Novri Susan
Indikator demokrasi formal, seperti pemilu secara langsung, prinsip multipartai, dan kebebasan sosial politik dalam masyarakat, sering dijadikan sebagai klaim bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Namun, dari indikator-indikator tersebut ada unsur fundamental yang belum terpenuhi, yaitu hadirnya kepemimpinan responsif (responsive leadership).
Sebaliknya, kepemimpinan dalam struktur kekuasaan negara, mulai dari pusat sampai daerah, masih saja berkarakter pragmatis, transaksional, berpihak pada kuasa modal, dan abai pada keluhan rakyat kecil. Jadi, demokrasi Indonesia sampai detik ini masih disarati oleh konflik kekerasan, kemiskinan, marjinalisasi identitas, dan ketidakadilan terhadap buruh tani kecil.
Defisit akut
Mengutip Donald Kagan, filosof klasik Yunani dalam buku Pericles of Athens and the Births of Democracy, demokrasi hanya mampu menciptakan negara yang berkeadilan ketika memiliki desain kelembagaan politik yang mapan, masyarakat yang mempraktikkan kebebasan demokrasi, dan kepemimpinan responsif.
Dari ketiga senyawa demokrasi tersebut, kepemimpinan responsif masih sangat langka ditemukan di dalam praktik kepemimpinan para pemimpin politik dalam demokrasi di Indonesia.
Realitas ini diperlihatkan oleh berbagai catatan kasus pengabaian, pelanggaran, dan bahkan marjinalisasi terhadap aspirasi-aspirasi rakyat dalam memperjuangkan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.
Idealnya, kepemimpinan responsif bekerja menciptakan pemecahan masalah riil rakyat; bersinergi dengan arus pembangunan nasional melalui prinsip demokrasi, seperti pengabdian, keterbukaan, akuntabilitas, dan pengelolaan konflik kepentingan secara damai. Sayangnya, ketidakhadiran kepemimpinan responsif merupakan ciri mendasar dari praktik demokrasi Indonesia.
Para pemimpin dalam struktur kekuasaan negara, mulai dari pusat sampai daerah, masih dalam habit (kebiasaan) berpolitik demi kepentingan sendiri dan kelompok. Kekuasaan dan seperangkat wewenang masih di wilayah makna demi mengisi pundi-pundi kekayaan semata.
Oleh sebab itu, dalam laporan Kementerian Dalam Negeri, selama 2004-2012 ada 174 kepala daerah melakukan praktik korupsi dan berbagai praktik korupsi di pemerintahan pusat. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi menyatakan bahwa sampai akhir tahun 2011 ada 56.000 pengaduan kasus dugaan korupsi yang sampai saat ini belum bisa ditangani.
Sementara para pemimpin pusat pun, yang menjadi figur keteladanan nasional, tidak mengonstruksi praktik kepemimpinan responsif. Presiden sering dipandang lamban, peragu, dan tidak berani memperjuangkan rakyatnya sendiri. Alih-alih memiliki kepemimpinan nasional yang responsif, rakyat malah lebih sering disuguhi keluhan dan polemik murahan.
Sebagian pemimpin nasional memilih bicara tentang rok mini atau keluhan atas keselamatan pribadi daripada merespons kasus konflik tanah, masalah bahan bakar minyak (BBM), keadilan beribadah, korban Lapindo, dan distribusi kesejahteraan sosial. Segala praktik politik para pemimpin tersebut mengindikasikan bahwa republik ini sedang defisit akut kepemimpinan responsif.
Menjaring harapan
Perbedaan usia tidak memberi jaminan terhadap tercipta atau terhalangnya praktik kepemimpinan responsif. Namun, kepemimpinan responsif lebih banyak dikonstruksi oleh variabel komitmen politik, konsep ideologis, dan jejaring kerja yang demokratis. Ketiga variabel ini bisa dijadikan sebagai formulasi untuk menjaring ditemukannya kepemimpinan responsif.
Pertama, dalam demokrasi komitmen politik diartikan sebagai kemauan dan konsistensi tindakan pemimpin untuk merealisasikan cita-cita konstitusi. Pada konteks demokrasi Indonesia, cita-cita konstitusi direfleksikan secara filosofis dalam alinea keempat UUD 1945.Cita-cita tersebut, di antaranya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Para pemimpin yang memiliki komitmen politik demokratis secara eksplisit tegas berjuang merealisasikan cita-cita konstitusi.
Akan tetapi, realitas pahitnya, kepemimpinan nasional saat ini, mulai dari presiden sampai anggota legislatif, terlihat lemah konsistensinya dalam memperjuangkan cita-cita konstitusi.
Kedua, konsep ideologis bisa dimengerti sebagai keyakinan fundamental terhadap pengetahuan yang menyediakan caracara menghadapi masalah kebangsaan. Keyakinan ideologis secara praktis direfleksikan oleh bahasa keseharian dan perilaku dalam menghadapi setiap masalah kebangsaan.
Jika pemimpin suka mengeluh dalam bahasa politiknya daripada membangun optimisme, lebih rajin pidato daripada terjun langsung ke lapangan, dan sering menutup telinga nurani daripada mendengar suara rakyat, konsep ideologis yang diyakininya cenderung miskin nilai demokrasi.
Ketiga, jejaring kerja merupakan hubungan-hubungan kerja sama dalam praktik-praktik politik tertentu. Apakah kerja sama memperjuangkan aspirasi rakyat atau kerja sama mengorupsi dana negara? Pada konteks kekuasaan negara, partai politik bisa dijadikan sebagai representasi jejaring kerja para pemimpin.
Rakyat perlu menimbang partai yang menolak investigasi skandal-skandal korupsi, setuju dengan pemangkasan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi, atau menciptakan produk perundang-undangan yang berpotensi memarjinalkan rakyat sebagai partai yang tidak mungkin menciptakan kepemimpinan responsif.
Menjaring kepemimpinan responsif merupakan salah satu prasyarat fundamental bagi terbentuknya negara bangsa Indonesia yang kuat, adil, dan makmur. Jangan sampai pada musim pilkada provinsi dan kabupaten/kota yang saat ini tengah berlangsung dipakai mekanisme memilih kucing dalam karung.
Tentu merugikan sekali jika lahir para pemimpin daerah yang lagi-lagi korupsi dan enggan berpihak kepada rakyatnya sendiri.
Begitu juga dalam upaya menjaring figur-figur pemimpin nasional untuk bursa Pemilu 2014, baik posisi legislatif maupun presiden. Jika tak terbukti memiliki potensi kepemimpinan responsif, sebaiknya ditinggalkan saja. Novri Susan Sosiolog Universitas Airlangga (kompas cetak, 27 Juni 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar