan wajah sisi kiri.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas satpam MRT mengenakan masker dan pelindung wajah saat berjaga di akses pintu masuk Stasiun MRT Dukuh Atas, Jakarta Pusat, Rabu (15/4/2020). Menggunakan masker menjadi salah satu upaya para pekerja ini agar terhindar dari penularan virus korona tipe baru selama beraktivitas di luar rumah.

Lantas, mengapa sulit menghentikan perilaku mengusap wajah meski sebagian orang paham bahwa tindakan itu berisiko kesehatan, termasuk menularkan penyakit infeksi pernapasan, seperti influenza atau Covid-19?

William Sawyer, dokter keluarga dan pendiri organisasi nirlaba yang mempromosikan kebersihan tangan, Henry the Hand, mengakui, sulit untuk mengubah kebiasaan mengusap wajah. Bahkan, banyak orang tidak sadar telah melakukannya.

"Ini merupakan persoalan kebiasaan dan kebiasaan itu sulit diubah," kata Sawyer, seperti dikutip Washingtonpost.com, 3 Maret 2020. Dorongan menyentuh wajah itu semula berasal dari munculnya rasa gatal atau iritasi. Nyatanya, usapan itu memberikan rasa nyaman hingga akhirnya berkembang menjadigerenyet alias gerak spontan saraf.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA

Ilustrasi. Untuk mencegah penyebaran Covid-19, umat Hindu menggunakan masker saat akan mengikuti upacara Melasti di Petirtaan Jolotundo, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, Minggu (22/3/2020). Umat yang hadir pun menjalani pemeriksaan kesehatan yang ketat.


Kebiasaan sejak janin

Psikolog Kevin Chapman yang juga pendiri dan Direktur Pusat Kecemasan dan Gangguan Terkait Kentucky, Amerika Serikat, seperti dikutip Livescience, Sabtu (28/3/2020), mengatakan, mengusap wajah adalah kebiasaan paling umum pada manusia.

Tak hanya kebiasaan sejak masih dalam janin, sepanjang hidup mereka, manusia diajarkan untuk sering menyentuh wajahnya, mulai dari menyikat gigi, merias wajah, hingga menata rambut. Semua rutinitas itu membawa manusia pada kebiasaan menyentuh wajahnya secara tidak disengaja dan tanpa disadari.

Namun, pengusapan wajah bukan soal pengulangan semata, tetapi juga kekaguman pada penampilan atau citra diri. "Mengusap wajah juga menjadi kebiasaan untuk memastikan wajah kita muncul dengan cara tertentu di hadapan orang lain," katanya.

Adanya sisa makanan di sekitar mulut, daki yang menempel di kening, atau noda di pipi bisa mengurangi citra diri: dianggap jorok, tidak bisa menjaga kebersihan, hingga tidak peduli pada penampilan. Karena itu, mengusap wajah juga menunjukkan seseorang sadar diri di hadapan orang lain.

KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Ilustrasi. Calon presiden nomor urut 01, Joko Widodo, mengusap peluh yang membasahi wajahnya saat menghadiri Rapat Umum Pemenangan #01 di Gedung Olahraga Kedopok, Kota Probolinggo, Jawa Timur, Rabu (10/4/2019).

Walau kebiasaan mengusap wajah sering dilakukan oleh siapa pun, mereka yang memiliki gangguan kecemasan akan lebih sering mengusap muka mereka.

Martin Grunwald dari Institut Paul-Flechsig (PFI) untuk Riset Otak, Universitas Leipzig, Jerman, dan kawan-kawan, dalam publikasinya diBrain Research, 4 April 2014, mengatakan, gerakan berulang menyentuh wajah secara spontan itu akan lebih sering dilakukan saat seseorang menghadapi tekanan. Gerakan-gerakan yang biasanya dilakukan dengan sedikit atau tanpa kesadaran itu tidak dirancang sebagai alat komunikasi.

"Menyentuh wajah dengan tangan secara spontan membantu seseorang mengatur emosi mereka," tulis peneliti, seperti dikutip Wired, 10 Maret 2020.

Seseorang dengan tingkat neurotisme atau kestabilan emosi tinggi yang membuat mereka lebih rentan terhadap tekanan atau stres, tambah Chapman, akan lebih sering melakukan perilaku berulang yang terfokus pada tubuh, seperti menggigit kuku atau mencabut rambut. Pada level yang tidak terlalu tinggi, orang cenderung mengusap wajahnya untuk menenangkan diri.

Tak hanya orang dewasa yang terdorong menyentuh wajahnya saat stres, janin pun melakukan hal yang sama. Studi Nadja Reissland dari Departemen Psikologi Universitas Durham, Inggris, dan kawan-kawan yang dimuat di jurnal Laterality, 3 Juni 2014, menunjukkan, saat sang ibu stres, maka janin cenderung menyentuh wajah mereka dengan tangan kiri.

Studi lain yang dilakukan Reissland dkk dan dipublikasikan di jurnal Acta Paediatrica, 12 Maret 2015, menemukan, janin lebih sering menyentuh wajahnya pada ibu yang merokok dibandingkan dengan ibu yang tidak merokok. Meski masih perlu diselidiki, merokok sering kali dikaitkan dengan stres.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Karyawan Apotek Surya, Glodok, melayani pembeli dengan mengenakan masker dan pelindung wajah (face shield) di kawasan Glodok, Jakarta Barat, Senin (13/4/2020). Warga bersiasat dengan berbagai cara untuk mencegah penularan virus korona baru, termasuk mengenakan masker dan pelindung wajah agar tak sering mengusap wajah.

Terdorong saat dilarang

Repotnya, kekhawatiran untuk tidak menyentuh wajah karena bisa menularkan penyakit atau peringatan untuk tidak menyentuh wajah justru bisa mendorong seseorang untuk lebih sering menyentuh wajahnya. Hal itu sama dengan perilaku sebagian orang yang ketika dilarang bertindak sesuatu, justru terdorong untuk melakukannya.

Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka), Jakarta, Rizki Edmi Edison dalam seminar daring Neuro-Insight Episode 4 di Jakarta, Selasa (7/4/2020), menyebut dorongan untuk melakukan sesuatu yang dilarang itu sesuai dengan teori reaktansi (reactance theory).

"Jika seseorang merasa aturan yang diberlakukan kepadanya membuat mereka terkurangi kebebasannya, maka orang itu akan merebut kembali kebebasannya dengan melanggar hal yang dilarang," katanya.

KOMPAS/WISNU WIDIANTORO

Ilustrasi. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan suap penanganan sengketa pilkada di MK, Akil Mochtar, mengusap wajahnya saat mengikuti sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (27/2/2014).

Meski Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat menyebut mengusap wajah belum menjadi mekanisme utama penularan Covid-19 pada manusia, lembaga itu tetap merekomendasikan untuk tidak mengusap wajah atau menyentuh mata, hidung, dan mulut dengan tangan.

Mekanisme utama penyebaran virus SARS-CoV-2 masih dari orang ke orang, baik lewat bersentuhan maupun berada di dekat orang yang sudah terinfeksi virus penyebab penyakit Covid-19 itu pada jarak kurang dari 1,8 meter serta melalui dropletpernapasan orang yang terinfeksi ketika dia batuk, bersin, atau berbicara. Droplet itu dapat mendarat di mulut atau hidung orang di dekatnya serta dapat pula terhirup ke dalam paru-paru orang lain hingga mereka ikut terinfeksi.

Virus dalam droplet itu bisa menetap di permukaan benda. Saat seseorang menyentuh benda itu lalu mengusapkan tangannya ke mata, hidung, atau mulut, maka SARS-CoV-2 pun bisa berpindah dan menginfeksi orang lain.

DOKUMENTASI PRIBADI

Mahasiswa FK-UI menggagas pembuatan pelindung wajah untuk tenaga medis di sejumlah rumah sakit di DKI Jakarta dan sekitarnya.

"Tidak menyentuh selaput lendir di wajah yang terletak di zona T (mata, hidung, mulut) adalah langkah penting untuk mencegah infeksi," ujar Sawyer.

Jika kebiasaan mengusap wajah sulit dikurangi, menjaga kebersihan tangan bisa menjadi salah satu mekanisme untuk menghindarkan atau mengurangi risiko penularan dan penyebaran Covid-19. Karena itu, mencuci tangan menggunakan sabun dan air mengalir atau memakai cairan antiseptik pembersih tangan harus dilakukan.

Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, mengingatkan, mencuci tangan tidak harus menggunakan cairan antiseptik. Menggunakan sabun dengan air mengalir justru lebih efektif  karena bisa menjangkau sela-sela jari atau celah kuku dengan baik.

Selain itu, pembersihan secara rutin benda-benda yang sering disentuh orang juga perlu dilakukan, terutama yang ada di fasilitas publik, seperti pegangan tangan yang ada di berbagai transportasi  umum, tangga berjalan, dan lift. Dengan demikian, dengan menjaga higienis diri dan kebersihan umum lebih baik, mata rantai penularan dan penyebaran virus SARS-CoV-2 dapat diputus.

Kompas, 16 April 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger