Sebuah kota tanpa wisatawan. Sebanyak 65 juta turis menghilang dari New York, Amerika Serikat. Tema dan judul sebuah artikel di The New York Times pada 21 Juli 2020 tersebut gamblang menggambarkan kondisi kota terpopuler sejagat itu kini. Kota yang terkenal dengan banyak ikon, termasuk Times Square dan Wall Street, itu pada 2018 menyedot 65 juta turis. Para wisatawan berdesakan di jalanan The Big Apple ini dan membelanjakan 44 miliar dollar AS yang menghidupi hotel, restoran, bar, pertokoan, teater, dan museum.
Semua keriuhan pelancong itu kini lenyap.
Sama seperti di Jakarta yang sedang menerapkan masa transisi pembatasan sosial berskala besar atau PSBB, New York juga dalam tahap pemulihan. Kafe, misalnya, mulai beroperasi lagi.Pertandingan bisbol di Stadion Yankee dikabarkan bergulir lagi pekan ini. Sebelum pandemi, penonton di tiap pertandingan mencapai 40.000 orang. Sekarang, dengan protokol kesehatan, penonton berkurang atau bahkan tak ada. Bisnis ikutan, seperti tingkat okupansi hotel dan penjualan cendera mata, belum ikut bergulir.
Di Jakarta dan sekitarnya atau Jabodetabek, dampak pandemi atau "awar-awar" dalam bahasa lokal Betawi itu juga masih kuat membelit. Hingga hampir dua bulan penerapan PSBB transisi, ekonomi masih kusut.
PSBB transisi atau adaptasi kebiasaan baru (AKB) di Jakarta dan PSBB proporsional di Bogor, Depok, dan Bekasi, Jawa Barat, serta kebijakan yang mirip di Tangerang Raya, Banten, diterapkan sejak awal Juni. Seiring dengan itu, berbagai kegiatan usaha, termasuk tempat hiburan, boleh beroperasi secara terbatas.
Namun, saat kapasitas tiap gedung, fasilitas publik, hingga tempat hiburan ataupun wisata, dan tiap moda angkutan umum dibatasi, segala aktivitas tidak berdaya efek domino seperti sebelum kemunculan wabah Covid-19. Cuan yang didamba belum beranjak dari angka-angka kecil, malah mungkin masih nol.
Terbayang kemudian, bisnis wisata massal dan acara-acara yang mendatangkan kerumunan tidak lagi pas di era korona ini. Bahkan, ketika nanti vaksin sudah bisa diproduksi massal dan mengakhiri pandemi.
Dari berbagai riset ilmiah, virus korona baru penyebab Covid-19 diketahui sebagai turunan virus yang sebelumnya telah memicu wabah berbeda. Dimungkinkan pula virus korona baru untuk terus berubah menjelma menjadi varian virus lain dan memicu penyakit lain lagi.
Kegiatan bersifat massal bukan pilihan yang baik, bahkan saat vaksin sudah bisa diproduksi massal dan mengakhiri pandemi Covid-19.
Kalau semua yang melibatkan kerumunan dihindari, penyerapan tenaga kerja tetap tidak sebanyak seperti sebelumnya. Ekonomi nyaris mustahil bangkit lagi. Namun, ini hanya jika tidak ada inovasi baru dalam menyikapi pandemi dan dampaknya.
Ekonomi pandemi
Jadi, daripada memupuk asa untuk dapat kembali ke masa sebelum pagebluk, mari terima saja bahwa kita harus hidup bersama virus-virus berbahaya ini. Ada potensi penularan melalui sistem sanitasi yang buruk karena virus korona baru disebut ada di kotoran manusia. Ada pula potensi penularan lewat udara.
Tanpa jarak aman antarindividu dan tanpa menutup mulut serta hidung, ancaman tertular tinggi. Covid-19 juga bisa menjangkiti siapa saja, orang tua ataupun muda, juga bayi dan anak-anak. Dengan atau tanpa penyakit bawaan, setiap orang bisa terinfeksi virus korona baru ini.
Penyakit ini, sesuai catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), hingga 23 Juli, telah tersebar di 216 negara termasuk Indonesia. Total ada 619.150 orang meninggal dan lebih dari 15 juta jiwa positif Covid-19. Di Nusantara, ada 93.657 kasus positif dan 4.576 jiwa meninggal.
Covid-19 meminta kita mencegahnya dengan hidup bersih. Hidup bersih yang tidak hanya diterapkan secara pribadi, tetapi juga di lingkungan tempat tinggal, area kerja, sekolah, dan di mana saja kita berkegiatan. Dengan hidup bersih dan sehat, diharapkan kekebalan tubuh meningkat. Kekebalan tubuh adalah tameng yang membuat orang tak jatuh sakit saat virus menyerang.
Dari kebutuhan agar tidak tertular penyakit tersebut, muncul bermacam permintaan yang mendesak untuk dipenuhi. Permintaan inilah lokomotif pemicu bergulirnya rangkaian kegiatan ekonomi. Inovasi dan adaptasi menjadi kunci.
Merespons permintaan berpotensi dikelola menjadi kebijakan, program, hingga kegiatan dari sisi pemerintahan maupun swasta. Semua akan berujung pada berputarnya kegiatan penyedia banyak lini produk barang ataupun jasa.
Hal paling sederhana, seperti memastikan 10 juta jiwa warga DKI tetap mendapat pasokan bahan pangan mencukupi selama pandemi dan setelahnya kelak sudah pasti menjadi rantai kegiatan ekonomi yang tak akan putus. Jika pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bisa membuat sistem kerja sama dengan daerah lain penghasil beras, sayur-mayur, produk protein hewani, penyedia jasa angkutan barang, dan semua detail yang diperlukan untuk memastikan ketahanan pangan Ibu Kota, sudah berapa ratus ribu lebih pegiat usaha mikro, kecil, dan menengah di seantero negeri yang mendapat napas baru.
Pemprov DKI Jakarta telah memiliki badan usaha milik daerah (BUMD) pangan, seperti PT Food Station Tjipinang Jaya, PD Dharma Jaya, dan Perumda Pasar Jaya. Namun, sejauh ini ketiga perusahaan tersebut baru bisa memasok 30 persen kebutuhan pangan warga DKI. Padahal, untuk antisipasi bencana alam ataupun non-alam, seperti wabah kali ini, ketahanan pangan daerah menjadi syarat utama.
Untuk antisipasi bencana, alam ataupun non-alam, seperti wabah kali ini, ketahanan pangan daerah menjadi syarat utama.
Peluang lain adalah adanya tuntutan untuk memperbanyak fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan. Permintaan ini seharusnya mendorong kebijakan penambahan serangkaian fasilitas kesehatan, mulai laboratorium pengolah sampel uji usap, pembangunan rumah sakit, puskesmas, sampai klinik. Kebutuhan akan alat-alat kesehatan dan tenaga kesehatan membengkak.
Satu tujuan menambah fasilitas kesehatan mau tidak mau berimbas pada tuntutan dunia industri peralatan kesehatan dan ke dunia pendidikan untuk menghasilkan tenaga yang dibutuhkan. Tak ketinggalan hal-hal kecil, seperti dibutuhkannya juru masak yang akan bekerja di dapur faskes. Para pemilik usaha mikro, kecil, dan menengah bakal turut tertarik dari gelombang respons ini untuk setidaknya mengisi kantin dan kios berbagai produk yang dibutuhkan di tiap faskes.
Tantangan lain yang mendesak direspons cepat adalah revitalisasi permukiman warga, seperti di perkampungan padat penduduk di Ibu Kota. Kota sedari awal disebut sebagai kawasan dengan sejumlah besar orang yang terkonsentrasi mendiami area yang relatif sempit. Jadi, "padat" menjadi kata atau situasi yang selalu mengikuti "kota". Padat tidak masalah asalkan tetap dikelola sehingga jaga jarak aman antarwarga dan lingkungan sekitar yang sehat terpenuhi.
Ini menjadi kesempatan besar bagi para penata kota dan warga untuk menelurkan ide penataan wilayah tempat tinggalnya agar mampu beradaptasi dan bertahan dari pandemi.
Berdasarkan data Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Biro Tata Pemerintah DKI Jakarta, ada 80 RW kumuh di Ibu Kota terhitung hingga akhir 2019. Jika melihat ke seluruh wilayah Jakarta, revitalisasi saluran sanitasi mungkin dibutuhkan tidak hanya di RW kumuh. Hal ini karena pada dasarnya belum semua sistem drainase di Ibu Kota terbangun dengan baik. Masalah penataan drainase bisa sekalian dikawinkan dengan upaya penanggulangan banjir yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi DKI.
Proyek revitalisasi sistem sanitasi di seluruh kota laksana spons yang menyerap banyak para pencari kerja dan setelah pembangunan fisik usai akan membutuhkan tenaga untuk perawatan rutin. Produk perpipaan dan semua benda yang dibutuhkan untuk membangun saluran drainase kota tak ayal akan membangkitkan industri terkait.
Sistem penopang
Masih dalam upaya menghidupkan industri dari tingkat rumah tangga hingga raksasa skala nasional, kesempatan baik bisa muncul dari dunia pendidikan. Bagaimana, misalnya, jika dana stimulus dari pemerintah pusat dan daerah sebagian disisihkan pula untuk memastikan warga yang kekurangan mendapatkan pasokan internet dan gawai agar tetap bisa menjangkau pembelajaran daring?
Perusahaan gawai raksasa yang telah membuka pabrik di Indonesia bisa digaet untuk menyediakan serta memasarkan secara massal produknya di sini dengan spesifikasi yang sudah ditentukan. Hal ini bisa membuka peluang memperbesar pabrik, menyerap pekerja, dan pasti memperkuat denyut ekonomi. Mendorong perusahaan telekomunikasi meluaskan jangkauan layanannya juga langkah baik. Mereka didorong mendirikan menara transmisi sinyal atau BTS hingga ke lokasi-lokasi terpencil.
Saat sekolah tidak lagi bisa menampung jumlah siswa seperti sebelum pagebluk, pusat belajar yang menyediakan jaringan internet dan menjamin dapat menerapkan disiplin protokol kesehatan layak dibiarkan tumbuh di tengah permukiman. Ini bisa jadi bisnis menguntungkan. Warung internet dan gim yang menjamur di perkampungan bisa direkrut, ditata ulang, diawasi, dan dibina.
Alternatif lain, pakai saja ruang publik terbuka, seperti ruang publik terbuka ramah anak atau RPTRA dan taman maju bersama (TBM) yang berjumlah ratusan di Jakarta. Rata-rata RPTRA memiliki fasilitas perpustakaan sederhana untuk anak dan fasilitas olahraga, serta bangunan yang bisa digunakan belajar bersama. Guru honorer yang selama pandemi tak lagi berpenghasilan bisa diarahkan untuk mengisi kebutuhan pembimbing di pusat-pusat belajar di luar sekolah resmi ini.
Jika saja dapat diwujudkan, sistem baru ini akan sangat membantu para orangtua. Orangtua yang kehilangan penghasilan karena bencana ini tak jarang merasa panik dan frustasi, tetapi mereka tetap dituntut memenuhi kebutuhan harian, mengurus anak, juga mengurus diri sendiri. Jaring penopang sosial yang lengkap dan kuat dibutuhkan para terdampak wabah global ini karena bantuan sosial berupa uang tunai dan bahan pangan saja tidak akan mencukupi.
Bagian dari jaring penopang sosial itu adalah ketersediaan fasilitas terjangkau bagi warga yang butuh melepas ketegangan di tengah awar-awar. Permintaan ini dapat dipenuhi dengan memaksimalkan potensi internal tiap kota atau daerah sehingga warga tidak harus bepergian keluar kota untuk sekadar menghirup udara segar. Pengelola kota lagi-lagi memiliki opsi memaksimalkan fungsi taman kota, museum, serta ruang terbuka publik yang mudah diakses dengan jaminan pemberlakuan aturan ketat pencegahan penularan wabah.
Yang turut tak boleh dilupakan, yaitu menata dan menggenjot pembangunan layanan jaringan angkutan publik sesuai kebutuhan warga bermobilitas dengan menjaga jarak aman. Layanan ini akan mendukung akses warga bepergian untuk kegiatan usaha juga untuk cuci mata di dalam kota tanpa menambah macet ataupun polusi udara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar