Bocah laki-laki asyik bermain sendirian di tepian Situ Gintung. Cuaca mendung berangin memudahkannya menerbangkan layang-layang siang itu. Merapat ke bibir situ, beberapa laki-laki duduk di atas bebatuan saling berjauhan. Suasana dibiarkan senyap tanpa kata-kata sembari menunggu ikan termakan umpan di mata kail mereka.
Di hadapan mereka, hampar air melimpah memantulkan warna hijau tua. Di ujung jauh, tepian situ seperti menyatu dengan kaki langit berbatas garis lurus.
Situ Gintung yang merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Pesanggrahan ini berada di tengah impitan kepadatan kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Dari ruas beton yang berfungsi sebagai jalan inspeksi, terlihat kompleks kampus besar, rumah sakit, permukiman penduduk, dan berbagai tempat usaha yang mengepung situ.
Akses ke ruang terbuka biru sekaligus ruang terbuka hijau publik ini gampang-gampang susah. Senin (2/11/2020) lalu, tak ditemukan rambu atau penanda arah menuju situ tidak dijumpai di sepanjang Jalan Ciputat Raya. Jika memakai aplikasi pemandu arah, kita akan dibawa ke taman wisata milik swasta. Obyek wisata tersebut berada di tepi situ, tetapi tidak memiliki akses pemandangan bebas ke arah situ.
Dari Situ Gintung kita juga belajar saat ruang air diserobot semena-mena, sewaktu-waktu air akan melipatgandakan kekuatannya dan kembali merebut miliknya.
Jika benar-benar ingin menikmati ruang terbuka publik Situ Gintung, saat menyusuri Jalan Ciputat Raya menuju arah Pamulang, berbeloklah ke kiri ke Jalan Situ Gintung sebelum pertigaan lampu merah Rempoa. Namun, setelah berhasil menemukan Situ Gintung, giliran pusing mencari tempat parkir. Pengguna sepeda motor mungkin lebih mudah karena bisa parkir di pinggir jalan atau dekat warung kaki lima yang buka. Pengguna mobil pasti kebingungan karena tidak ada lahan parkir resmi di sana.
Baca juga: Tren Global Bersantap dan Beraktivitas di Luar Ruangan Kala Pandemi
Entah, apa yang terjadi dengan pemerintah daerah. Bagaimana mungkin ruang publik seelok Situ Gintung tidak bisa dikelola secara proporsional. Padahal, Situ Gintung adalah aset tak ternilai, bagian dari sedikit situ dari 160-an situ di Jabodetabek yang terbilang awet lestari sejak dibangun Belanda sekitar 87 tahun silam.
Sejarawan Restu Gunawan menyebut, Situ Gintung tidak semata waduk buatan Belanda, melainkan bermula dari sebuah danau alami (Kompas, 28 Maret 2009). Sejarawan yang mendalami jejak pengendalian banjir di Jakarta dan sekitarnya ini mengatakan, Danau Gintung bagian dari DAS Pesanggrahan dan Kali Angke. Semua terbentuk bersamaan dengan awal pembentukan dataran rendah Jakarta dan sekitarnya, sekitar 5.000 tahun silam.
Dulu, kata Restu, aktifitas gunung api di kawasan yang kini disebut Bogor memicu longsoran material ke arah pantai. Longsoran material yang menyerupai kipas itu menyebar dari selatan ke utara yang kini sebagian besar menjadi kawasan Jabodetabek.
Antara 1930 dan 1935, Belanda yang masih menguasai di Indonesia giat membangun infrastruktur penghalau banjir dan irigasi di Batavia dan sekitarnya. Penguatan waduk alami Situ Gintung diyakini bagian program pembangunan pada masa itu.
Baca juga: (R)Evolusi Pusat Belanja
Berpuluh tahun setelah dibangun dan ditata ulang oleh Belanda, Situ Gintung terus berfungsi seperti yang diharapkan. Dalam kondisi normal, dengan kedalaman sekitar 10 meter, Situ Gintung bisa menampung hingga 2 juta meter kubik air. Hingga awal 2009, menurut Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Kementerian Pekerjaan Umum, perawatan seperti pengerukan situ rutin dilakukan dan situ dinyatakan dalam kondisi baik.
Ditata pascabencana
Di balik status baik-baik saja yang disematkan ke Situ Gintung, sebenarnya ada sejumlah persoalan terkait perawatan dan pengelolaan kawasan tangkapan air tersebut. Okupasi lahan sekitar situ terus terjadi. Dari awalnya seluas 31 hektar lebih, Situ Gintung menyusut menjadi 21,4 hektar. Kekhawatiran tanggul bocor, merembes, hingga berkurang kekuatannya untuk menahan air sempat menjadi pembicaraan penduduk menjelang tahun 2009.
Pada 27 Maret 2009 dini hari, ketakutan warga menjadi nyata. Tanggul Situ Gintung jebol. Air bah tumpah menerjang permukiman di sekitar aliran keluar situ yang berada lebih rendah 10-15 meter dari bibir tanggul. Sedikitnya 98 warga meninggal dan lebih dari 100 orang lainnya hilang (Kompas, 1 April 2009).
Buntut musibah besar kawasan padat dekat Ibu Kota itu adalah penataan Situ Gintung yang tergolong terlaksana secara kilat. Jalan setapak sekeliling situ diganti jalan beton. Beton tebal juga menjadi dinding tanggul.
Nama "Bendungan Gintung" disematkan di salah satu sisi tepian situ. Pintu air diperkuat dan outlet serta kanal tempat air keluar dari situ turut diturap. Ada radius tertentu dari tepi situ dan bantaran kanan kirinya kanal yang bersih dari pemukim dan berbagai bangunan permanen.
Selain itu, ada fasilitas rumah jaga pemantau kondisi situ. Tak lupa Tugu Situ Gintung didirikan sebagai penanda pernah terjadi musibah dan tonggak penataan ruang air yang memadai sekaligus meminimalkan risiko bencana bagi manusia.
Masih dari DAS Pesanggrahan, cerita berbeda dikumandangkan dari Hutan Kota Sangga Buana Pesanggrahan di Karang Tengah, Lebak Bulus, Jakarta Selatan, yang berbatasan dengan Cinere, Depok, Jawa Barat. Tak ingin didahului bencana, penataan sungai sejak dini dilakukan secara swadaya masyarakat di sini.
Baca juga: Tertular Demam Menanam
Chaeruddin, jawara pelopor dan pelestari Hutan Kota Sangga Buana, bersama warga setempat dalam tiga dekade terakhir menjaga agar kawasan hijau di bantaran Pesanggrahan di Karang Tengah tetap terjaga. Babe Idin, demikian ia akrab disapa, bersama kelompoknya memastikan hutan kota itu terbuka buat siapa saja menikmati kawasan sungai yang asri. Tidak ada pungutan tiket masuk, parkir pun gratis. Imbal baliknya, warga setempat bisa bercocok tanam di area yang diperbolehkan atas kesepatan bersama. Mereka juga memilah dan mengolah sampah warga.
"Jalan air itu memang tidak lurus. Itu biar air bisa mampir ke situ. Nanti, bisa untuk alirin sawah, kebon, ada juga anak-anak kali. Jadi, kali enggak langsung membawa air ke laut. Kali bukan selokan. Kalau mau menata kali, ya, jangan main semua kali dilurusin," kata Babe Idin setiap kali diajak bicara tentang bagaimana harusnya mengendalikan banjir di Jabodetabek.
Ruang air dan ruang warga
Adanya harmoni dalam pengelolaan sungai di Hutan Sangga Buana juga di Situ Gintung "baru", menjadi kisah manis dalam proses penataan Pesanggrahan yang hingga kini masih menyimpan pekerjaan rumah. Kali Pesanggrahan masih punya reputasi pembawa banjir.
Di aliran Pesanggrahan sepanjang 66,7 kilometer itu, penataan yang disebut sebagai program normalisasi di bawah tanggung jawab Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat bersama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhenti sejak 2015. Pembebasan lahan dan ketidakcocokan konsep penataan antara pusat dan DKI menjadi pangkal masalahnya. Isu serupa lebih kurang menghinggapi penataan 13 kali di Jakarta dan sungai-sungai lain di tetangga Ibu Kota.
Normalisasi sejauh ini dipahami dengan mengeruk dan melebarkan badan kali diikuti menurap beton dinding sungai secara tegak lurus. Normalisasi kerap menebas cerukan sungai, aliran sungai pun menjadi cenderung lurus. Dengan model penataan seperti ini, terutama saat hujan deras, air menjadi lebih cepat dialirkan ke muara di Teluk Jakarta.
Kondisi tersebut diyakini sekadar menambah beban di kawasan hilir yang sekarang sebagian datarannya telah berada di bawah permukaan air laut. Pada akhirnya nanti, kawasan hilir Jabodetabek akan makin bergantung pada pompa dan ruang-ruang air buatan atau polder untuk mengatasi genangan di sekitar muara sungai. Dengan cepatnya air mengalir ke hilir, dampak lainnya adalah air makin tidak sulit terserap ke dalam tanah. Kekeringan menjadi ancaman berikutnya.
Baca juga: Merasakan Dampak Korona dari Horor "Kematian Hitam" di Eropa
Di sisi lain, dari Situ Gintung kita juga belajar saat ruang air diserobot semena-mena, sewaktu-waktu air akan melipatgandakan kekuatannya dan kembali merebut miliknya. Untuk itu, pendekatan penataan sungai yang lebih alami atau naturalisasi dengan mempertahankan sebisa mungkin bentuk asli bentang lahan kali pun disebut lebih baik daripada normalisasi.
Namun, sejauh mana kita dapat merekonstruksi bentuk alami sungai-sungai di Jabodetabek yang selama bertahun-tahun telah dirombak, disodet, diurug, diokupasi, digunduli tutupan hijaunya, lantas dibelokkan dan disulap menjadi kanal?
Apakah mungkin mencopot semua lapisan turap beton dan menjadikan dinding serta bantaran kali ditumbuhi rumput dilengkapi tegakan pohon? Mungkin saja, tetapi tentu butuh waktu, biaya, serta pembebasan lahan yang lebih luas.
Pada masa sekarang, dengan kerusakan brutal yang telah terjadi dan ancaman bencana yang bisa datang sewaktu-waktu, tetap perlu percepatan penataan sungai tanpa harus terperosok untuk terus menambah masalah baru. Mencari titik temu antara normalisasi dan naturalisasi menjadi jalan tengah. Kerja sama pusat dan pemda bersama komunitas warga layak terus digalang. Tujuannya, kian menyempurnakan yang telah terbangun demi jalan keluar terbaik.
Baca juga: Kota Sehat Bukan Mimpi, asal...
Seperti tema yang diangkat Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam peringatan Hari Kota-kota Sedunia (World Cities Day) 2020, yaitu menghargai nilai komunitas dan kota termasuk lingkungan alamnya, penataan sungai berbasis kepentingan warga kota berarti juga memberi ruang yang sama besarnya bagi kepentingan kelestarian lingkungan sungai itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar