Didie SW
Dalam sebuah webinar tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belum lama berselang, seorang pembicara menceritakan kegelisahan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri terhadap kemandirian iptek.
Sudah lebih dari enam dasawarsa sejak Presiden ke-1 RI Soekarno meletakkan tonggak kemandirian iptek dengan visi besar yang membuat kita sebagai negara-bangsa baru tidak minder di hadapan negara-negara adidaya saat itu, kemandirian iptek masih terasa bagai menggantang asap hingga kini.
Perjalanan masa malah membuat kita mengelus dada karena modal kelembagaan dan sumber daya manusia iptek serta industri strategis yang disemai semasa Soekarno tidak mendapatkan perhatian, bahkan terkesan dipinggirkan. Institusi-institusi pasar bebas turut berperan dalam konstelasi politik kemandirian iptek, mengendalikan arah iptek serta industrialisasi masa kini.
Modal kelembagaan dan SDM iptek serta industri strategis yang disemai semasa Soekarno tidak mendapatkan perhatian, bahkan terkesan dipinggirkan.
Arus deras globalisasi telah membentuk kembali kemandirian iptek, bukan lagi sebagai diskursus kedaulatan, melainkan sebagai komoditas yang dinegosiasikan, dikuasai, dan dijadikan alat eksploitasi. Dengan kata lain, pembentukan kembali diskursus itu telah menggeser visi kemandirian iptek menjadi pasar besar yang disebut masyarakat konsumen Indonesia.
Kegelisahan Megawati yang disampaikan pada masa kepresidenan Joko Widodo bisa dilihat sebagai kegelisahan negara-bangsa, sebuah pencarian identitas keindonesiaan melalui iptek yang pada kenyataannya justru tergerus oleh sifat intrinsiknya sendiri ketika berada di bawah kekuatan-kekuatan pasar bebas.
Dalam spirit keindonesiaan inilah, Jokowi terpanggil oleh visi besar yang diwariskan oleh Soekarno, tetapi dengan kenyataan berupa persoalan pelik yang harus dihadapi saat ini. Persoalan itu tidak lain adalah kelembagaan dan SDM iptek yang berada di dalam pusaran neoliberalisme serta deindustrialisasi pascakrisis moneter tahun 1997-1998 yang belum kunjung pulih.
Apakah restrukturisasi kelembagaan iptek, yaitu Kemenristek menjadi BRIN dan Kemendikbudristek akan mendekatkan pada kemandirian iptek?
Seminar nasional Penguatan Iptek untuk Kemajuan Bangsa digelar Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) di Jakarta, Agustus 2018.
Dua tantangan
Mungkin akan terkesan simplistis apabila persoalan di atas hanya disandarkan pada restrukturisasi kelembagaan iptek, tanpa menimbang fenomena deindustrialisasi. Namun, dengan membincangkan kedua pilar riset itu, setidaknya akan turut membuka ruang partisipasi publik, khususnya komunitas epistemik, untuk turut berdialog mengenai kemandirian iptek.
Di komunitas epistemik, restrukturisasi itu telah memicu kecemasan. Setidaknya ada kecemasan yang mengemuka. Pertama, terkait budaya organisasi di satu sisi dan otonomi peneliti di sisi lain.
Restrukturisasi yang diikuti konsolidasi sumber daya iptek dipandang merombak kelembagaan iptek dan budaya organisasinya yang telah dibangun selama setengah abad terakhir.
Restrukturisasi yang diikuti konsolidasi sumber daya iptek dipandang merombak kelembagaan iptek dan budaya organisasinya yang telah dibangun selama setengah abad terakhir. BRIN akan membutuhkan waktu yang panjang untuk membangun kembali budaya organisasi di tengah perbedaan karakter lembaga-lembaga ristek seperti LIPI, BPPT, Lapan, Batan, Lembaga Eijkman, serta keterbatasan jabatan kepala badan di antara kementerian terkait.
Sementara itu, kalangan peneliti mencemaskan otonomi di antara relasi pengetahuan dan kekuasaan yang berkembang di bawah BRIN. Bukan pada subyektivitas sebagaimana pada pemikiran Foucault, melainkan pada eksistensi peneliti di bawah bayang-bayang kekuasaan yang dikhawatirkan akan memperlemah independensi.
Kedua, terkait SDM iptek yang berdasarkan tiga indeks global tampak menyedihkan, yaitu PISA (Programme International Student Assessment) 2018, Education Index dari Human Development Reports 2017, dan GKI (Global Knowledege Index) 2020. Ketiga indeks itu menempatkan Indonesia di kelompok peringkat terbawah, bahkan di ASEAN.
Selain itu, dilihat dari pendidikan tinggi, jumlah universitas riset kita sangat terbatas. Restrukturisasi mungkin disertai kehendak untuk memberikan otoritas atau sarana untuk mengembangkan ristek di kalangan swasta, terutama sektor industri sebagai pilar ketiga. Namun, seberapa besar investasi telah memulihkan deindustrialisasi?
SDM unggul
Di era keterbukaan saat ini, rasanya akan seperti bangsa yang aneh jika kita menolak investasi global. Fakta bahwa sektor industri berdiri di garis depan globalisasi dan pengarah kebutuhan iptek. Persoalannya terletak pada politik yang menaunginya; apakah ketiga pilar iptek, yaitu BRIN, perguruan tinggi, dan industri, bisa mewujudkan kemandirian iptek sebagai kepentingan bersama suatu bangsa?
Kunci dari persoalan ini ada pada SDM iptek di mana politik yang menaunginya saat ini percaya bahwa teori modal manusia menjadi pendekatan utama penciptaan SDM unggul. Pemerintah bahkan optimistis dengan dividen demografi yang akan dipanen dalam kurun waktu yang panjang hingga 2045. Namun, tanpa pembenahan indeks pendidikan di atas, SDM yang diciptakan bisa selalu tertinggal dalam kompetisi penguasaan iptek di tingkat global.
Politik kemandirian iptek mungkin perlu melihat kembali upaya penciptaan SDM unggul itu dengan menekankan pada penguasaan dan kompetisi iptek di tingkat global serta internalisasi nilai-nilai keindonesiaan untuk mencapai kepentingan politik bersama sebagai sebuah bangsa.
Gutomo Bayu Aji, Peneliti pada Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber: Kompas.id, 17 Juni 2021
Tidak ada komentar:
Posting Komentar