Seruan Jerman sedang mencuat. Dunia masih membutuhkan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Amerika Serikat adalah anggota NATO. NATO bukan hanya soal organisasi pertahanan, melainkan juga penjaga tatanan dunia. Dalam hal ini termasuk tatanan demokrasi.
Hal itu dituliskan langsung oleh Menteri Pertahanan Jerman Ursula von der Leyen lewat artikel berjudul "The World Still Needs NATO" di harian The New York Times, 18 Januari 2019.
Tentu tatanan dunia yang dimaksudkan Menhan Jerman itu bukan lagi tatanan lama yang tidak disukai oleh seluruh dunia. Kehadiran kelembagaan internasional dan kesemena-menaan demokrasi Barat dalam kehidupan nyata secara global telah mendapatkan cercaan secara gencar. Termasuk di dalamnya adalahcorporate greedy Wall Street yang dibiarkan liar secara leluasa.
Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan banyak lagi lembaga global lainnya termasuk Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sekian tahun menjadi corong Barat semata. Hal inilah yang membuat Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden China Xi Jinping selalu bersuara bahwa dunia sekarang tidak lagi bisa diterima. Dunia zaman silam sudah berubah.
Putin tidak suka dengan megalomania Barat, terutama AS. Bahkan, kesema-menaan Barat membuat Putin memprediksi kehancuran liga demokrasi itu sendiri dari dalam. Putin, seperti dituliskan ABC News, 20 Oktober 2018, mengatakan, "Dominasi global AS akan berakhir, dengan AS sendiri yang mempercepat proses itu dengan serangkaian kesalahan, tipikal dari sebuah emporium."
Stephen M Walt, pakar hubungan internasional dari Harvard University, juga menuliskan cacat hegemoni liberal Barat dalam artikel berjudul"There's No Such Thing as Good Liberal Hegemony" pada 21 April 2020.
Dendam lama
Putin sudah lama memendam kekecewaan pada Barat. Pencaplokan kekayaan migas Rusia lewat Mikhail Khodorkovsky, oligarki Rusia yang sudah mengasingkan diri dari Rusia, dengan koneksi Texas, adalah contoh mutakhir. Namun, kekecewaan Putin sudah berakar lama jauh sebelum itu.
Kejatuhan Tembok Berlin adalah hal yang tidak bisa dihindari, demikian kata Putin. "Apa yang harus terjadi, terjadi. Saya yakin perpecahan Jerman memang tidak memiliki masa depan," kata Putin kepada televisi NTV, seperti dikutip Reuters, 3 November 2009.
Putin adalah seorang polisi rahasia KGB yang bertugas di Dresden saat kejatuhan tembok Berlin tahun 1989. Ini tahun yang sama dengan huru-hara di Lapangan Tiananmen, Beijing. Akan tetapi, sikap Barat tidak menghargai martabat Uni Soviet yang kemudian terpecah. Era Helmut Kohl (Kanselir Jerman) dan George HW Bush (Presiden AS) bukan mencari solusi untuk kerja sama. Ini telah membuat Putin mendendam ditambah fakta kesewenangan Barat di berbagai belahan dunia.
Baca juga : Berziarah ke Pikiran Bapak
Arogansi Barat setelah kejadian 1989 itu tampaknya menjadi-jadi. "Perseteruan dengan Putin berakar dari kejatuhan tembok Berlin," demikian dituliskan Elise Sarotte, profesor sejarah di USC dan dosen tamu di Harvard University, yang juga penulis buku The Collapse: The Accidental Opening of the Berlin Wall, lewat artikel yang dia tuliskan pada 8 November 2014 di harian The Los Angeles Times.
Peringatan Albright
Hanya saja, pelemahan Barat dan potensi munculnya kekuatan diktator global juga menjadi kekhawatiran yang tidak boleh diabaikan. Mantan Menlu AS Madeleine Albright juga mengingatkan kecenderungan ini lewat bukunya pada April 2018, Fascism: A Warning.
Kekhawatiran utama bukan hanya datang dari ancaman Rusia dan China jika itu dikaitkan dengan ancaman pada demokrasi. Kekhawatiran terjadi lewat sepak terjang Presiden AS Donald Trump yang terus menggerus aliansinya di Asia Pasifik dan trans-Atlantik. Hal terbaru adalah rencana Trump menarik 9.000 pasukan AS dari NATO yang bermarkas di Jerman.
"Rencana ini sekali lagi menunjukkan pemerintahan Trump mengabaikan elemen kepemimpinan," kata Johann Wadephul, juru bicara kebijakan luar negeri parlemen Jerman dari kelompok CDU/CSU. "Hal ini seharusnya menjadi perhatian Washington," kata Wadephul yang juga menyerukan kepada Eropa agar terbangun.
Kekhawatiran lain, dari dalam negerinya sendiri, Trump telah memantik perseteruan rasial. Bahaya bukan hanya soal AS yang tidak bisa menjadi pagar demokrasi secara global, AS itu sendiri bisa menjadi tidak demokratis lagi.
Apakah AS sadar akan seruan ini? Apakah Trump masih mengutamakan AS atau Trump mengutamakan agendanya sendiri? Demikian pertanyaan yang sangat pas seperti dituliskan biro The New York Times di Berlin, Katrin Bennhold, dalam artikel berjudul "Has 'America First' Become 'Trump First'? Germans Wonder". Pertanyaan ini lebih aktual lagi dalam konteks Trump adalah sabahat Putin yang tidak menyukai hegemoni AS.
Kanada lewat Perdana Menteri Justin Trudeau menyadari hal ini, demikian juga Inggris. Ketika Trump mengundang Rusia untuk pertemuan G-7, PM Trudeau langsung memprotes langkah tersebut dan diikuti Inggris.
Lalu bagaimana sikap AS? Aksi protes rasial di AS terus berlanjut. Trump yang tidak mengendur mencoba terus bersikap keras hingga mendorong militer AS menyerang para pemrotes. Kekacauan AS dari dalam seperti diinginkan musuh politik AS semakin mengkristal. Demokrat dan Republikan AS paham bahaya ini. Calon presiden AS yang hampir sudah bisa dipastikan akan melawan Trump pada pemilu November 2020, Joe Biden, amat menyadari bahaya ini. Ketua DPR AS Nancy Pelosi bahkan menyuarakan lebih jauh, Trump tidak akan mau mundur andaikan dia kalah pada pemilu 2020.
Akhirnya, semua ini tetap tergantung pada hasil pemilu 2020. Lepas dari Trump akan menerima atau tidak hasil pemilu, suara rakyat AS amat menentukan. Ataukah AS tetap menerima kejutan lain dan Trump menang lagi. Skenario ini juga ada dalam kalkulasi.
Apa pun yang akan terjadi dengan AS, peringatan dari Jerman adalah peringatan yang masuk akal. Ini peringatan yang sangat mendesak. Dunia membutuhkan peer power, seperti dikatakan pakar hubungan internasional dari University of Chicago, John Mearsheimer. Meski hal ini tidak bisa diwujudkan, karena kekuatan hegemoni tidak pernah menginginkan adanya pesaing, ambruknya demokrasi juga bukan hal bagus bagi dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar