Nilai-nilai keutamaan yang dikandung Pancasila tidak lagi menjadi acuan para elite politik. Pancasila sekadar tercantum dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga. Para elite malah terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme.
Keprihatinan tersebut diungkapkan, secara terpisah, oleh Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo Pr serta Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizani Majalengka KH Maman Imanulhaq, Kamis (31/5).
Pembiaran atas tindakan kelompok intoleran yang mencederai kehidupan beragama, menurut Maman, menunjukkan runtuhnya kehidupan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Sikap dan perilaku para elite politik pun terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme. Hal ini terbukti dengan semakin panjangnya daftar koruptor dan kasus korupsi di lingkaran kekuasaan.
"Pancasila diabaikan. Negara tidak mempunyai acuan filosofis kebangsaan dan kenegaraan. NKRI dikepung perilaku elite dan ideologi asing," kata Maman di Jakarta.
Benny sepakat, para elite malah mencari ideologi lain seperti pragmatisme dan transinternasional untuk mengganti Pancasila. Nilai-nilai Pancasila malah tidak mendasari kebijakan publik dalam mengolah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akibatnya, bangsa ini selalu mencari identitas diri. Banyak energi terbuang percuma hanya untuk berdebat soal ideologi. Semestinya energi lebih digunakan untuk mengejar ketertinggalan bangsa menjadi bangsa yang sejahtera dan berkeadilan.
"Pancasila belum sungguh-sungguh menjadi pedoman kehidupan bangsa ini. Sepanjang Orde Baru, Pancasila pernah diperalat untuk melanggengkan kekuasaan," kata Benny dalam seminar "Mari Bersatu dan Bersaudara di Bawah Panji Pancasila" di Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis.
Pada era Reformasi, katanya, nilai-nilai dari lima sila itu diabaikan dan dilalaikan dalam semua perikehidupan kita. Pancasila belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elite bangsa ini.
"Praktik korupsi dan penindasan justru semakin menjadi-jadi. Para elite menjadi buas, rakus, dan tamak. Dalam praktik keagamaan, kerukunan bukan menjadi inti kehidupan bersama-sama," katanya.
Hal senada dikatakan Ketua Umum Pengurus Pusat Gerakan Pemuda Ansor, Nusron Wahid, di sela-sela seminar tersebut. Dia mengatakan, kini bermunculan kelompok keagamaan yang memaksakan tafsir dari sudut pandang sempit. Sejumlah kelompok menginginkan tafsir ketuhanan dalam sila pertama untuk agama tertentu.
Konsekuen
Untuk mengembalikan Pancasila sebagai landasan kebijakan publik, menurut Benny, elite harus konsekuen menerapkan Pancasila dalam berpolitik. Partai politik harus meninggalkan kebiasaan korupsi dan politik transaksional. Bangsa Indonesia harus berani menafsirkan ulang Pancasila sebagai budaya bangsa yang memengaruhi cara berpikir, bertindak, dan berperilaku dalam politik kebijakan.
Ingatan terkait proses pendirian negara ini yang berdasarkan kebinekaan, menurut Maman, harus disegarkan kembali. Semua elemen juga harus merumuskan kembali strategi untuk menghidupkan nilai-nilai Pancasila pada kebijakan politik, fatwa ulama, muatan pendidikan, dan materi media.
Selain itu, diperlukan gerakan nasional untuk membangkitkan kembali ideologi kebangsaan yang telah dibangun pendiri bangsa, seperti proklamator Soekarno.
Hal itu dikatakan anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Aria Bima dan Ketua Panitia "Bulan Bung Karno" Ari Batubara, dalam jumpa pers terkait pelaksanaan "Bulan Bung Karno" pada Juni 2012. (ina/iam/sem/fer/abk)
Sumber: Kompas
__._,_.___
__,_._,___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar