Bangsa Indonesia akan kembali memperingati momentum bersejarah perjalanan bangsa, yakni Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 2012.
Sumpah Pemuda yang lahir sebagai rumusan Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928, menjadi titik pijak formulasi kepemimpinan pemuda pada masa perjuangan. Soegondo, Muhammad Yamin, dan Mr Sunario menjadi pencetus ide dasar Sumpah Pemuda, yang kemudian tercatat dalam tinta emas kepemimpinan nasional pada 20-30 tahun setelahnya.
Bagaimana dengan era Reformasi? Catatan penting bagi era Reformasi 1998 disampaikan oleh Komaruddin Hidayat. Bahwa, Reformasi 1998 telah melahirkan barisan tokoh muda, tetapi mereka kembali tergilas dengan pola pikir lama (Kompas, 29 Mei 2012). Sinyalemen ini tampaknya sejalan dengan gejala politik aktual di mana Pemilihan Umum Presiden 2014 tampaknya hanya akan menjadi ajang bagi politisi tua.
Dari sejumlah wacana yang dimunculkan oleh (elite) parpol dan juga dari hasil survei yang disajikan oleh sejumlah lembaga survei tampak bahwa wajah-wajah politisi tua terus mendominasi panggung politik Indonesia. Pasca-Reformasi 1998, negeri ini tetap saja gagal melahirkan kepemimpinan politik yang berasa, dari kaum muda.
Reformasi Mei 1998 sempat memunculkan harapan besar, yaitu adanya perubahan kepemimpinan politik, sistem politik dan budaya politik baru yang lebih menjanjikan. Di atas kertas, gerakan Reformasi 1998 tampak berhasil dengan gemilang. Reformasi seakan telah membawa angin segar di mana kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pemilu yang demokratis.
Kendati demikian, Reformasi 1998 sesungguhnya telah gagal melahirkan kepemimpinan politik kaum muda. Terbukti, beberapa periode pilpres dan pilkada, kepemimpinan politik kaum tua masih sangat dominan. Mereka, di antaranya, merupakan kelompok elite yang pernah tercatat sebagai penentang kekuasaan rezim Orde Baru. Namun, sebagian di antaranya juga pernah menjadi bagian dari kekuasaan rezim Orde Baru.
Jejak kaum muda
Lalu, di manakah peran kepemimpinan kaum muda? Pasca-Reformasi 1998, jejak peran kaum muda sebenarnya mulai terlihat dalam dua pilar kekuasaan. Pertama, kekuasaan eksekutif. Pasca-Pilpres 2004, sejak era kepemimpinan Presiden SBY, sejumlah kaum muda mulai masuk dalam sirkulasi kekuasaan eksekutif.
Meski tidak menduduki posisi inti dalam kekuasaan istana, banyak kaum muda mantan aktivis 1998 mulai mendapatkan tempat untuk berkiprah dalam dunia politik nasional. Selain itu, Presiden SBY juga mulai memberikan tempat kepada beberapa tokoh politisi muda untuk menduduki jabatan menteri.
Kedua, kekuasaan legislatif. Jejak kepemimpinan kaum muda sebenarnya mulai terasa di beberapa parpol sejak pasca-Orde Baru. Partai Keadilan Sejahtera, sebelumnya bernama Partai Keadilan, termasuk salah satu parpol yang paling pionir dalam mempromosikan kepemimpinan para kaum muda. Sejumlah mantan aktivis gerakan mahasiswa 1998 tampak mendapatkan tempat dan kemudian sebagian di antaranya mampu duduk dalam lembaga legislatif. Mereka bahkan sangat getol dalam mempromosikan kadernya masuk dalam bursa pilkada tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Political heavy yang menghinggapi kaum muda direspons positif oleh partai politik, sebagai bagian dari kaderisasi kepemimpinan yang digagas oleh parpol. Sejak Pemilu 2004, PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Kebangkitan Bangsa mulai rajin menjaring mantan aktivis 1998 dan kaum muda profesional masuk dalam bursa pemilu legislatif. Banyak di antara aktivis 1998 ikut berduyun-duyun memasuki parpol tersebut. Kendati demikian, mayoritas parpol tersebut belum banyak mempromosikan kaum muda dalam bursa pilpres dan pilkada.
Menjelang Pemilu 2009, Partai Gerindra dan Partai Hanura juga mulai merekrut para mantan aktivis 1998. Di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto, Partai Gerindra bahkan mulai menempatkan kaum muda mantan aktivis 1998 sebagai kader inti dari partai tersebut. Partai Demokrat juga tak mau ketinggalan. Sejak tahun 2007, arus kaum muda yang bermigrasi ke partai ini juga sangat kuat dari level pusat hingga daerah.
Terpilihnya Anas Urbaningrum sebagai Ketua Umum Partai Demokrat, sejak 2010, sempat mengundang harapan lahirnya era kepemimpinan kaum muda dalam panggung politik Indonesia. Sejak tahun 2010, Partai Demokrat diisi barisan kaum muda di jajaran inti kepengurusannya.
Bahkan, jabatan ketua umum, para ketua, bendahara, dan sekjen serta wakil sekjen di partai ini tampak dipenuhi barisan kaum muda. Namun, kembali lagi, harapan emas kepemimpinan politik kaum muda kemudian makin menyurut ketika para politisi muda—khususnya di jajaran Partai Demokrat—satu demi satu mulai terseret dalam skandal kasus korupsi.
Kehilangan momentum
Hemat saya, saat ini kaum muda kembali kehilangan momentum untuk memimpin karena beberapa alasan. Pertama, menguatnya pola pikir lama dan warisan budaya politik lama yang kemudian merusak citra dan kredibilitas politik kaum muda. Agenda Reformasi 1998 yang menuntut pemberantasan korupsi ternyata menjebak sejumlah politisi muda.
Kedua, konsolidasi oligarki kekuasaan ekonomi-politik warisan Orde Baru menempatkan kaum tua terus berkuasa di posisi puncak partai politik.
Ketiga, momentum kepemimpinan politik kaum muda kian menipis seiring menguatnya hegemoni para pemegang dinasti politik. Hanya kaum muda yang didukung sumber daya warisan dinasti politiknyalah yang tampaknya masih berpeluang kuat memasuki panggung kepemimpinan politik nasional.
Kooptasi dinasti politik dan dominasi kuasa oligarki ekonomi politik politisi tua terhadap parpol kian menyebabkan peluang kepemimpinan kaum muda lenyap. Analog dengan pernyataan Jenderal Douglas MacArthur (1951): politisi tua tak pernah mati.
Oleh karena itu, peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober ini, sekaligus kita jadikan refleksi bersama. Bagaimanapun jika kondisi yang demikian terus dipertahankan, bukan tidak mungkin pemuda yang notabene adalah penerima tongkat estafet penerus cita-cita dan tujuan pembangunan nasional akan tergerus dan terdegradasi dalam pusaran dinasti politik.
Alhasil, kerinduan akan kepemimpinan nasional yang mampu mengayomi, melindungi, dan membawa perubahan dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara hanya akan menjadi utopia. Sebab itu, merumuskan formulasi kepemimpinan nasional yang mampu menjawab tuntutan globalisasi dan perubahan sosial dipastikan akan mubazir jika tanpa melibatkan kaum muda sebagai bagian penting dari formulasi itu.
Umar Syadat Hasibuan Dosen IPDN
(Kompas cetak, 27 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar