DPR telah mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara menjadi UU No 3/2020 tentang Mineral dan Batubara.
Revisi itu merupakan inisiatif DPR dengan mencermati berbagai masalah perizinan dan perkembangan baru di sektor mineral. UU Mineral dan Batubara (Minerba) mengikuti UU No 23/2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda). UU Pemda menarik kewenangan izin pemberian konsesi tambang dari tangan pemda (bupati/wali kota) ke tangan pemerintah pusat dan bisa mendelegasikan kepada gubernur.
Dalam rangka sinkronisasi, UU No 4/2009, yang masih memberi ruang kepada bupati/wali kota menerbitkan izin usaha pertambangan (IUP), perlu direvisi. Izin tambang dikembalikan kepada pemerintah pusat. Namun, perlu menjadi catatan agar pusat jangan mengulang rezim kontrak zaman Orde Baru yang sesuka hati memberikan konsesi di daerah kepada kroni-kroni tanpa sosialisasi dan persetujuan warga lokal.
DPR sebenarnya telah meloloskan UU Minerba bersamaan dengan UU KPK yang disambut berbagai penolakan publik pada akhir periode 2014-2019. DPR berpikir perhatian publik berfokus pada UU KPK, seolah UU Minerba tak penting.
Padahal, UU ini sangat penting terkait dengan kedaulatan tambang, pengelolaan sumber daya alam (SDA), hilirisasi mineral, kesejahteraan rakyat, dan masalah lingkungan hidup. Momen pengesahan UU Minerba pada 12 Mei 2020 pun mirip. Pengesahan dilakukan di tengah situasi masyarakat menjalankan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan melakukan aktivitas di rumah.
DPR berpikir perhatian publik berfokus pada UU KPK, seolah UU Minerba tak penting.
Tak ada situasi genting dan memaksa sehingga UU harus disahkan di tengah pandemi. Mundur ke 2021 tak masalah. Tambang mineral banyak merusak lingkungan dan hutan. Hilirisasi mineral juga tak terlalu mendesak karena banyak perusahaan tambang tak memiliki cukup dana di tengah pandemi.
Idealnya, proses pembentukan UU strategis harus dalam situasi normal. Dalam situasi abnormal sekarang, DPR perlu menyerap lebih banyak aspirasi berbagai kalangan agar UU Minerba lebih bisa diterima dan tak melawan konstitusi UUD 1945.
Kepentingan korporasi
Kejar tayang DPR mengesahkan UU Minerba tak lepas dari multi-kepentingan korporasi. Korporasi-korporasi ini sudah sejak zaman Orde Baru sampai kini memonopoli SDA di negeri ini. Mereka kaya karena penguasaan SDA, sementara rakyat tetap miskin. Kepentingan korporasi ini menyusup masuk ke parpol.
Banyak sekali pemilik tambang adalah juga elite di negeri ini. Mereka mampu mengendalikan parpol dan kemudian mengendalikan proses politik di parlemen untuk merevisi UU, seperti UU Minerba. UU Minerba direvisi sesuai kepentingan bisnis mereka.
Di pertambangan minerba, korporasi-korporasi yang mendapatkan kontrak sejak zaman Orde Baru, seperti kontrak karya (KK) dan perjanjian kontrak pertambangan batubara (PKP2B) wajib melakukan renegosiasi kontrak. Renegosiasi kontrak berupa menaikkan penerimaan negara, penciutan lahan, divestasi saham, penggunaan barang-jasa domestik, pembangunan pabrik smelter, dan perpanjangan kontrak.
Pada periode pertama pemerintahan, Joko Widodo sukses mengembalikan saham perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar yang menambang di Grasberg, Papua, PT Freeport Indonesia, ke pangkuan Bumi Pertiwi. Beberapa korporasi asing, seperti PT Vale Indonesia, pun sudah sepakat melepaskan 20 persen saham ke tangan nasional. Namun, pemerintahan Jokowi belum sukses menuntaskan renegosiasi kontrak dengan perusahaan tambang batubara yang kepemilikannya dimonopoli perusahaan swasta nasional yang dekat dengan kekuasaan politik di negeri ini.
Ada tujuh perusahaan PKP2B besar yang akan habis masa kontraknya dalam beberapa tahun ke depan. Mereka adalah PT Kendilo Coal Indonesia (2021), Kaltim Prima Coal/KPC (2021), PT Multi Harapan Utama (2022), Arutmin (2020), PT Adaro Indonesia (2022), PT Kideco Jaya Agung (2023), dan PT Berau Coal (2025).
Banyak sekali pemilik tambang adalah juga elite di negeri ini.
Dari segi ukuran, mereka adalah raksasa di sektor pertambangan batubara. Lahan dan pendapatan mereka sangat besar. Adaro memiliki pendapatan 3,45 miliar dollar AS dengan luas lahan 31.000 hektar, KPC 3,8 miliar dollar AS dengan lahan 90.938 hektar, Arutmin 1,1 miliar dollar AS dengan lahan 70.153 hektar, Berau dengan produksi 35 juta ton berkontribusi cukup besar ke induk usaha Sinarmas Group (118.400 hektar), Kideco 808 juta dollar AS dengan lahan 50.921 hektar, Multi Harapan 46.063 hektar, dan Tanito Harum 34.583 hektar.
Selama ini, perusahaan-perusahaan nasional ini menuntut pemerintah memberikan kepastian hukum dengan jalan mengesahkan UU Minerba. Mereka meminta perpanjangan kontrak dan luas lahan tak perlu diciutkan.
Pasal 169 poin (A) UU Minerba hasil revisi menyebutkan, perpanjangan izin perusahaan tanpa lelang. Pengesahan UU Minerba jelas memuluskan langkah korporasi mencari untung. Mereka raksasa dan pemain lokal yang mampu bertarung dengan korporasi global.
Mereka adalah pemasok utama batubara ke Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk memenuhi kelistrikan nasional. Tahun 2019, misalnya, realisasi batubara PLN untuk kelistrikan mencapai 91,1 juta ton dan perusahaan-perusahaan swasta nasional memasok 70 persen batubara dan sisanya 30 persen dari anak usaha PLN di sektor batubara.
Ruang bagi pengembangan energi baru terbarukan terimpit karena porsi batubara dalam bauran energi listrik masih didominasi batubara sebesar 62 persen. Daya tawar perusahaan-perusahaan batubara dalam konstelasi politik nasional memungkinkan itu.
Perusahaan-perusahaan ini juga sukses, tak perlu lagi ada aturan penciutan luas lahan. Pada periode pertama pemerintahan Jokowi, Kementerian Badan Usaha Milik Negara waktu itu meminta agar lahan PKP2B yang diciutkan diserahkan kepada PLN. PLN selama ini paling banyak menggunakan batubara untuk pembangkit listrik dan tak kesulitan pasokan.
Perusahaan-perusahaan batubara memang ada kewajiban domestic market obligation (DMO) untuk menjual ke PLN. Namun, banyak dari mereka lebih suka ekspor jika harga global naik dan sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan buyerdi luar negeri.
Dalam UU Minerba, ruang bagi PLN tak ada lagi. PLN harus siap membeli batubara perusahaan-perusahaan besar ini dan siap juga membeli batubara impor jika suplai tak mencukupi untuk kelistrikan dan energi nasional.
Rakyat Indonesia boleh bangga karena di sektor hulu penguasaan nasional besar. Pertambangan Grasberg di Papua sudah dikuasai perusahaan BUMN, Mind Id (Inalum), atau tambang Batu Hijau (Sumbawa Barat) sudah beralih dari Newmont Nusa Tenggara ke Amman Mineral.
Namun, sejak pemberlakuan program hilirisasi atau kewajiban membangun pabrik smelter dan pelarangan ekspor mineral mentah, korporasi-korporasi asing lebih nyaman bermain di sektor hilir. Pembangunan smelter dalam rangka meningkatkan nilai tambah mineral dan memberikan multiplier effect bagi pembangunan.
Namun, sejak pemberlakuan program hilirisasi atau kewajiban membangun pabrik smelter dan pelarangan ekspor mineral mentah, korporasi-korporasi asing lebih nyaman bermain di sektor hilir.
UU Minerba tak terlalu teliti membaca sektor hilir. Di hilir tak ada batasan soal kepemilikan asing. Realistis memang. Korporasi asing memiliki modal besar membangun pabrik nikel, bauksit, dan tembaga.
Perusahaan swasta nasional hanya menjadi pemain hulu, memiliki konsesi, dan menjual hasil tambang ke pabrik smelter milik perusahaan asing. Itu sudah terjadi di Morowali, Kanowe, dan banyak tambang nikel dan bauksit di Sulawesi Tengah dan Halmahera (Maluku Utara).
Perusahaan yang sudah membangun pabrik smelter juga masih kecil, baru 30 perusahaan dengan rincian 16smelter nikel, 5 smelter bauksit, 2smelter besi, dan 4 smelter timbal dan seng (Baca: Kementerian ESDM, 2020).
Di pertambangan nikel dan bauksit di Sulawesi Tengah dan Halmahera, monopoli korporasi China di sektor hilir sangat terasa. Hampir 80 persen pabrik smelter dikontrol pemain China.
Di Morowali, Hiangjaya Nickel membangun smelter NPI nikel senilai 200 juta dollar AS dengan kapasitas 150.000 ton, Harita Group dan Xingxing Ductile membangun pabrik NPI senilai 380 juta dollar AS berkapasitas 240.000 ton per tahun, serta Tsingsan dan PT Weda Bay Nickel (Perancis) membangun pabriksmelter nikel 2 miliar dollar AS di Halmahera.
Korporasi-korporasi asing yang membangun pabrik smelter ini juga banyak membawa serta pekerja asing untuk konstruksi pabrik dan membeli nikel mentah (ore) dari pemilik konsesi tak sesuai harga patokan pemerintah. Program pengembangan mobil listrik dengan mengandalkan nikel sebagai bahan baku untuk baterai kering justru menggiurkan korporasi-korporasi asing untuk mendominasi di sektor hilir.
Penguasaan smelter oleh perusahaan negara, seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), masih kecil. ANTM sedang mengerjakan proyek feronikel di Halmahera Timur dengan kapasitas 13.500 ton nikel. Jika ANTM mendapat konsesi tambang yang dilelang Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, itu bisa menghidupkan pabriksmelter Indonesia Chemical Alumina (ICA) di Halmahera.
ANTM juga sedang menyelesaikan proses konstruksi pabrik smelter,Smelter Grade Alumina (SGA), berkapasitas 2 juta ton per tahun di Mempawah, Kalimantan Barat. Sementara perusahaan swasta nasional lainnya tak sanggup berkompetisi dengan perusahaan asing di sektor hilir.
Dominasi asing di sektor hilir perlu dibaca secara cermat di ranah politik oleh DPR. Berbagai fakta pembangunan smelter di sektor tambang menunjukkan secara telanjang bahwa maju-mundurnya hilirisasi pertambangan tergantung pada kesediaan Freeport dan perusahaan-perusahaan China membangun smelter.
Jatuh bangun ekonomi nasional sangat bergantung kekuatan pihak asing. Ketika negara-negara itu hancur dan berhadapan dengan krisis, hilirisasi mineral juga ikut terhenti. Jatuh bangun penerimaan negara tergantung pihak asing. Begitu juga penambahan lapangan kerja sangat bergantung pada asing.
Dominasi asing di sektor hilir perlu dibaca secara cermat di ranah politik oleh DPR.
Uji materi
UU No 3/2020 inkonstitusional karena bertentangan dengan semangat Pasal 33 UUD NKRI 1945, bahwa pertambangan strategis dikuasai negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Maka, setiap warga negara berhak mengajukan uji materi UU ini ke Mahkamah Konstitusi. Pengesahan UU di tengah pandemi jelas tak etis meski secara prosedural legal. Akhirnya, pemimpin Republik, pusat dan daerah, perlu memikirkan secara serius masa depan daerah pascatambang.
Umur ekonomi tambang singkat, sementara Republik terus berjalan. Reklamasi pascatambang sebagaimana ditetapkan dalam UU Minerba baru juga perlu diimplementasikan secara konkret kepada semua korporasi tambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar