Photo: KOMPAS/RIZA FATHONI
Jakarta, Kompas - Pemerintah harus tegas menindak mereka yang menyebarkan ideologi radikal, baik melalui dunia maya maupun dengan menebar kebencian dan permusuhan kepada orang lain. Jika tidak, jangan heran jika muncul kelompok baru terorisme seperti Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia.
Demikian dikatakan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai di Jakarta, Sabtu (27/10). Ansyaad mengatakan hal tersebut menanggapi penangkapan 11 terduga teroris anggota kelompok Harakah Sunni untuk Masyarakat Indonesia (Hasmi) oleh polisi antiteror di Madiun, Solo, Bogor, dan Jakarta, pada Jumat dan Sabtu kemarin.
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian Negara RI Irjen Suhardi Alius, didampingi Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jenderal (Pol) Boy Rafli Amar, dalam jumpa pers di Mabes Polri, Jakarta, Sabtu petang, mengatakan, Hasmi merupakan kelompok baru terorisme. Mereka memiliki kemampuan merakit bom dengan kekuatan ledak tinggi.
"Polisi antiteror masih mendalami alasan berbagai sasaran yang sudah dipersiapkan oleh para terduga ini," kata Suhardi.
Dari hasil pendalaman sementara, menurut Suhardi, sasaran kelompok Hasmi adalah Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Jalan Citra Raya Niaga 2, Surabaya, Jawa Timur. Sasaran selanjutnya adalah Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Plaza 89, yang di depannya terdapat Kedutaan Besar Australia dan kantor PT Freeport Indonesia, serta Markas Komando Brimob Srondol, Semarang, Jawa Tengah.
Suhardi mengatakan, polisi masih mendalami keterkaitan kelompok ini dengan jaringan teroris sebelumnya, sasaran, termasuk rencana eksekusi peledakan bom.
Mudah terbentuk
Ansyaad mengatakan, jaringan kelompok baru terorisme selalu memiliki keterkaitan dengan kelompok sebelumnya. Jaringan baru ini mudah terbentuk serta merencanakan dan melaksanakan aksi teror. Penyebabnya, penyebaran ideologi radikal yang belum tersentuh hukum.
Negara-negara lain, seperti Singapura atau Malaysia, memiliki aturan yang ketat untuk mengurangi penyebaran ideologi radikal dan terorisme. "Kita sebenarnya tahu apa masalahnya. Namun, tidak banyak yang mau peduli," tuturnya.
Penyebaran ideologi radikal tersebut, termasuk cara-cara melakukan aksi teror, banyak beredar di dunia maya. Ansyaad mengatakan, belum ada mekanisme pengawasan dan penindakan terhadap penyebaran ideologi radikal di berbagai situs.
Selain itu, menurut dia, ajakan atau hasutan dengan menyebar kebencian dan permusuhan kepada orang lain (hate speech) belum dianggap sebagai bagian dari kejahatan terorisme. "Alasannya, itu dianggap sebagai kebebasan berekspresi. Namun, tidak ada aturan," katanya.
Karena itu, menurut Ansyaad, salah satu upaya mengurangi penyebaran ideologi radikal adalah merevisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
"Harus ada ketentuan bahwa penyebaran ideologi atau paham radikal melalui internet, buku, atau dalam pertemuan-pertemuan tertentu merupakan kejahatan terorisme," katanya.
Pemberantasan terorisme saat ini, lanjut Ansyaad, seakan-akan hanya tugas kepolisian dan BNPT. Aksi terorisme baru menjadi perhatian kalau ada penangkapan atau ledakan bom. "Padahal, terorisme itu musuh negara. Semua pihak harus terlibat, termasuk pembuatan produk undang-undang yang lebih tegas," katanya.
Tanpa ketentuan hukum yang tegas, khususnya terkait sanksi hukum terhadap upaya-upaya awal melakukan terorisme, seperti menyebar kebencian serta permusuhan dan pelatihan kemiliteran, kelompok-kelompok baru akan terus terbentuk.
Oleh karena itu, menurut Ansyaad, dukungan lembaga politik, seperti DPR dan pemerintah, termasuk kementerian terkait, sangat penting untuk membuat kebijakan dan program, khususnya mengurangi penyebaran ideologi radikal melalui berbagai situs dan pembuatan produk perundang- undangan yang lebih tegas.
Barang bukti
Suhardi menambahkan, 11 terduga teroris ditangkap serentak beserta sejumlah barang bukti. Dalam penangkapan di Madiun, polisi antiteror menyita sejumlah bom yang siap ledak, bahan baku pembuatan bom yang dalam proses perakitan, serta buku panduan pembuatan bom. Suhardi mengatakan, buku panduan itu bisa diunduh dari internet.
Sambil menunjukkan sebuah foto yang tercetak di buku, Suhardi mengatakan, "Ada tabung gas 3 kilogram yang di dalamnya sudah diisi bahan peledak kategori high explosive."
Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di lapangan, terduga teroris Agus Anton berperan sebagai perakit bahan peledak, penghimpun relawan, dan penyandang dana kegiatan terorisme di Tanah Air. Sarjana strata satu Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember, ini sehari-hari menjalankan usaha perkayuan di rumahnya.
Dalam penangkapan di Solo, polisi antiteror menyita peledak baik yang sudah siap maupun sedang proses perakitan. Polisi memusnahkan dua detonator rakitan yang ditemukan di salah satu rumah di Mojosongo. Ledakan dua detonator tersebut mengagetkan warga.
Saat penangkapan di Bogor, polisi antiteror menyita bahan- bahan untuk perakitan bom, sejumlah amunisi dengan berbagai kaliber, serta detonator. Dalam penangkapan di Jakarta, polisi antiteror menyita bahan-bahan pembuatan dan perakitan bom.
Suhardi mengatakan, munculnya kelompok baru yang memiliki kemampuan merakit bom dengan kekuatan ledak tinggi ini menunjukkan semakin perlunya kewaspadaan bangsa ini terhadap aksi-aksi teror. Masyarakat pun diminta peduli terhadap kedatangan warga yang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak wajar di lingkungan mereka.
Namun, tidak selalu terduga teroris melakukan kegiatan mencurigakan di lingkungan tempat tinggalnya. Misalnya, Zainudin yang ditangkap di Bogor, oleh tetangganya dikenal sebagai guru di salah satu madrasah ibtidaiyah di Leuwiliang.
Para terduga teroris juga belum tentu pendatang baru di lingkungan tempat tinggalnya. Terduga teroris yang ditangkap di Palmerah Barat, Jakarta, Herman, menurut Udiyanto, Ketua RT 003 RW 009, Kelurahan Palmerah, sudah lama tinggal di wilayahnya. Bahkan, Herman menempati rumah milik orangtuanya.
(Kompas cetak, 28 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar