Judul: Buru Island. A Prison Memoir
Penulis: Hersri Setiawan
Penerjemah: Jennifer Lindsay
Penerbit: Monash University Publishing, Clayton, Victoria, 2020
Tebal: xxxix + 367 halaman
ISBN: 9781925835564 (paperback)
TIDAK memvonis, hanya bertutur, Hersri Setiawan (84) menulis MemoarPulau Buru yang terbit pertama tahun 2004. Ia bercerita penggalan hidupnya sebagai tapol terkait peristiwa G30S PKI tahun 1965. Pulang ke Indonesia tanggal 24 Agustus setelah dipersona-nongrata oleh Pemerintah Sri Lanka menyusul ditutupnya Biro Pengarang Asia Afrika di Kolombo, ia sudah merasa diincar.
Dugaannya benar. Ia ditangkap di Jakarta akhir tahun 1969, bebas dengan sebutan eks-tapol (ET) tahun 1979. Dua tahun lebih ditahan di Salemba dan Tangerang, tujuh tahun menjadi penghuni Tefaat Buru. Ia ditahan bersama sekitar 12.000 tapol di pulau ketiga terbesar di Kepulauan Maluku itu. Buku ini menuturkan apa yang diingat dan yang ingin disampaikan tentang penistaan dan kekejaman yang dilakukan sesamanya di sana.
Penuturan yang polos menjadi daya tarik buku, apalagi diselingi lelucon-lelucon pengusir kegetiran hati. Penuturannya membuat pembaca merenung, larut dalam kisah penistaan sesama. Mereka membuka puluhan ribu hektar hutan di Pulau Buru yang dikenal sebagai penghasil sagu, menjadi lahan persawahan. Di kemudian hari, Pulau Buru dikenal sebagai lumbung beras bagi Kepulauan Maluku.
Buku ini menuturkan apa yang diingat dan yang ingin disampaikan tentang penistaan dan kekejaman yang dilakukan sesamanya di sana.
Mereka bekerja (paksa?) mulai subuh hingga menjelang malam di bawah todongan bedil dan larangan kerja malas-malasan plus tak boleh membantah. Kekejaman di Tefaat Buru ternyata "kelanjutan" dari penahanan sebelumnya yang awalnya mereka sangka sebagai jalan menuju "pulau harapan".
Memoar Hersri bukan sebuah analisis ilmiah, abstraksi, atau framingperistiwa. Justru karena itu buku ini menjadi bahan berharga, pelengkap berbagai kajian tentang peristiwa tahun 1965 yang kini mulai terbuka itu, dan terus saja belum jelas dengan berbagai versinya.
Dalam kondisi politik dan sosial yang makin terbuka, bermunculan buku-buku kesaksian korban tapol, terutama perempuan, dengan kekejaman luar biasa di ruang-ruang tahanan berbagai kota. Tetapi kisah tentang Tefaat Buru, relatif sedikit. Memoar Hersri melengkapi beberapu buku tentang Tefaat Buru yang sudah terbit sebelumnya, termasuk NyanyianSeorang Bisu (Pramoedya Ananta Toer) yang kemudian dialihbahasakan dengan judul The Mute's Soliloqui.
Memoar Pulau Buru terbit lebih kurang lima tahun setelah Tefaat Buru ditutup dan termasuk buku laris. Pada April 2020, terbit versi bahasa Inggris yang diterjemahkan Jennifer Lindsay. Bukan sebuah terjemahan utuh sesuai aslinya, melainkan ada tambahan dan pengurangan.
Pengantar ditulis Ken Setiawan—antropolog, putri tunggal Hersri Setiawan—sebagai introduksi, yang dengan detail memberikan kesaksian tentang ayahnya sekaligus pendapatnya tentang peristiwa 30 September 1965 bahwa peristiwanya sebagai masalah politik (hlm. xixix).
Sepersetujuan Hersri dan Ken, demikian Lindsay, pengurangan, penambahan dan pemendekan dilakukan untuk mengurangi hal-hal yang kurang relevan (hlm. x). Karena itu, Pengantar oleh Saparinah Sadli pada Cetakan I dan Kesaksian sebagai Catatan Kebudayaan pada Cetakan III oleh I Gusti Agung Ayu Ratih, tidak diterjemahkan.
Delapan kisah tentang Tokoh-tokohku dalam Bagian II tidak diterjemahkan utuh dan diberi subjudul Part III Heru Santoso. Refleksi Hersri tentang Penjara dari Dua Sudut Pandang tidak diterjemahkan. Daftar Istilah detail versi Indonesia di bagian belakang ditulis padat secara alfabetik, ditaruh dengan subjudul "Glossary" di bagian depan.
Kesaksian bisu
Bagi kaum humanis, buku ini adalah kesaksian bisu, dalam arti dilakukan tidak untuk proses hukum, bukan abstraksi atau analisis ilmiah kekejaman sekitar pasca 30 September 1965. Hersri tidak ingin membuat analisis walaupun bisa saja dia lakukan. Dia sepenuhnya ingin menulis memoar.
Pesan yang mau disampaikan, kekejaman di Pulau Buru selama tujuh tahun menunjukkan sisi iblis manusia, yang menghalalkan segala cara terhadap sesamanya demi keserakahan berkuasa atau mumpung ada kesempatan. Untuk memudahkan pengawasan, mereka dibagi dalam blok-blok berdasar profesi dan pendidikan.
Bagi sejarawan yang tugasnya mencatat, menganalisis dan menceritakan kepada publik—kesaksian korban merupakan bahan penting, sumber pertama, agar tidak dituduh menyampaikan kebohongan. Sejarah memang milik pemenang, tetapi dengan penguakan secara terbuka memori para saksi, niscaya kebohongan terbuka, kalau tidak saat ini mungkin di saat nanti.
Hersri tidak ingin membuat analisis walaupun bisa saja dia lakukan.
Di sini terletak pentingnya kejujuran. Tentu secara kritis cermat, kesaksian-kesaksian bisa menguakkan suatu peristiwa penting—mungkin sebuah aib, noktah hitam--dalam perjalanan sejarah menegara dan membangsa. Berkat penuturan yang detail dan apa adanya—apalagi diceritakan oleh seorang budayawan dan bukan politisi seperti Hersri—penistaan terhadap manusia dan kemanusiaan itu menonjol.
Kisah-kisah kekejaman yang dialami Hersri dan kawan-kawan sesama tapol ibarat sebaran mosaik di bawah payung penistaan sesama demi tegaknya kekuasaan baru.
Selain Introduksi peristiwa 30 September 1965, kesaksian Ken Setiawan lewat pengalaman dan pustaka—Ken lahir tahun 1982—memoar terdiri atas 19 kisah atau bab (chapter) yang terbagi dalam empat bagian (part). Bagian terakhir (Lifeafter Buru) semacam refleksi: Buru 20 kemudian.
Buru dan Ambon dikenal lama sebagai penghasil minyak kayu putih, sedangkan Buru sudah lama penghasil sagu (hlm. 325-326). Kata Buru memiliki daya magis atau menurut istilah ahli bahasa van Ophuysen sebagai "magi bahasa". Daya magis itu, menurut Hersri, kemudian diperlembut rezim Soeharto dengan sebutan Eks Tapol.
Barangkali tidak diperkirakan penguasa waktu itu, "orang-orang buangan" itu akan memiliki daya tahan untuk survival (hlm. 327). Menurut Hersri, Buru ibarat purgatorio, kawah candradimuka tempat menjadikan manusia "bersih" dan "kuat".
Barangkali tidak diperkirakan penguasa waktu itu "orang-orang buangan" itu akan memiliki daya tahan untuk survival (hlm. 327).
Bagi Jennifer Lindsay, meskipun bertahun-tahun belajar bahasa Jawa, kadang-kadang mengalami kesulitan menerjemahkan suasana batin dan maksud Hersri. Sebab dengan kekayaan budaya Jawa Hersri yang sarat penafsiran dan makna, Lindsay perlu berpikir lama untuk menerjemahkkannya secara tepat. Ia perlu berpikir lama, perlu mendiskusikannya dengan Hersri dan Ita Nadia (istri Hersri semenjak Jitszke, ibunya Ken, meninggal).
Tanpa mengurangi makna dan konteks, kadang ungkapan-ungkapan kasar atau kosa kata naskah asli dia perlu terjemahkan lain. Contohnya, kalimat asli tertulis "Kami harus mampus…." (hlm. 435), dialihbahasakan menjadi "We had toexpire… (hlm. 327).
Menghadapi kegetiran hidup di Pulau Buru, kadang-kadang muncul leluconnya, pun menyangkut perlakuan tidak manusiawi. Hersri bisa menertawakan diri sendiri. Misalnya, "...tidak kuduga sama sekali, jangkrik itu dimasukkan ke lubang kiri telingaku". Akibatnya berdampak pada berkurangnya kemampuan mendengar, sesuatu yang juga diakui oleh Ken dalam Pengantar.
Menggambarkan sakit tak tertanggungkan karena gigitan nyamuk di Tefaat Buru, Hersri dan temannya memakai istilah "naik Honda".
Buru Island bukanlah ajakan belas kasihan," tulis Ken. Dengan kisah survivalnya, Hersi memohonacknowledgment (pengakuan) dalam sisi gelap sejarah Indonesia. Dan, mungkin kesaksian bisu semacam itu bisa diperluas dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang menggantung. Untuk kejelasan generasi penerus dalam membangun dan menegara, dan tidak dibiarkan gelap atau "remang-remang" terus.
Dengan kisah survivalnya, Hersi memohon acknowledgment (pengakuan) dalam sisi gelap sejarah Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar