Nasib, kalau boleh dikatakan demikian, Libya bagaikan sudah jatuh tertimpa tangga. Setelah disapu Revolusi Musim Semi yang menjadi dadakan jatuhnya pemerintahan (serta tewasnya) Moammar Khadafy, negeri itu kini tersungkur masuk jurang perang saudara. Dan, perang saudara ini telah memikat banyak negara untuk terlibat.
Dua kelompok yang berseteru berebut kekuasaan dan kekayaan alam (minyak dan gas), yakni Pemerintah Kesepakatan Nasional (Government of National Accord/GNA) hasil dari campur tangan NATO dan diakui PBB berpusat di Tripoli di bawah pimpinan PM Fayez al-Sarraj dan DPR yang didukung oleh Tentara Nasional Libya (Libyan National Army/LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar di Tobruk, Libya Timur yang didukung kelompok loyalis Khadafy. Kedua lembaga yang memerintah itu sama-sama mendirikan bank sentral dan mengonsolidasikan kekuatan untuk mengontrol ladang minyak.
Konflik dua kekuatan itu yang mengundang negara asing. Turki dan juga Italia, masuk mendukung GNA. Sementara Rusia, Mesir, Uni Emirat Arab, Saudi Arabia, dan Jordania mendukung Haftar. Yang lebih menarik adalah baik Turki maupun Rusia tidak menerjunkan tentaranya langsung melainkan menggunakan tentara bayaran. Sementara negara-negara Uni Eropa dan AS melihat dari luar sambil berusaha mencari solusi damai.
Apa yang mendorong Turki dan Rusia mengalihkan perhatian dan fokusnya dari Suriah ke Libya? Ada banyak alasan. Meskipun mereka tetap tidak meninggalkan Suriah, juga karena beberapa alasan. Turki, misalnya, berbatasan langsung dengan Suriah dan berurusan dengan kelompok Kurdi yang menguasai wilayah Suriah utara, daerah yang berbatasan dengan Turki. Rusia tetap menginginkan palabuhan Tartus di Suriah, misalnya.
Tentara bayaran
Istilah tentara bayaran,mercenary dalam bahasa Inggris, berasal dari kata dalam bahasa Latin, mercennarius (sewa, sewaan, upahan, bayaran, tentara sewaan). Karena itu, Shorter Oxford English Dictionary (2007) edisi ke-6 mendefinisikan mercenary sebagai "... seorang tentara profesional yang menjalankan tugas kekuatan asing."
Sejarah menceritakan bahwa mula pertama tentara bayaran muncul setelah Perang Peloponnesia (431–404 SM), berakhir antara dua negara-kota terkemuka di zaman Yunani kuno, Athena dan Sparta. Akibat perang, perekonomian kedua negara-kota morat-marit dan kemiskinan merajalela. Salah satu cara untuk menyiasati hidup adalah menjadi tentara bayaran. Sekarang kesulitan ekonomi dan kemiskinan juga yang mendorong seseorang terjun menjadi tentara bayaran.
Pada Abad Pertengahan hingga awal abad ke-18, marak digunakan tentara bayaran. Perang Seratus Tahun (1337-1453) antara Perancis dan Inggris, juga banyak menggunakan tentara bayaran. Sehingga bisnis tentara bayaran pada waktu itu laku keras. Negara-negara kota Italia kaya-kaya, tetapi mereka tidak mampu membentuk tentara yang kuat, mereka pun menyewacondottieri, tentara bayaran, yang sangat biasa di Eropa antara abad ke-14 hingga ke-16.
Sejumlah negara, misalnya, Swiss menjadi pemasok utama tentara bayaran. Dan, Perancis pada abad ke-16 dan ke-17, menjadi salah satu penggunanya. Dalam perkembangannya, tentara bayaran menjadi benar-benar multinasional. Raja Prussia Frederick Agung atau Frederick William II (1712-1786), yang kondang sebagai ahli strategi militer pada waktu berkobar Perang Tujuh Tahun 1756-1763 antara Prussia dan Austria, Perancis, Rusia, serta Swedia menggunakan tentara bayaran, menggabungkan seluruh pasukan Saxon dalam pasukannya.
Setelah Revolusi Perancis (1789-1799), penggunaan tentara bayaran dilarang di Perancis. Bahkan Napoleon berhasil menerapkan wajib militer yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain (Holger Hestermeyer, 2016).
Akan tetapi, pasca-revolusi malah muncul sejumlah institusi militer yang begitu terkenal. Pada tahun 1831, Perancis membentuk Legiun Asing Perancis. Tentara Inggris mempekerjakan unit Gurkha, tentara Spanyol pada 1920 membentuk Legiun Asing (Tercio de Extrajeros), dan Uni Emirat Arab menyewa tentara dari Oman, Yaman, Jordania, Pakistan, dan Inggris.
Menurut Holger Hestermeyer (mengutip pendapat A-F Musah dan J Kayode Fayemi, Mercenaries: An African Security Dilemma, 2000), tentara bayaran muncul lagi selama proses dekolonisasi Afrika pada tahun 1960-an. Mereka disewa oleh kekuatan kolonial, kelompok-kelompok separatis, pemerintah, pemberontak, dan pada waktu itu perusahaan-perusahaan multinasional yang harus berperang menghadapi gerakan pembebasan nasional atau mempertahankan kepentingan asing.
Tentara bayaran terlibat dalam berbagai konflik, misalnya, di Kongo 1960, Yaman 1964, Nigeria 1967, Angola 1975-1976, dan penggulingan Presiden Comoro Ahmed Abdallah pada 1975. Mereka juga digunakan oleh kartel-kartel obat bius.
Setelah Perang Dingin (1947-1991) berakhir, terjadi perubahan lagi dalam lingkungan keamanan. Ini terjadi karena kemunculan negara-negara gagal, konflik regional, perang saudara, dan juga kerusuhan yang dilakukan oleh aktor-aktor non-negara. Karena itu, muncullah lagi perusahaan-perusahaan militer/keamanan swasta yang menyediakan layanan keamanan. Mereka menyediakan layanan mulai dari pelatihan hingga perlindungan dan operasi negara.
Perusahaan-perusahaan militer swasta ini beroperasi dan terlibat dalam konflik dan perang antara lain di Angola dan Sierra Leon (1990-an), dan Perang Irak (2003). Pada saat perang Irak dan juga Afghanistan dikenal perusahaan layanan keamanan AS, yakni Blackwater.
Padahal, Konvensi Geneva 1989 melarang tidak hanya penggunaan tentara bayaran, tetapi juga "Perekrutan, Penggunaan, Pembiayaan, dan Pelatihan Tentara Bayaran." Konvensi ini mulai berlaku pada 2001 dan ditandatangani 36 negara. Yang menarik, AS, Rusia, Turki, dan Inggris belum meratifikasi konvensi itu. Karena itu, tidak aneh kalau Rusia dan Turki kini menggunakan tentara bayaran dalam keterlibatan mereka di Libya.
Turki dan Rusia
Sudah menjadi rahasia umum bahwa salah satu yang menjadi penarik Turki dan Rusia terlibat dalam perang saudara di Libya adalah minyak dan gas alam. November lalu, dicapai kesepakatan antara Turki dan Libya berkaitan dengan perbatasan maritim di Laut Tengah antara kedua negara.
Dalam kesepakatan tersebut, perbatasan laut yang ada dimodifikasi dan menetapkan beberapa ladang gas yang ditemukan di Laut Tengah beberapa tahun lalu tidak lagi berada di zona maritim Libya melainkan berada di zona maritim Turki. Artinya menjadi milik Turki. Selain itu, ditandatangani pula kesepakatan menyangkut masalah kerja sama keamanan dan militer (Modern Diplomacy, 20/12/2019).
Sebagai imbalannya, di bidang militer, Turki memberikan bantuan kepada GNA perlengkapan militer, termasuk senjata antipesawat terbang, dan kendaraan bersenjataan. Bahkan, Turki mengirimkan tentara untuk mendukung GNA.
Karuan saja, langkah Turki terutama berkait dengan minyak membuat negara-negara di kawasan—Mesir, Yunani, Siprus, dan Israel—yang memiliki kepentingan yang sama, meradang. Apalagi, pada Desember lalu, Turki dan GNA menyepakati untuk berbagi Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang membentang dari pantai selatan Turki hingga pantai timur-laut Libya. Selain itu, Turki mengirimkan tentara bayaran untuk mendukung GNA menghadapi Haftar.
Sementara itu, Rusia juga terlibat dalam perang saudara di Libya. Seperti di Suriah, kepentingan Rusia di Libya, antara lain, termasuk perluasan wilayah pengaruhnya baik di bidang politik maupun militer di kawasan Timur Tengah dan Laut Tengah (Afrika Utara), setelah AS sibuk dengan dirinya sendiri. Rusia juga tertarik pada minyak Libya dan ingin membangun kontrak untuk pembangunan Libya.
Yang menarik adalah pihak yang didukung Rusia berbeda dengan yang didukung Turki. Rusia mendukung Haftar, sedangkan Turki mendukung GNA. Keduanya sama-sama berharap bahwa pada akhirnya pihak yang didukung akan memenangi perang saudara. Itu berarti mereka akan memperoleh keuntungan ekonomi, terutama di bidang perminyakan, sekurang-kurangnya.
Ini sama dengan posisi mereka di Suriah. Rusia mendukung rezim Bashar al-Assad (ada kepentingan strategis dan ekonomis); sebaliknya, Turki mendukung kelompok oposisi yang menginginkan Bashar disingkirkan. Meskipun belakangan mereka bisa bersama. Namun, Turki di Suriah memiliki kepentingan khusus, yakni menyingkirkan kelompok Kurdi, terutama di sepanjang perbatasan Turki-Suriah di Suriah bagian utara.
Rusia juga, seperti di Suriah, dengan mendukung Haftar dalam rangka mencari pelabuhan laut dalam di pantai Mediterania, mengendalikan pasokan minyak ke Eropa, pengaruh atas arus migran ke Eropa dari Afrika sub-Sahara, dan mengharapkan mendapatkan kontrak rekonstruksi Libya pasca-perang nanti.
Haftar mulai mencari bantuan dari Rusia pada 2015 setelah terkesan oleh operasi Rusia di Suriah. Untuk mendapatkan dukungan Rusia, Haftar menjanjikan "minyak, pembangunan jalur kereta api, jalan bebas hambatan, dan apa saja yang diinginkan." Sebaliknya, Rusia diharapkan memberikan bantuan militer dan dukungan diplomatik dalam pertarungan melawan GNA.
Perang proksi
Keterlibatan Turki dan Rusia dalam perang saudara di Libya sangat menarik sekaligus membuat situasi tambah pelik. Mereka tidak "mencelupkan tangannya secara langsung." Baik Turki maupun Rusia menggunakan tentara bayaran (Arabia Policy, 24 Juni 2020). Pada 2 Januari 2020, Parlemen Turki meratifikasi sebuah memorandum yang diajukan istana kepresidenan tentang pengiriman pasukan Turki ke Libya.
Pasukan yang dikirim adalah tentara bayaran. Dengan menggunakan tentara bayaran, biaya perang relatif lebih murah dan risiko lebih kecil, misalnya, tidak akan kehilangan tentaranya sendiri. Selama ini, tentara bayaran sudah terlibat dalam beberapa perang, mulai dari perang di Irak (invasi AS tahun 2003) di Suriah, Yaman, dan sekarang di Libya.
Dalam keterlibatannya di Libya, Rusia bermain lebih "cantik", tidak mau mengotori tangannya sendiri, ketimbang Turki. Moskwa menjalin kerja sama militer dengan Wagner Group, sebuah korporasi militer swasta yang dekat dengan Kremlin. Jadi, Wagner Group-lah yang mengirimkan tentaranya. Kantor berita Reuters yang mengungkap laporan rahasia PBB, melaporkan kehadiran 1.200 tentara bayaran dari Wagner Group di Libya (Libya Observer, 7 Mei 2020).
Sementara, Turki secara terbuka mendukung GNA dengan merekrut anggota-anggota kelompok bersenjata di Suriah yang selama ini sudah "dibina". Menurut Syrian Observatory for Human Rights yang berpusat di Inggris, Turki merekrut 10.000 orang Suriah untuk bertempur di Libya. Tentang perekrutan orang-orang Suriah oleh Turki untuk berperang di Libya juga diungkapkan oleh Syrian for Truth and Justice (STJ) dalam laporannya 11 Mei 2020.
STJ melaporkan tentara bayaran itu direkrut dari kelompok-kelompok bersenjata di Suriah yang selama ini mempunyai jalinan dengan Turki. Mereka, antara lain, Korps Pertama Tentara Nasional, Divisi Sultan Murad, Divisi Mu'tasim, Brigade Suleiman Shah atau al-Amshat, Levant Front, Glory Corps/Faylaq al-Majd, Jaysh al-Islam, Brigade Al-Moutasem, Faylaq al-Sham, Nour al-Din al-Zeki, Jaysh al-Tahrir, Divisi Hamza, Jaish al-Nasr, dan Liqa Suqur al-Jabal.
Turki tidak hanya merekrut tentara bayaran dari Suriah, tetapi juga dari Yaman. Sumber intelijen dan militer Yaman mengungkapkan, 200 tentara bayaran dari Yaman telah dikirim ke Libya oleh Turki. Berita tersebut juga dibeberkan oleh Yemen News Portal, yang mengungkapkan sebuah kelompok milisi yang berafiliasi dengan Partai Islah di Marib telah mengirim tentaranya ke Turki.
Dengan kondisi seperti itu, bagaimana masa depan Libya? Pasti akan sangat tergantung dari negara lain, yang sekarang terlibat. Jika, misalnya, GNA kalah, Turki akan kehilangan akses ke ladang minyak dan gas di Laut Tengah, Rusia yang akan menikmati hasil. Jika Haftar menang—Rusia juga menang—berarti akan membuyarkan kesepakatan yang sudah dicapai antara Tripoli dan Ankara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar