Kurnia JR
Hal menarik dari Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta yang baru usai adalah ketegasan menyinggung penyakit birokrasi, khususnya dalam hal pelayanan sipil dan kebusukan proses perizinan.
Sementara kontestan lain menyodorkan janji kesejahteraan, kiat menyiasati masalah banjir dan kemacetan, juga pendidikan dan layanan kesehatan gratis tanpa kesungguhan menyinggung kelemahan utama birokrasi, Joko Widodo (Jokowi) terang-terangan mengungkapkan apa yang dia sebut negosiasi transaksional. Contohnya pembuatan KTP dan proses perizinan, yang mestinya lancar tanpa pungutan liar karena prosedurnya jelas, tetap mengisap darah rakyat dengan cara mempersulit. Birokrat besar mencaplok mangsa besar, birokrat kecil memalak rakyat kecil.
Borok birokrasi ini pula yang melukai hati kalangan minoritas pada masyarakat kita yang heterogen. Etnis atau komunitas tertentu mengalami perlakuan tidak adil ketika berurusan dengan instansi pemerintahan, tanpa bisa melawan atau memprotes, karena seakan-akan diskriminasi aparat disokong sistem dalam piramida pemerintahan.
Pada praktiknya, jajaran birokrasi menerapkan anekdot: "kalau bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?" Kepala daerah dan seluruh jajaran aparatnya hadir bukan sebagai fasilitator warga negara, melainkan sebagai para tuan besar peminta upeti.
Puluhan tahun di bawah sistem "birokrasi pungli dan palak" yang dikukuhkan rezim Orde Baru dengan memberi gaji kecil dan celah untuk mencari duit tambahan dari aneka proyek dan "jasa pelayanan publik", bercokol di benak rakyat pemakluman bahwa pungli atau pemalakan aparat terhadap diri mereka merupakan hal yang wajar. Menjadi semacam sebagai balas jasa bagi pelayanan perizinan, pembuatan KTP, dan lain-lain.
Sudah sepatutnya tumbuh tunas-tunas baru dalam masyarakat kita yang menumpas semua takhayul, yang menganggap wajar pemalakan aparat birokrasi terhadap warga masyarakat. Kehadiran pasangan plural Jokowi dan Basuki laik dipandang sebagai simbol mewujudnya demokrasi yang sejati dalam kemajemukan publik Indonesia.
Kedewasaan kita menerima para eksponen pemimpin dari komunitas mana pun, termasuk etnis minoritas, merupakan keniscayaan buah reformasi 1998. Terlalu picik kalau kita kukuh berpegang pada kriteria sempit pemimpin daerah dan pemimpin nasional tanpa menimbang aspek kompetensi dan komitmen moral serta kematangan kepribadian figur-figur bersangkutan.
Para politikus masih berpikir rakyat gampang dibujuk untuk memilih jago mereka dalam pemilihan kepala daerah atau kepala negara dengan iming-iming kesejahteraan dan kemakmuran. Mereka belum insaf bahwa yang terutama dibutuhkan pada sebuah negara adalah fasilitator publik. Sesungguhnya, untuk urusan perut dan kebutuhan dasar lainnya, rakyat bisa mencari sendiri. Bahkan, di "negeri autopilot", rakyat jelata tetap bisa mencari makan, sementara pemerintah mungkin tidak tahu bagaimana mereka mengais rezeki dan bertahan hidup di tengah situasi dan kondisi ekstrem.
Kebobrokan birokrasi
Generasi baru dalam kepemimpinan nasional dan daerah masa kini sepatutnya bermakna dan berkonteks transformasional. Setelah berlalu hampir 15 tahun sejak rezim tua tumbang, dan negara masih dipimpin oleh eksponen-eksponen dari "generasi masa lalu", harus diproklamasikan kebangkitan generasi baru yang mengembuskan napas segar bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Telah terbukti, pemerintahan yang dikelola oleh generasi yang masih memiliki hubungan dengan rezim Orde Baru gagal mengisi era reformasi guna menghabisi korupsi dan aneka kebobrokan birokrasi. Situasi dan kondisinya bahkan makin parah. Ada peralihan tongkat estafet praktik korupsi dari generasi tua ke angkatan muda di berbagai lembaga di semua jenjang. Sejak awal telah terbaca bahwa elektabilitas Jokowi-Basuki, sebagai contoh kasus, disokong oleh harapan akan perbaikan birokrasi. Sebab, aspek itulah yang diperjuangkan Jokowi semasa memimpin Solo dan dikampanyekan untuk Jakarta.
Di negara modern, rakyat tak butuh centeng atau tukang pukul pribadi, seolah-olah hidup di terminal atau pasar yang dikuasai preman dan jagoan jalanan. Gaya pemerintahan Orde Baru yang menyuburkan premanisme dalam politik dan bisnis telah menciptakan momok yang menakutkan orang-orang yang tak mampu membayar pelindung. Anasir- anasir yang merajalela di luar hukum tak mendatangkan faedah justru melembagakan ketakutan. Premanisme demikian merasuki segenap instansi pemerintah, nyaris sepanjang usia republik ini.
Orang Jawa mengenal nubuat Raden Ngabehi Ronggowarsito mengenai apa yang disebut satria boyong pambukaning gapura, pemimpin yang bakal membuka gerbang kejayaan bangsa. Satria bisa bermakna kiasan, yakni personifikasi dari kondisi ideal, atau generasi yang diidealisasi di seberang dekadensi dan keputusasaan massal.
Dengan demikian, visi pujangga abad XIX itu dapat ditafsirkan sebagai harapan besar bakal datangnya generasi transformasional. Sebuah generasi yang berkomitmen pada cita-cita reformasi, takzim pada pentingnya proses ketimbang hasil instan, memiliki kesadaran tinggi akan harga diri dan aktualisasi diri.
Generasi ini konsisten mengambil pelajaran dari banyak kekeliruan para pendahulunya. Mereka konsekuen mentransformasikan inspirasi dan gagasan mengenai pemerintahan bersih dengan tekad suci, sehingga mampu menumbangkan berhala-berhala yang dirasuki spirit jahanam penyebar kesesatan, yang membuat kaum birokrat menjadi korup.
Kurnia JR Sastrawan
(Kompas Cetak, 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar