Cari Blog Ini

Bidvertiser

Minggu, 17 Mei 2020

KEBIJAKAN MONETER: Jangan Sembarangan Mencetak Uang (SIMON SARAGIH)


HANDINING

Simon Saragih, wartawan senior Kompas








Selama periode 1950-an, Indonesia pernah mengalami inflasi spiral. Inflasi rendah selalu muncul dan ditolerir oleh ekonom manapun. Bahaya inflasi, jika sudah spiral, adalah sulit mengendalikannya. Situasi seperti ini merugikan orang berpendapatan tetap, menimbulkan spekulasi, hingga perdagangan gelap.

Ini memunculkan segala efek buruk pada kehidupan rakyat. Inflasi spiral tidak memenuhi kaidah stabilitas, yang hingga kini tetap menjadi pegangan Indonesia dan dunia.

Penyebab inflasi spiral di Indonesia di masa lalu dan di banyak negara adalah pencetakan uang sembarangan. Butuh tahunan untuk menstabilkan perekonomian dengan inflasi spiral.

Kasus terbaru soal heboh tentang pencetakan uang adalah Venezuela. Warganya membuat mainan berbahan uang kertas karena tidak memiliki nilai yang berarti lagi sebagai alat transaksi. Uang sudah mirip kertas biasa.

Ada sederet contoh negara yang mengatasi masalah perekonomian dengan mencetak uang. Ini terbukti makin menambah runyam masalah. Zimbabwe, eks-Yugoslavia, kawasan Amerika Latin, selama dekade 1980-an juga terjebak pada inflasi spiral.

Sejarah kepahitan hidup akibat pencetakan uang tercatat dengan jelas. Lagi, Venezuela contoh terbaru dan sempurna tentang ini. Warganya mencari penghidupan di Amerika Selatan karena harapan hidup amblas.

AFP/YURI CORTEZ

Gambar 1 dollar AS disandingkan dengan mata uang Venezuela, bolivar, dengan nilai yang setara pada 20 November 2019. Venezuela didera krisis sosial dan ekonomi parah dengan inflasi mencapai 200.000 persen berdasarkan Dana Moneter Internasional (IMF).

Akan tetapi, para pengusul pencetakan uang tidak pernah sirna, mulai dari tingkat moderat hingga ekstrem akut. Penjara sosial dan fisik di masa pandemi Covid-19 sekarang ini telah menyebabkan aktivitas ekonomi di berbagai negara terhenti. Akibatnya, semakin banyak warga yang masuk kategori miskin.

Memberikan bantuan dana bagi warga yang paling terpukul kejatuhan ekonomi menjadi dasar kuat bagi pencetakan uang. Bantuan ini memang layak dipikirkan karena alasan kemanusiaan, sekaligus mencegah efek derivatif dari kemiskinan yang meningkat.

Logika pencetakan uang

Tembakan sebenarnya tidak langsung ke pencetakan uang. Ada urutannya. Bagaimana negara menyediakan anggaran untuk bantuan tersebut?

Jawabannya adalah menaikkan anggaran untuk jaring pengaman sosial (JPS). Pertanyaan muncul, dari mana sumber dananya? Indonesia melakukan skala prioritas, termasuk mengalihkan anggaran dari sektor lain, seperti pengurangan perjalanan dinas para pejabat, menjadi pembiayaan JPS.

Sumber lainnya? Indonesia telah mengubah batasan defisit maksimum 3 persen dari produksi domestik bruto (PDB) menjadi di atas 5 persen di masa pandemi ini. Dari mana uang untuk membiayai defisit ini? Dari sinilah muncul ide pencetakan uang.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Petugas mengangkut uang rupiah ke dalam Sentra Kas BNI di Jakarta, Selasa (21/5/2019). Wacana pencetakan uang muncul di masa pandemi Covid-19.

Sebelum masuk ke pencetakan uang, defisit bisa ditutup oleh negara yang memiliki dana kekayaan negara (sovereign wealth fund/SWF). Tidak banyak negara yang memiliki SWF.

Maka, alternatifnya adalah pinjaman, dari pasar uang, atau Dana Moneter Internasional (IMF). Jika tidak mencukupi juga, kekurangan anggaran ditutupi dari pencetakan uang. Inilah urutannya.

Ekonom pun mengusulkan

Sebelum masa pandemi ini, ide pencetakan uang pun berdengung kuat, termasuk dari ekonom. Paling baru adalah Stephanie Kelton, seorang ekonom yang menjadi penasihat ekonomi Bernie Sanders, bakal capres AS yang sudah mundur.

Kelton yang pernah belajar ekonomi di Cambridge University (Inggris) mendasarkan ide pencetakan uang pada teori yang disebut teori moneter modern (modern monetary theory/MMT). Teori ini antara lain menyebutkan, pencetakan uang adalah hak negara. Negara bebas saja mencetak uang untuk keperluan anggaran negara.

Kelton dan para pendukung MMT ‎tidak meletakkan otorisasi pencetakan uang ini pada bank sentral. Ini salah satu keunikannya. Kelton menyatakan bank sentral cukup mematok suku bunga pada tingkat rendah, mendekati nol persen.

Seperti dikutip Bloomberg, Kelton sangat percaya diri dengan idenya. Dia sibuk berbicara di mana-mana dan tidak segan menjawab pertanyaan dan gugatan ekonom kondang AS, Paul Krugman.

"Pemerintahan itu tidak seperti keluarga, yang berbelanja dari pendapatan atau utang. Pemerintah tidak harus memikiran utang jika berbelanja dari uang yang dicetak yang menjadi haknya," kata Kelton yang juga profesor ekonomi dan kebijakan public di Stony Brook University, sebuah universitas milik negara di New York.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Lembaran uang 100 dollar AS. Ide pencetakan uang baru muncul di saat pandemi.

Pernyataan Kelton bahwa pencetakan uang tidak menimbulkan utang bagi negara adalah benar. Hanya saja, ini bukan teori ciptaan Kelton. Semua orang tahu itu.

Meski demikian, Kelton juga mengingatkan efek inflasi dari pencetakan utang. "Bukan berarti uang bebas dicetak begitu saja tanpa batasan," katanya.

Pandangan Kelton langsung disergapPaul Krugman, ekonom AS peraih Hadiah Nobel Ekonomi 2008. "Yang menjadi pemikiran saya, sesungguhnya tak bisa mencerna apa yang diusung MMT. Saya akan bahagia jika bisa menangkap apa yang menjadi pemikiran mereka," kata Krugman.

Menolak pencetakan

Lepas dari itu, Gubernur Bank Sentral Argentina Miguel Angel Pesce termasuk yang setuju dengan pencetakan uang di masa pandemi. Di Argentina, negara yang sudah kenyang dengan inflasi spiral, termasuk akibat pencetakan uang, ide ini mendapatkan tempat.

Ide pencetakan uang pun sudah muncul di Indonesia. Untungnya Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sudah menegaskan tidak akan melakukan itu. Ini kebijakan yang tidak lazim dan BI tidak akan melakukannya agar tidak membingungkan publik. Ide ini bukan menggambarkan asas kehatian-hatian, kata Perry.

KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo (kanan) didampingi Deputi Gubernur BI Destri Damayanti saat memberi keterangan kepada wartawan di Jakarta, Kamis (20/2/2020).

Menteri Keuangan Brazil Mansueto Almeida pada Rabu, 16 April 2020, seperti diberitakan kantor berita Reuters mengatakan, "Ide pencetakan uang sangat berbahaya dan membuka pintu inflasi."

Teori dasar

Teori dasar uang juga jelas menunjukkan bahwa pencetakan uang sembarangan akan berbahaya. Ini tertuang dalam buku yang dituliskan ekonom AS, Irfing Fisher, berjudul The Purchasing Power of Money pada 1911. "Dengan asumsi ceteris paribus… seiring dengan naiknya jumlah uang, tingkat harga-harga juga naik secara proporsional dan nilai uang menurun, demikian sebaliknya."

Jika ada dua barang dan ada uang Rp 1.000.000, maka harga setiap barang masing-masing Rp 500.000.

Demikian inti teori Fisher, yang dijuluki Bapak Teori Kuantitas Uang. Contohnya, jika ada dua barang dan ada uang Rp 1.000.000, maka harga setiap barang masing-masing Rp 500.000. Jika jumlah uang dinaikkan menjadi Rp 2.000.000 maka harga setiap barang menjadi Rp 1.000.000. Nilai uang Rp 500.000 sama saja dengan yang Rp 1.000.000. Ada penurunan nilai uang.

Fisher memunculkan teori ini demi stabilitas ekonomi. Apa pun yang terjadi, kukuhlah pada disiplin karena keseimbangan ekonomi akan muncul dengan disiplin. Dan, lapangan pekerjaan tersedia untuk semua angkatan kerja.

Teori dasar lainnya, uang itu harus langka atau tidak mudah didapatkan, kecuali dari hasil produktivitas sendiri."Uang itu hakekatnya harus langka dan pertambahannya harus dijalankan dengan kontrol ketat oleh otoritas," demikian L Randall Wray dari Levy Economics Institute of Bard College pada tulisannya, Maret 2014 berjudul,"From the State Theory of Money to Modern Money Theory: An Alternative to Economic Orthodoxy".

KOMPAS/ALIF ICHWAN

Kantor Perum Peruri di daerah Karawang, Jawa Barat. Uang rupiah dicetak oleh Peruri.

Ide Keynes

Teori uang yang harus langka dan tidak boleh dicetak sembarangan diabaikan seusai Perang Dunia I (1914-1918). Ini akibat ide ekonom Inggris, John Maynard Keynes, dari Cambrige University. Keynes berjasa soal rekonstruksi perekonomian Eropa.

Salah satu ide Keynes, cetaklah uang untuk menutupi defisit anggaran negara demi rekonstruksi. Perekonomian Eropa memang bangkit, tetapi ini juga dipadu dengan kebijakan rekonstruksi Eropa berdasarkan Traktat Versailles.

Keynes mengusulkan agar Jerman jangan dituntut biaya pampasan perang, tetapi dibantu agar bangkit dari kehancuran ekonomi. Dengan demikian, Jerman bisa membayar utangnya ke Inggris. Selanjutnya, Inggris bisa membayar utang ke AS.

Namun, untuk rekonstruksi, uang harus ada, termasuk dengan mencetak uang untuk menutupi defisit anggaran negara. "Jika kita melulu memikirkan kestabilan ekonomi jangka panjang, kita semua akan mati dalam jangka panjang," demikian Keynes. Ia terkenal karena ucapannya, "In the long run we are all death."

Dalam jangka pendek ada rambu yang boleh ditoleransi demi perbaikan ekonomi, termasuk dengan mencetak uang. Akan tetapi, kemudian terjadi inflasi hiper pada 1923 di Jerman. Hal serupa terjadi di AS, inflasi spiral akibat kenaikan uang beredar danmalaise 1929-1939.

REUTERS/CHRIS WATTIE

Pengendara sepeda melewati gedung Bank Sentral AS di Washington, DC, AS, 22 Agustus 2018.

Situasi ini memunculkan analisis ekonom AS, Dr Milton Friedman, yang menyimpulkan, "Inflasi selalu dan di mana pun adalah fenomena moneter ". Artinya, bank sentral harus fokus mengontrol peredaran uang.‎

Fleksibilitas

Dari pengalaman masa lalu itu, bahwa uang jangan dicetak begitu saja, dasarnya sangat jelas. Inflasi hiper di Eropa dan AS kembali menguatkan teori Fisher. Hanya saja para ekonom tidak pernah terlalu kaku. IMF hingga para ekonom sepert Joseph E Sitglitz dan Krugman pun paham soal pentingnya meluncurkan stimulus di saat perekonomian sedang kacau seperti sekarang.

Pencetakan uang secara empiris juga terjadi untuk membiayai defisit anggaran pemerintah. Letak persoalan adalah pada pengukuran, seberapa banyak uang bisa dicetak. Jadi, intinya tidak asal main cetak. Asas fleksibilitas dan kesaksamaan menjadi pegangan.

Hal paling menakutkan adalah ide pencetakan uang berbasis populisme, apalagi akibat kemarahan dengan memutus relasi dengan dunia luar. Dalam kasus Zimbabwe, inilah yang terjadi.

REUTERS/PHILIMON BULAWAYO

Massa berlarian di dekat kobaran api dalam sebuah unjuk rasa di Harare, Zimbabwe, 14  Januari 2019.

Pertanyannya, apakah banyak negara yang mencetak uang? Uang dari tahun ke tahun nyatanya terus dicetak, baik untuk mengganti uang lama yang rusak maupun menambah uang karena jumlah output yang juga naik.

Apakah uang baru dicetak juga untuk menutupi defisit anggaran negara karena pengeluaran tidak tertutupi dari pajak atau utang? Ada uang yang dicetak oleh banyak negara untuk menutup defisit ini. Indonesia melakukannya pada krisis 1998. Efeknya serupa, inflasi meroket ke angka 77,6 persen dari 11,1 persen pada 1997.

Pencetakan uang yang tidak terkendali dan tidak ditelaah secara saksama oleh otoritas, seperti kata Randall Wray, inflasi akan memperlihatkannya. Maka dari itu, Kelton juga bicara soal efek inflasi akibat pencetakan uang.

Dia pun setuju ada pembatasan. Namun, Kelton bukan penemu teori soal ini. "Pada dasarnya, idenya adalah Keynesian," demikian tulisan "The New Yorker".

Kompas, 17 Mei 2020

Sent from my BlackBerry 10 smartphone on the Telkomsel network.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger