Tidak mengejutkan jika pembatasan sosial berskala besar atau PSBB di masa transisi adaptasi kebiasaan baru diperpanjang lagi di Jakarta. Pula seperti sebelumnya, daerah tetangga Ibu Kota mengikuti langkah si "kakak pertama" di keluarga besar Jabodetabek ini.
Perpanjangan PSBB masa transisi di Jakarta mulai dilakukan pada awal Juni, seusai 2,5 bulan masa PSBB ketat. Ditandai dibolehkannya sejumlah kegiatan dan fasilitas publik kembali beroperasi. Perkantoran dan tempat wisata, misalnya, aktif kembali dengan rambu-rambu keterisian karyawan atau pengunjung maksimal hanya 50 persen dari kapasitas normal. Hal yang sama berlaku untuk jaringan angkutan publik.
Dua bulan berlalu, laporan dari PT Kereta Commuter Indonesia, penumpang kereta komuter atau KRL Jabodetabek bertambah 4-8 persen per minggu dan kini sudah mendekati angka 500.000 penumpang per hari atau separuh dari total penumpang sebelum pandemi.
Polda Metro Jaya dan Dinas Perhubungan DKI Jakarta menyatakan, kepadatan kendaraan pribadi di pintu tol dan jalan-jalan dalam kota pada jam sibuk pagi dan sore saat ini telah mencapai 98 persen. Itu hampir sama dengan volume kendaraan sebelum PSBB, Maret lalu.
Seiring meningkatnya pergerakan warga tersebut, setidaknya sebulan terakhir, garis kurva kasus positif Covid-19 di Jakarta berangsur menanjak. Kluster perkantoran, kluster pasar, kluster tempat dan kegiatan ibadah, kluster permukiman padat adalah sebagian kasus yang jadi penyumbang pertambahan jumlah orang terkonfirmasi Covid-19.
Data Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, hingga Jumat (31/7/2020), ada penambahan 2.040 kasus positif di seluruh Indonesia. Lima provinsi penyumbang kasus terbanyak adalah Jawa Timur, DKI Jakarta, Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Total kasus positif Covid-19 di Indonesia kini mencapai 108.376 kasus dengan 5.131 orang meninggal. DKI menyumbang 110 kasus positif baru pada hari yang sama dengan total terkonfirmasi mencapai 7.147 kasus dan 821 korban meninggal.
Gejala umum
Pembatasan seperti yang dilakukan di kota-kota di Indonesia adalah hal umum yang juga dilakukan kota-kota di negara lain. Istilahnya bisa berbeda-beda, tetapi pada dasarnya memiliki konsep sama, yaitu membatasi pergerakan warga serta menjaga jarak antarindividu demi mencegah penetrasi virus korona baru, SARS-CoV-2, pemicu Covid-19.
The Conversation dalam laporannya 15 Juli lalu menjelaskan, setelah beberapa bulan melaksanakan pembatasan sosial atau karantina, kota Melbourne di Australia dan Leicester di Inggris panen kasus positif Covid-19 baru sesudah memberlakukan pelonggaran. Laporan itu menyebut respons pemerintah terkait lonjakan kasus baru tersebut adalah memberlakukan kembali karantina ketat di Melbourne dan Leicester.
Baca juga : Kota Tanpa Turis
Dalam beberapa hari terakhir, situasi kritis yang sama dihadapi kota Da Nang di Vietnam. Da Nang yang mulai menggeliat lagi bisnis pariwisatanya tiba-tiba dikejutkan dengan temuan 80 kasus terkonfirmasi Covid-19. Kota itu lantas ditutup rapat. Semua layanan transportasi publik dari dan ke kota itu dihentikan.
Per 31 Juli 2020, Vietnam mengumumkan satu korban meninggal pertama di negara itu akibat Covid-19. Sebelumnya, Vietnam selalu dipuji, dijadikan contoh, karena berhasil mengendalikan laju penularan wabah global dan sempat tiga bulan tanpa kasus positif baru, hingga akhirnya kasus di Da Nang mengguncang negara tetangga itu.
Tidak semua pemerintah kota maupun pusat bisa mengambil kebijakan pembatasan ketat kembali setelah ada pelonggaran seperti di Melbourne, Leicester, dan Da Nang. Yang menjadi gejala umum adalah ketika dianggap berhasil membendung penyebaran virus, karantina ketat diakhiri. Biasanya diikuti pembatasan dengan pelonggaran dan pemberlakuan karantina di area yang lebih kecil, skala mikro, ketika ada lonjakan kasus. Berhasil atau tidak, hasil pastinya belum diketahui. Namun, seperti terjadi di Jakarta, kasus positif baru justru menjamur.
The Conversation menambahkan, saat pembatasan dilonggarkan, masyarakat masih dalam kondisi amat berisiko karena sampai sekarang belum ada vaksin Covid-19. Akibatnya, potensi lonjakan kasus akan selalu ada. Upaya mengeliminasi potensi penularan hanya bisa dilakukan dengan pembatasan ketat dan intensif dengan menutup perbatasan eksternal dan internal demi memberantas transmisi lokal serta mencegah impor virus dari kawasan lain. Strategi eliminasi ini hanya berhasil di beberapa negara dan wilayah, seperti Selandia Baru yang memberlakukan lockdown lebih awal dari negara lain dan lebih ketat.
Dalam artikel di Thomson Reuters Foundation pada 3 Juli lalu diketahui bahwa ketika ada kesempatan untuk bebas, orang cenderung kembali berperilaku ke masa sebelum pembatasan ketat. Orang-orang yang merasa sehat dan sudah bosan dengan pembatasan akan lebih sulit untuk diminta membatasi dirinya sendiri, seperti memakai masker setiap saat serta menjaga jarak. Akibatnya, pelanggaran aturan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 cenderung tak terbendung seusai pembatasan ketat dialihkan ke pembatasan dengan "embel-embel" pelonggaran.
Pembatasan ketat juga memiliki banyak dampak serius, termasuk pada kesehatan mental dan ekonomi. Perdana Menteri Perancis Jean Castex telah mengesampingkan opsi pembatasan ketat. Alasannya, membawa konsekuensi pada ekonomi dan manusia, yang adalah bencana mengerikan.
Mengutip UBS Global Wealth Management, The Conversation menyatakan, lockdown suatu negara dapat menghabiskan biaya per bulan hingga 3 persen dari total produk domestik bruto atau pendapatan nasional negara bersangkutan.
Seperti lingkaran setan, pembatasan sosial ketat memiliki konsekuensi berat pada negara. Jika dilonggarkan, penularan Covid-19 bisa tidak terkendali dan dampaknya tak kalah mengerikan.
Pada akhirnya, seperti lingkaran setan, dibatasi ketat konsekuensinya berat tak tertahankan. Dilonggarkan, penularan meluas. Jika makin parah, otomatis semua kegiatan publik terhenti dan bencana mengerikan tak diragukan amat mungkin terjadi. Semua kota besar, semua negara, kebingungan menghadapi hal ini.
Di ambang krisis
Bicara potensi krisis, kanal berita Reuters pada Kamis (30/7/2020) menurunkan artikel "PBB: Kemiskinan Asia Tenggara Melonjak dalam Krisis Sosial-Ekonomi". Artikel tersebut menyatakan negara-negara di Asia Tenggara berada di ambang krisis sosial ekonomi yang disebabkan oleh pandemi Covid-19.
Jurnalis Tom Allard dalam artikel itu menyebut laporan PBB yang menjelaskan krisis berpotensi mengancam mata pencarian 218 juta pekerja informal di Asia Tenggara. Ekonomi di seluruh Asia Tenggara diperkirakan berkontraksi 0,4 persen pada 2020, sedangkan pengiriman uang dari warga Asia Tenggara yang bekerja di luar negeri kemungkinan turun 13 persen atau setara 10 miliar dollar AS.
Armida Salsiah Alisjahbana, Kepala Komisi Ekonomi dan Sosial AS untuk Asia dan Pasifik, dalam laporan PBB yang sama menyatakan, selain meningkatkan pengeluaran untuk pembiayaan kesejahteraan sosial, negara-negara Asia Tenggara harus memprioritaskan pengeluaran kesehatan lebih tinggi.
Laporan tersebut mencakup Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Brunei Darussalam, Malaysia, Myanmar, Singapura, Indonesia, dan Timor Leste. Enam dari 11 negara di kawasan ini, termasuk dua negara terbesarnya, yaitu Indonesia dan Filipina, berada di peringkat terendah untuk pengeluaran kesehatan pada indeks pembangunan manusia.
Laporan PBB tersebut bukan hal baru. Sebelumnya, Badan Pusat Statistik memublikasikan data bahwa ada 26,42 juta orang miskin di Indonesia pada Maret 2020. Jumlah ini naik 1,63 juta orang dari September 2019 yang sebanyak 24,79 juta orang dan naik 1,28 juta orang dari Maret 2019 yang mencapai 25,14 juta orang. Angka kemiskinan per Maret 2020 sebesar 9,78 persen. Setelah bertahun-tahun, setidaknya sejak 2006, baru pada dua tahun lalu, yaitu Maret 2018, angka kemiskinan Indonesia di bawah 10 persen (Kompas, 16 Juli 2020).
Keprihatinan terhadap ancaman krisis di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia, sudah lebih dulu resmi muncul pada 27 Juli 2020. Kala itu, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres di New York, AS, berpidato dan merilis peluncuran ringkasankebijakan tentang dampak Covid-19 di Asia Tenggara. Seperti dikutip dari laman WHO International, Guterres mengatakan negara-negara di Asia Tenggara tak kalah telak dipukul oleh bencana non-alam pada 2020 seperti dialami negara lain di belahan lain Bumi.
Ke depan, menurut Guterres, ada empat bidang penting yang termasuk dalam rencana pemulihan kawasan di Asia Tenggara. Pertama, mengatasi ketimpangan dalam pendapatan, perawatan kesehatan dan perlindungan sosial yang diwujudkan dalam langkah-langkah stimulus jangka pendek serta perubahan kebijakan jangka panjang.
Kedua, menjembatani kesenjangan digital yang bertujuan untuk memastikan tidak seorang pun tertinggal di dunia yang semakin terhubung ini. Ketiga, pengembangan ekonomi hijau yang berarti meningkatkan sektor ekonomi yang ramah lingkungan untuk menciptakan lapangan kerja di masa depan dan mendekarbonisasi ekonomi yang saat ini masih terlalu bergantung pada batubara dan bahan bakar fosil lainnya.
Situasi saat ini mengarah ke resesi dan ketegangan sosial. Saya mengandalkan semua negara di Asia Tenggara untuk menerjemahkan komitmen itu menjadi perubahan yang berarti di lapangan. (Antonio Guterres)
Keempat, menegakkan hak asasi manusia, melindungi ruang publik, dan mempromosikan transparansi di segala bidang. Bidang keempat ini merupakan respons dasar yang efektif dan amat diperlukan di masa tak menentu ini.
"Situasi saat ini mengarah ke resesi dan ketegangan sosial. Saya mengandalkan semua negara di Asia Tenggara untuk menerjemahkan komitmen itu menjadi perubahan yang berarti di lapangan," kata Guterres.
Peran publik
Kebijakan empat bidang utama dorongan dari PBB itu biarlah menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk menerjemahkannya. Dengan dorongan, bantuan, serta diawasi publik dan dunia, tak sepantasnya negeri ini salah arah.
Kita, sebagai rakyat, bisa berperan aktif sesuai porsi kita. Dalam artikel bersama di The Conversation, tiga peneliti kesehatan publik dari Universitas Victoria, Australia, Mitchell Maximilian de Courten, Bo Klepac Pogrmilovic, dan Rosemary V Calder, berpendapat, andil publik, terutama warga kota besar yang selama ini menjadi pusat penularan wabah, adalah dengan patuh mengenakan masker. Trio periset ini sepakat bahwa durasi pembatasan sosial bisa dikurangi hingga setengahnya jika diiringi kepatuhan penggunaan masker.
Mengenakan masker menurunkan risiko penyebaran cairan dari hidung dan mulut dari dan ke orang lain, yang berarti menekan risiko tertular atau menulari. Derek Chu, ilmuwan dari McMaster University di Ontario, Kanada, memimpin studi metaanalisis terhadap 44 riset yang melibatkan 25.000 orang atau partisipan di 16 negara. Hasil studi Chu ini sudah dipublikasi di jurnal kesehatan The Lancet, 1 Juni 2020.
Hasilnya, peluang tertular jika kita memakai masker wajah hanya 3 persen. Sementara jika tidak menggunakan masker, peluang kita tertular sebesar 17 persen. Adapun jaga jarak dari orang lain minimal 1 meter bisa menurunkan risiko tertular hingga 3 persen. Sementara jaga jarak kurang dari 1 meter risiko tertular 13 persen. Untuk setiap penambahan jarak 1 meter, risiko tertular virus korona berkurang setengahnya (Kompas.id, 10 Juni 2020).
Disiplin bermasker diiringi menjaga jarak di mana saja saat kita bertemu orang lain memungkinkan aktivitas publik berjalan stabil. Sebuah langkah ringan tapi jitu mengerem laju datangnya krisis ekonomi dan sosial, yang berarti mencegah resesi.
Maskermu penyelamatmu. Penyelamat kita dari penyakit dan resesi global.
Kompas, 2 Agusus 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar