Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. (Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945)
Sesuai data Kementerian Dalam Negeri, per 31 Desember 2018, jumlah penduduk Indonesia, sebanyak 265.185.520 orang. Dari keseluruhan penduduk itu, yang dinyatakan wajib memiliki kartu tanda penduduk (KTP), yang sejak tahun 2010 didorong menjadi KTP elektronik (KTP-el) adalah 192.676.863 warga. Penduduk yang sudah melakukan perekaman data kependudukan, sebanyak 190.607.220 orang, atau tidak kurang dari 98,93 persen.
Mengikuti data Kemendagri itu, yang disampaikan Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Zudan Arief Fakrulah di Jakarta, dalam Pembukaan Asistensi Pengelolaan Database Pejabat Dukcapil Daerah, tahun lalu, warga negara Indonesia yang wajib memiliki KTP-el, yang belum merekam datanya tinggal 1,07 persen. Jumlah warga yang belum tercatat secara digital sekitar 2,07 juta orang saja. Penerbitan KTP-el hanyalah satu dari 23 tugas administrasi kependudukan yang menjadi tanggung jawab Kemendagri.
Langkah Indonesia melakukan perekaman data kependudukan secara digital adalah keniscayaan. Hal itu merupakan tuntutan perkembangan masyarakat dan teknologi, serta kewajiban negara menjamin warga memiliki persamaan di bidang hukum dan pemerintahan, seperti ditegaskan dalam UUD 1945. Persamaan itu, antara lain, ditandai dengan adanya "bukti" kependudukan bagi setiap warga negara. Apalagi, konstitusi juga menegaskan, setiap orang berhak atas status kewarganegaraan (Pasal 28D Ayat (4), selain berhak memilih kewarganegaraan dan tinggal di wilayah mana pun di negeri ini atau di luar negeri. Bukti kewarganegaraan itu, salah satunya, adalah memiliki KTP-el.
Namun, sejak muncul proyek KTP-el, banyak pertanyaan yang muncul di masyarakat. Pertanyaan itu bukan hanya terkait hal teknis, seperti pernah dipertanyakan soal larangan KTP-el difotokopi dan tentu saja terkait kasus dugaan korupsi, melainkan juga pertanyaan yang terekam di masyarakat, yaitu terkait pelayanan aparatur pemerintahan pada warga. Ada perbedaan perlakuan yang sangat terasa. Padahal, UUD 1945 menjamin tidak boleh ada perbedaan perlakuan, diskriminasi. Jaminan itu juga dikuatkan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang diubah dengan UU Nomor 24 Tahun 2013.
Konsideran menimbang dalam UU No 24/2013 jelas menyatakan, negara berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami oleh warga negara Indonesia yang berada di luar wilayah negara ini. Dalam rangka peningkatan pelayanan administrasi kependudukan, sejalan dengan tuntutan pelayanan administrasi kependudukan yang profesional, memenuhi standar teknologi informasi, dinamis, tertib, dan tidak diskriminatif dalam pencapaian standar pelayanan minimal menuju pelayanan prima yang menyeluruh untuk mengatasi permasalahan kependudukan.
Pertanyaan yang sering muncul di masyarakat hingga kini adalah ada perlakuan yang (tetap) berbeda antarwarga negara oleh aparat penyelenggara layanan administrasi kependudukan, khususnya KTP-el. Padahal, layanan KTP-el sudah menggunakan teknologi digital, yang salah satu keunggulan teknologi informasi ini, adalah kesetaraan dan personal. Dalam catatan Kompas, melalui Pusat Informasi Kompas (PIK) dalam 10 tahun terakhir, ada 604 data dengan kata kunci "KTP elektronik data kependudukan", yang sebagian besar adalah persoalan. Pencarian di mesin pencari "Google" dengan kata kunci yang sama, menemukan 190.000 entri, yang sebagian besar juga berisikan persoalan atau pertanyaan publik.
Padahal, menurut pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya, Sukowidodo, membuat nomor identitas tunggal dan penanda kependudukan berupa KTP-el adalah inovasi yang mampu mengatasi sejumlah persoalan kependudukan. Namun, diperlukan sosialisasi lengkap sejak awal, baik manfaat, tujuan, ataupun aplikasinya kepada masyarakat luas (Kompas, 11/5/2013).
Sebuah surat pembaca dari Nasrul Idris, warga Kota Bekasi, Jawa Barat, yang dimuat harian Kompas pada 9 Juli 2014 menggambarkan belum adanya kesetaraan itu. Ia menuliskan, "Dua tahun lalu, saya dan istri bersama-sama mengurus kartu tanda penduduk elektronik. KTP elektronik saya sudah selesai, tetapi KTP elektronik istri saya hingga saat ini belum selesai juga." Ia terpaksa memperpanjang KTP lama istrinya dengan membayarkan biaya tambahan, yang tanpa tanda terima dari petugas di kecamatan dan selesainya pun tidak tepat waktu.
Kisah lain datang dari Rukma Bangun, warga Kabupaten Bekasi, Jabar yang dimuat di harian Kompas edisi 15 September 2015, yang mengisahkan proses KTP-el yang diurusnya bersama keluarga berlarut-larut. Padahal, mereka sudah mendatangi kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Bekasi di Cikarang. Hal itu dilakukan gara-gara dua dari empat KTP-el milik keluarganya selama dua tahun tak kunjung selesai. Pemotretan dan pengambilan sidik jari pertama dilakukan di Kantor RW 008 Perum Babelan Indah, Kelurahan Kebalen, Kecamatan Babelan, Oktober 2013, bersama ratusan warga. Selain KTP-el istri dan putrinya belum selesai, Rukma juga menuliskan, puluhan warga yang mengurus bukti kependudukan itu bersamanya, juga belum ada KTP-el.
Situasi yang berbeda, publik melihat dari berbagai pemberitaan di media massa pada pekan lalu, adalah kisah Joko S Tjandra. Terpidana kasus "korupsi" pengalihan hak tagih Bank Bali itu, yang dihukum selama dua tahun penjara dan sejak tahun 2009 sudah dinyatakan sebagai buronan. Joko yang 11 tahun buron sempat leluasa hadir di lembaga pemerintah dan pengadilan pada Senin, 8 Juni 2020.
Salinan KTP elektronik atas nama Joko Soegiarto Tjandra menunjukkan tanggal terbit pada 8 Juni 2020.
Penelusuran Kompas, pada hari itu Joko dan pengacaranya mendatangi Kantor Kelurahan Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, untuk melakukan perekaman KTP-el (Kompas, 6/7/2020). Tak hanya mendapatkan layanan istimewa, karena bisa hadir sebelum jam layanan publik dibuka, Joko bisa mendapatkan KTP-el pula pada hari itu. Kurang dari sejam seluruh proses perekaman data hingga penerbitan KTP-el itu selesai, sehingga bisa dipakai untuk urusan yang lainnya. Tanpa ada hambatan.
Namun, dalam Ngobrol Ringan "Pelayanan Daring Bidang Dukcapil: Kebijakan, Tantangan, dan Agenda ke Depan" yang diadakan Institut Kewarganegaraan Indonesia (IKI) secara dalam jaringan (daring) dari Jakarta, Jumat (17/7/2020), Sekretaris Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri I Gede Suratha menjelaskan, kini sudah ada perbaikan sistem perekaman dan pencetakan KTP-el. Saat ini 94,34 persen proses pembuatan KTP-el selesai dalam waktu kurang dari 24 jam. Bahkan, selama bulan Juni 2020, dari 889.521 KTP-el yang dibuat, sebanyak 257.477 lembar KTP-el, atau sekitar 28,94 persen bisa diselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam. Bahkan, sebagian besar, sekitar 54,52 persen, pembuatan KTP-el bisa diselesaikan dalam waktu antara 1-6 jam. Hanya 5,66 persen yang lebih dari 24 jam penyelesaian pembuatan KTP-elnya.
Walakin, Suratha mengakui, masih adanya sejumlah persoalan dalam layanan kependudukan di negeri ini. Jumlah penduduk Indonesia, sesuai data Kemendagri pada semester I tahun 2020, tak kurang dari 268,58 juta jiwa. Layanan administrasi kependudukan dan catatan sipil meliputi 24 jenis. Artinya, ada potensi 6,45 miliar persoalan administrasi kependudukan. Dalam Ngobrol Ringan yang diadakan IKI disimpulkan, masalah administrasi kependudukan dan catatan sipil di negeri bersumber pada ketiadaan kesetaraan dalam layanan pada setiap warganegara. Selain itu, masih adanya keterbatasan akses bagi sejumlah warga negara Indonesia untuk mendapatkan layanan kependudukan dan catatan sipil.
Mudah dan terlindungi
Teknologi informasi dan digital memang memudahkan hidup kita. Kisah Joko Tjandra yang bisa membuat KTP-el atau dokumen kependudukan lainnya secara cepat dan terdokumentasikan dengan baik, karena dimudahkan oleh teknologi. Namun, di sisi lain, digital juga merekam jejak. Data yang tersimpan bisa saja diakses oleh orang yang tak berhak. Pengaturan perlindungan data pribadi seharusnya ada di Indonesia. Selama ini, data pribadi warga kerap disalahgunakan baik untuk tujuan komersial, politik, maupun kriminal.
Dalam hal pencatatan dan penerbitan dokumen kependudukan ini sebenarnya harus diakui, Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil bergerak cepat. Sejak awal tahun ini, mulai diperkenalkan Anjungan Dukcapil Mandiri (ADM), yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk mendapatkan dokumen kependudukan secara cepat dan mandiri. Bahkan, dengan ADM itu masyarakat bisa mendapatkan dokumen kependudukannya lebih murah dan sederhana, sebab bisa mencetaknya sendiri dengan menggunakan kertas "biasa".
"Saya sangat antusias melihat bagaimana nanti kesan masyarakat melihat proses pencetakan dokumen kependudukan, seperti di ATM (Anjungan Tunai Mandiri)," kata Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat menuju ke Kabupaten Bireuen, Aceh untuk meluncurkan layanan ADM yang pertama di luar Jawa, Sabtu (22/2/2020). Layanan ADM untuk kali pertama diluncurkan di Surabaya, Jawa Timur pada November 2019. Sebelumnya, Mendagri juga berharap banyak pada layanan ADM untuk menjawab kebutuhan masyarakat yang kehilangan dokumen kependudukannya karena menjadi korban bencana.
Pada saat pandemi Covid-19 menyerang negeri ini, layanan ADM sebenarnya memiliki momentum untuk berkembang cepat dan menunjukkan keunggulannya. Apalagi, kini nyaris seluruh wilayah negeri ini sudah terjangkau layanan internet. Di sisi lain, tak sedikit warga yang membutuhkan dokumen kependudukan itu. Namun, ternyata tidak banyak publikasi yang menggambarkan gerak cepat layanan ADM ini. Padahal, "hukum besi" era digital, adalah mengedepankan kecepatan.
Saat ini mayoritas kabupaten/kota di negeri ini sudah memiliki fasilitas ADM. Bahkan, layanan itu juga dibuka di sejumlah pusat perbelanjaan. Namun, harus diakui, tidak semua orang memiliki daya yang sama untuk mengakses layanan itu. Oleh karena itu, tetap harus ada aksi afirmasi dari pemerintah dan masyarakat untuk membantu warga yang kurang berdaya. Dokumen kependudukan, termasuk KTP-el bukan hanya surat selembar, melainkan lebih dari itu, adalah penghargaan dari negara pada warga dan kemanusiaan. Dokumen kependudukan itulah yang membedakan manusia sebagai warga negara dengan ciptaan Allah yang lainnya, yang juga menjadi "warga" di negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar