Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin menyatakan bahwa keberadaan Sekretariat Gabungan (Setgab) dalam parlemen telah "menghambat demokrasi di Indonesia". Adalah menarik untuk diperhatikan, dan tentu ini bukan suatu kebetulan, bahwa kelahiran Setgab telah mengakhiri sedikit perseteruan politik di parlemen dan sekaligus membuka jalan bagi "banjir bah" neoliberalisme di Indonesia.
Tidak mudah jalan yang ditempuh rejim neoliberal, SBY-Budiono, karena harus berhadapan dengan skandal Bank Century dan ancaman perpecahan partai koalisi pendukung pemerintah. Akan tetapi, perlahan tapi pasti, kehadiran Setgab telah berhasil mengantisipasi masalah tersebut.
Dengan pembentukan Setgab, maka warna politik Indonesia bisa dibuat seolah-olah dibuat seperti buah-buahan yang berwarna-warni tetapi rasanya sama saja. Bahkan, dalam beberapa bulan terakhir, Partai Demokrat sangat bernafsu menarik partai oposisi terbesar, yaitu PDI Perjuangan, untuk berada di barisannya.
Namun, ada yang menyatakan bahwa upaya Demokrat untuk merangkul PDIP hanya manuver politik untuk mengunci Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang bersama dengan sejumlah partai islam lainnya berencana membangun semacam poros tengah di parlemen.
Sementara itu, akibat politik kompromis yang dikembangkan oleh Setgab, persoalan Bank Century menguap di tengah jalan. Kompromi politik ini berlanjut hingga penjinakan KPK sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak lagi punya gigi untuk mengungkap skandal Bank Century dan kasus korupsi lain di dalam pemerintahan.
Kebijakan pemberantasan korupsi pun, kendati dibangga-banggakan sebagai "kunci keberhasilan", tetapi prakteknya justru telah disalahgunakan SBY-Budiono untuk menghajar lawan-lawan politiknya.
Di lapangan ekonomi, begitu banyak kebijakan neoliberal mengalir deras tanpa sempat terbendung sedikitpun, yaitu kebijakan kenaikan TDL, privatisasi lusinan BUMN, liberalisasi impor, penambahan utang baru, dan lain-lain. Kenyataan itu telah membuktikan sebuah kesimpulan tak terbantahkan: "Setgab diciptakan untuk menjadi garda depan untuk mengawal kebijakan neoliberal di Indonesia."
Sementara itu, barisan oposisi di parlemen kehilangan signifikansi politiknya, dan perjuangan mereka di parlemen seperti terkanalisasi oleh Setgab. Perhitungan di atas kertas memang menunjukkan bahwa imbangan kekuatan berada di Setgab, sementara kekuatan oposisi relatif sangat kecil. Sesungguhnya, jika kekuatan oposisi bisa merangkul seluruh kekuatan oposisi di luar parlemen, maka imbangan kekuatan bisa saja bergeser. Tetapi itu tidak terjadi: Oposisi di parlemen sangat moderat dan gampang melakukan kompromi politik, sedangkan oposisi di luar parlemen sangat puas jika ditempatkan sekedar sebagai "kelompok penekan".
Sehingga, disetujui atau tidak, Setgab dapat dianggap sebagai manifestasi politik dari kekuatan-kekuatan neoliberal di dalam negeri, dan kepadanya sebuah perjuangan politik mestinya diarahkan. Gerakan anti-neoliberal, baik di dalam parlemen maupun di luar parlemen, harus membangun blok politik untuk mengimbangi Setgab itu.
Dalam sejarah perjuangan anti kolonial, di tahun 1918, saat Belanda berusaha mengantisipasi gelombang perjuangan rakyat dengan parlemen bohongan, yaitu Volksraad (Dewan Rakyat), diantara kaum pergerakan dari berbagai spektrum (nasionalis, sosialis, agamais) berhasil membentuk konsentrasi radikal (radicale consentratie).
Konsentrasi radikal ini menjadi alat politik tandingan, sebab di barisan mereka tergabung hampir sebagian besar organisasi-organisasi perjuangan rakyat, tanpa memandang pentingnya membeda-bedakan ideologi atau haluan politik. Begitulah, misalnya, sebuah persatuan politik luas dapat berguna untuk menghadapi persekutuan di kalangan kaum reaksioner dan anti-rakyat.
Selain melancarkan serangan-serangan langsung terhadap Setgab dan manifestasi politik neoliberal lainnya, persatuan organisasi rakyat atau blok politik oposisi semacam ini juga penting untuk mengorganisir dan memperbesar perjuangan anti-neoliberal di kalangan massa rakyat: mengorganisir rapat akbar (vergadering), melakukan konsultasi kerakyatan, mengorganisir petisi atau mosi tidak percaya terhadap kebijakan neoliberal, dan lain sebagainya.
http://berdikarionline.com/editorial...eoliberal.html
Wawancara Khusus: Mayjen TNI (Purn) Saurip Kadi oleh Adhitya Himawan (Majalah Mingguan Mimbar Politik) Tanggal 30 Desember 2010
Koalisi SETGAB SBY-BOEDIONO nampak retak dengan pemberontakan PPP dan PKS. Apa yang terjadi menurut anda?
SK: Ini kan permainan elit yang membosankan dan mudah ditebak. Ujung-ujungnya minta jatah di kabinet. Untuk bargaining. Dari sisi lain supaya ada dinamika sehingga kekuasaan SBY-ICAL yang mutlak masih tampak demokratis. Mimpi kali kalau ada Poros Tengah lagi. Siapa motornya? Kalau dulu ada Gus Dur dan Amien Rais yang memang diciptakan oleh Pak Harto sebagai kekuatan ketiga melalui operasi intelejen dan melalui "pembinaan" dalam waktu yang relatif lama. Sehingga peranannya signifikan sebagai tokoh "people power". Lha sekarang? Tokoh pemersatunya "belum tercipta" karena yang ada baru pemain-pemain karbitan yang dalam waktu sangat singkat berkoalisi karena kepentingan uang. Yang bisa disebut "bos poros tengah" yang sebenarnya adalah Hatta Rajasa, karena ia bisa menghidupi partai-partai Islam. Tapi kan bisa dilihat bahwa Hatta Rajasa sangat amat tunduk kepada SBY-ICAL karena peranannya lebih sebagai kepanjangan tangan mereka. Kita kan tahu politik hari ini adalah uang, sementara bahwa Hata Rajasa belum jadi bos besar, baru kepanjangan tangan saja. Jadi ya lebih baik mengamankan poisisi tersebut daripada diserobot orang lain. Jadi dimana retaknya? Kalau retak-retakan ya boleh dibilang demikian.
Apakah selama ini anda melihat SETGAB efektif bagi jalannya pemerintahan SBY-BOEDIONO?
SK: Sangat efektif untuk mengurung partai-partai dalam suatu wadah yang terkendali oleh SBY dan ICAL, sebagai "duo kroni" pemerintahan sekarang ini. Politik "kebon binatang" ala SBY dimana semua pihak yang mengancam kekuasaannya diberikan wadah-wadah sehingga semua bisa terkendali. Lihat saja selain SETGAB, ada Dewan ini dan itu, Badan ini dan itu, Satgas ini dan itu. Jadi sangat efektif untuk manajemen kekuasaan SBY, karena SBY paham kebanyakan yang protes dan koar-koar itu sasarannya minta jabatan, minta posisi, dan sejenisnya, ya dibuatkan saja wadah-wadah, walau tidak ada fungsi yang jelas, bahkan malah bikin ruwet jalannya pemerintahan, tapi efektif untuk mempertahankan kekuasaan.
Pola pemerintahan SBY-BOEDIONO semacam itu memang menjadi "desain" para mafia bisnis yang selama ini mengelilingi SBY-BOEDIONO. Ada sinergi bagaimana mempertahankan kekuasaan SBY-ICAL namun yang lebih penting adalah bagaimana pemerintahan dibuat semrawut, karena dalam kesemrawutan tersebut, maka paling berkuasa adalah mereka yang mempunyai uang dan jaringan yang sudah mapan, sehingga tidak bisa diganggu siapapun. Kekuatan lama akan terus bertahan menguasai sumber-sumber ekonomi dan menjadi pengendali kekuasaan yang sesungguhnya. Bukan SBY-BOEDIONO. Mereka hanya boneka semata. Tapi boneka kan dibikin senang, diisolasi dari persoalan rakyat, dilingkari oleh orang-orang penjilat yang hanya memuji-muji sang boneka sehingga pihak yang paling dekatpun dengan SBY sulit untuk tembus. Maka, masukan yang diterima SBY sudah jauh dari realita sebenarnya. Semua disaring oleh lingkaran kepentingan tersebut. Begitu cara kerja "boneka kekuasaan".
Apakah anda melihat tekanan dari SETGAB akan lebih mendominasi dasar penilaian presiden SBY dalam evaluasi Kabinet?
SK: Tidak sama sekali. Peranan SETGAB tidak terlalu penting. SETGAB diciptakan hanya sebagai "kurungan" dalam sistem politik "kebon binatang" sehingga perilaku binatang-binatang politik tersebut bisa dikendalikan. Namanya juga kurungan atau sangkar. Supaya binatang politik tidak liar. Kan sudah pada dikasih makan alias dijinakkan. Ya tinggal diamati gerak-geriknya. Peranan ICAL lebih dominan disini. Bukan SBY. Karena ICAL pengendali mesin uang sebagai sumber dana politik dan kroni. Bagaimana mengendalikan pasar modal melalui puluhan peruahaan sekuritas yang dibawah komandonya. ICAL sangat "comfortable" dengan gaya pemerintahan SBY yang "sok clean" (artinya malu-malu tapi mau, asal tetap "so clean" dan tetap berkuasa), sehingga ICAL dengan tenang bisa mempersiapkan untuk 2014 dengan sebaik-baiknya, tanpa ada gangguan. Ini dominasi yang sesungguhnya. Bukan SETGAB itu sendiri. ICAL pun tahu satu-satunya gangguan yang potensial adalah TNI. Karena TNI yang terpinggirkan dalam era reformasi ini bagaimanapun sudah terlatih selama puluhan tahun selama Orba untuk menjadi mesin politik intelejen. Itu sebabnya, ICAL mulai mengundang beberapa pensiunan jenderal untuk bergabung di kantornya dengan insentif bisnis. Tapi arahnya pasti 2014 juga.
Apakah anda melihat SBY kemungkinan berani mendepak salah satu mitra Koalisi?
SK: Itu bukan sifat SBY. SBY kan lagi meniru cara Pak Harto. Walau tidak cocok, dia tidak akan sampaikan. Pasti mitranya yang akan "dibikin" undur diri kalau perlu. Itupun kalau dianggap "merugikan" keberadaan SETGAB atau "merugikan" Partai Demokrat. Artinya terpaksa. Buat mitra sendiri pasti dengan pertimbangan yang matang untung ruginya meninggalkan SETGAB. Tapi akan banyak ruginya. Karena SBY sudah menanamkan politik "pecah belah" didalam tubuh setiap partai anggota koalisi. Sebagian elit "dipelihara" dengan fasilitas tertentu, maka perpecahan didalam tubuh partai tidak bisa dihindari, kalau istilah Syarif Hasan: persoalan internal partai, itu akan muncul dengan sendirinya, karena elit-elit partai ada yang terima rezeki dan ada yang tidak. Kan gitu aja model permainannya. Maka, buat mitra partai akan berfikir ulang kalau mau melawan SBY atau meninggalkan SETGAB akan dapat rezeki dari mana partainya. Sedangkan seorang Taufik Kiemas, yang partainya besar saja, bersedia dinego untuk posisi Ketua MPR karena pertimbangan yang sama, yaitu sumber dana yang sudah dikunci. Bayangkan kalau Taufik Kiemas tidak kompromi akan jadi apa PDIP dalam waktu mendatang kalau pasang bendera partai saja tidak punya dana. Bisa habis ditinggalkan rakyat yang juga sudah paham bahwa suaranya diperjual-belikan jadi nyoblos ya harus dapat duit. Artinya setiap saat bisa saja konfigurasi berubah, namun itu hanya varian dari konfigurasi yang sesungguhnya yaitu politik uang. Siapa mengendalikan sumber dana, dialah yang mengatur konfigurasi yang seolah-olah demokratis.
Kabinet SBY paska reshuffle ke depan anda prediksi masih dominan orang parpol?
SK: Dengan kekuasaan mutlak "duo kroni" SBY-ICAL sebenarnya Kabinet nya bisa siapa saja. Bahkan Ibu Ani akan lebih menentukan. Ingat Menkes yang sudah ditunjuk SBY tahu-tahu berubah. Ada kekhawatiran atau kecemburuan seperti kepada Sri Mulyani tempo hari, maka semua Menteri yang perempuan harus pesetujuan Bu Ani. ICAL biasanya bermain cantik. Dia akan low profile sehingga SBY merasa kekuasaannya tidak diganggu dalam menentukan kabinetnya. Toh posisi kunci sudah dipegang dan SBY juga dibuat comfortable oleh mereka yang di posisi kunci untuk mengamankan kasus Century dan kasus besar lainnya. Sementara itu ICAL dengan damai terus main di pasar modal. Itu saja komprominya. Sembari Sinetron Gayus dibuat agar dapat rating sama tingginya dengan sinetron Ariel. Buat hiburan rakyat dalam negara demokratis. Lahan lainnya boleh bagi-bagi orang partai biar tidak ribut dan yang penting lagi yaitu ibu Ani. Siapapun menterinya, partai-partai yang akan berebut main klaim, dulu-duluan, bahwa itu orang yang mereka pasang agar dengan demikian bisa dijadikan sapi perah.
Apakah situasi politik dalam pemerintahan SBY yang sarat transaksional ini akan terus terjadi ke depan?
SK: Ya pasti akan terus berlanjut, memang sistemnya demikian. UUD 1945 yang diamandemen serta UU turunannya "mewajibkan" para politisi beserta intitusinya untuk jadi calo-calo politik jadi ya pasti dagang sapi. Politik transaksional itu sah dan dalam kerangka melaksanakan UUD dan UU turunannya. Siapapun jadi politisi akan sama perilakunya. Coba perhatikan, Pemilu. Kita menganut sistem presidensial, presiden dipilih langsung oleh rakyat, lho kok pemilihan legislatif terlebih dahulu? Jadi rakyat memilih dalam pileg itu dasarnya apa? Semua partai janji program ini itu namanya juga kampanye. Program itu pasti bohong karena tidak mungkin dilaksanakan karena yang dilaksanakan adalah janji programnya sang presiden terpilih, bukan program partai. Jadi rakyat memilih dasarnya apa? Program jelas bohong. Kalau dasar memilihnya karena calon pemimpin, kan belum tahu partai mana yang akan dapat 20% atau 25% suara sah sehingga bisa mengusung capres dan wapresnya? Artinya rakyat Indonesia itu dibohongi oleh UUD dan UU nya sendiri untuk memilih partai tanpa dasar seperti memilih kucing dalam karung, seperti memberi cek kosong kepada partai, lalu partai berkomplot 20% untuk mengusung calon. Begitu pula dengan adanya Parlementary Treshold, kok kedaulatan jadi hilang karena mekanisme Filter untuk kepentingan partai-partai besar. Ya memang UUD dan UU nya menempatkan partai-partai sebagai CALO POLITIK untuk dagang sapi dengan bekal suara rakyat yang dititipkan kepadanya tanpa dasar yang rasional.
Belum lagi kesemrawutan dalam ketatanegaraan yang lainnya. Semua itu sudah saya uraikan dalam buku MENGUTAMAKAN RAKYAT. Dengan sistem seperti ini dimana kesemrawutan menjadi panglima, maka Indonesia sebentar lagi akan punah karena dunia di luar sana sedang berubah dan perubahan itu tidak bisa dihindari oleh siapapun termasuk Indonesia. Kalau Indonesia tidak sadar dan berani mengubah sistem yang amburadul tersebut ya sejarah Majapahit dan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara yang punah akan terulang lagi. Cepat atau lambat akan demikian.
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar