Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
SINDO, Tuesday, 04 January 2011
AJAKAN Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum untuk menjadikan 2011 sebagai tahun kerja nyata merupakan langkah simpatik, apalagi jika digabungkan dengan pernyataan Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional Hatta Rajasa agar kita dapat mencurahkan energi dan waktu kita bersama untuk merespons tantangan besar pada 2011 dan tahuntahun mendatang.
"Ada saatnya kita berkompetisi,ada saatnya kita membangun negeri," ujar Hatta Rajasa. Tjahjo Kumolo, Sekjen DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP),pun tak kalah simpatiknya dalam membuat pernyataan. "Tahun 2011 merupakan saat yang tepat untuk semakin memberi kebahagiaan kepada seluruh warga melalui terobosan berbagai kebijakan politik prorakyat," ujar Tjahjo. Ini ditimpali oleh Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi Santoso dengan kalimat, "Sudah semestinya perdebatan dan isu politik diwarnai hal yang kontributif demi kepentingan bangsa.
Kita berharap nuansa nilai politisasi yang sangat tinggi itu sudah semakin hilang dan kita kedepankan berpolitik yang lebih berkontribusi." (SINDO,3/1). Pernyataan dari empat tokoh partai yang berbeda itu bernuansa positif dan indah untuk didengar. Pertanyaannya, pernyataanpernyataan itu ditujukan kepada siapa,apakah kepada seluruh khalayak ramai ataukah khusus kepada sesama politisi? Sebab,riuh rendahnya polemik dan naik turunnya suhu politik di Indonesia bukan disebabkan oleh silang pendapat di antara rakyat kebanyakan, melainkan oleh para politisi itu sendiri.
Kita masih merasakan betapa kegaduhan politik pada 2010 yang baru saja kita tinggalkan disebabkan oleh betapa kentalnya politisasi bidang hukum yang dilakukan oleh para elite politik partai. Kasus Bank Century dan penggelapan pajak yang terkait dengan Gayus Tambunan merupakan contoh betapa politisasi penegakan hukum di negeri ini begitu marak. Tahun 2011 memang merupakan batu ujian bagi para politisi, apakah mereka mampu mengembalikan kepercayaan rakyat kepada politisi, partai politik, institusi Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintahan Presiden Susilo BambangYudhoyono.
Penilaian masyarakat selama ini, seperti hasil survei yang dilansir sebuah surat kabar Ibu Kota, tak kurang dari 73% responden menyampaikan ketidakpuasan mereka kepada kinerja para wakil rakyat di DPR. Sebanyak 68% responden menyatakan apresiasi negatif mereka kepada parpol, dan hanya 54,6% responden yang memberikan apresiasi positif terhadap citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyo- no (Kompas,3/1/11).
Memang pada 2010 stabilitas politik di Indonesia secara umum baik, tetapi masih ada kelompok masyarakat yang menyerbu,mengintimidasi, dan menyegel rumahrumah ibadat di Jawa Barat yang bukan saja mengganggu ketenteraman umum, melainkan juga merusak semangat keberagaman kita sebagai suatu bangsa. Dari segi ekonomi pertumbuhan ekonomi kita memang mencapai 5,9% pada 2010, tapi siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi itu?
Segelintir orang kaya Indonesia ataukah ratusan juta rakyat Indonesia? Sulit bagi rakyat kebanyakan untuk menikmati kue pembangunan nasional kita. Para pahlawan devisa yang bekerja di luar negeri pun sebagian besar tidak menikmati pembangunan yang ada di negerinya sendiri.Belum lagi kebijakan pembangunan ekonomi yang dinilai menyimpang dari asas untuk memakmurkan seluruh rakyat Indonesia.
Anas dan rekan-rekan politiknya itu sepertinya mengajak sesama politisi Indonesia untuk bahu membahu bekerja mengembalikan kepercayaan rakyat kepada mereka yang semakin memudar. Mereka tampaknya sadar, bila kepercayaan rakyat kepada mereka semakin pudar, dan keyakinan rakyat kepada institusi politik juga pudar, ini merupakan lampu kuning buat mereka.
Bagaimanapun, partai politik masih merupakan saka guru demokrasi di Indonesia, karena calon independen masih diharamkan untuk menjadi wakil rakyat di DPR maupun menjadi presiden. Keyakinan yang memudar akan berpengaruh negatif pada pilihan rakyat pada pemilu yang akan datang. Bila semakin sedikit rakyat memilih di dalam pemilu, berarti semakin kecil pula tingkat kepercayaan rakyat kepada sistem politik yang berlaku di Indonesia saat ini.
Bila itu terjadi, bukan demokrasi matang yang akan tumbuh di Indonesia, melainkan semakin pudarnya legitimasi politisi di mata rakyat. Bekerja untuk mengembalikan kepercayaan rakyat bukanlah perkara mudah. Itu butuh keseriusan para politisi di dalam menjalankan peran mereka di kancah politik Tanah Air. Proses legislasi di DPR juga bukan hanya mengejar kuantitas undang-undang yang dihasilkan di parlemen setiap tahun,melainkan juga menjaga kualitas undangundang itu sendiri.
Jangan sampai undang-undang yang dihasilkan tidak dapat diimplementasikan atau hanya karena adanya campur tangan asing demi kepentingan politik dan ekonomi mereka. Kita juga masih menyaksikan betapa penegakan hukum di negeri ini tidak berjalan sebagaimana mestinya karena adanya pertarungan kepentingan politik di antara partai-partai, terlebih lagi di dalam Sekretariat Gabungan (Setgab) Partai-Partai Koalisi Pendukung Pemerintah.
Kita juga masih menyimpan tanda tanya besar, apakah pernyataan Anas Urbaningrum adalah pesan awal tahun dari Partai Demokrat kepada teman-teman sekoalisi agar jangan melihat pergantian kabinet sebagai pertarungan kepentingan di dalam Setgab,melainkan sebagai bagian dari perbaikan kinerja pemerintahan SBY-Boediono ke depan? Bila ini terjadi dan merugikan partai-partai koalisi, haqqul yaqin, pasti terjadi gesekan kembali di dalam Setgab.
Keluar, mungkin saja para pimpinan partai membuat pernyataan simpatik bahwa mereka menerima keputusan itu karena itu adalah hak prerogatif presiden.Namun ke dalam,Setgab dan di dalam partai, bukan mustahil terjadi bargaining politik yang bisa saja kasar,seperti ancaman- ancaman politik atau pengungkapan kasus hukum yang selama ini diletakkan di bawah karpet. Bila 2010 adalah tahun kegaduhan politik di tingkat elite, kita tunggu saja apakah 2011 adalah tahun bersatunya para politisi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat yang semakin memudar.
Penulis yakin, gonjang-ganjing politik akan terjadi bukan saja di dalam Setgab, melainkan, dan terlebih lagi, di dalam Partai Demokrat sendiri. Semua bermuara pada siapa akan menjadi apa setelah SBY tidak lagi dapat diajukan sebagai calon presiden pada 2014. Orang bisa mengatakan bahwa pemilu presiden masih tiga setengah tahun lagi,namun pertarungan politik di internal Partai Demokrat bukan mustahil sudah mulai terjadi.
Mengajak para politikus bahu membahu bekerja keras membangun negeri ini memang pekerjaan amat sulit, karena politik pada dasarnya "siapa, mendapatkan apa, kapan dan bagaimana."Menjalankan pemerintahan memang jauh lebih sulit ketimbang meraih kekuasaan! (*)
Sekretariat Pusat AIPI
Widya Graha LIPI, Lt. VII
Jl. Jend. Gatot Subroto 10, Jakarta 12710
Tlp: 021-5224480, Fax: 021-5224480
www.aipi.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar