Broto Wardoyo
Ketegangan antara Turki dan Suriah memunculkan kekhawatiran pecahnya perang di kawasan Timur Tengah.
Setidaknya ada empat hal yang harus dipertimbangkan untuk menilai stabilitas di kawasan Timur Tengah terkait kemungkinan pecahnya perang di kawasan.
Sangat dimungkinkan
Pertama, ada dan tidaknya sengketa perbatasan antara Turki dan Suriah. Beberapa sengketa militer tercatat pernah terjadi antara Turki dan Suriah. Kedua negara pernah terlibat sengketa atas turunnya debit air Sungai Eufrat ketika Turki membangun Bendungan Ataturk. Kedua negara juga memiliki perselisihan politik ketika Suriah memberikan perlindungan kepada kelompok bersenjata Kurdi untuk melancarkan serangan gerilya ke wilayah Turki.
Sengketa-sengketa tersebut tak terkait sendiri dengan adanya perebutan teritori. Kedua negara berseteru atas kepemilikan Distrik Alexandretta/Hatay yang sebelumnya dimiliki oleh Suriah, tetapi kemudian diberikan kepada Turki oleh Perancis pada 1939. Sengketa atas wilayah Alexandretta/Hatay tidak pernah pecah sebagai konflik bersenjata antara Turki dan Suriah.
Suriah secara konsisten menentang kepemilikan Turki atas wilayah ini dan menuntut pengembalian wilayah ini ke Suriah. Selama kepemimpinan Presiden Bashar al-Assad, upaya untuk membuka sengketa atas kawasan Alexandretta/Hatay ini senantiasa ditutup. Bahkan, sebagai langkah rekonsiliasi, tahun 2009 kedua negara sepakat meniadakan penggunaan visa bagi kunjungan warga Suriah ke Hatay.
Kedua, ada atau tidaknya aliansi dan kontra-aliansi yang dimiliki kedua negara. Baik Turki maupun Suriah sama-sama memiliki aliansi strategis dengan negara-negara yang berbeda. Turki merupakan anggota NATO, sedangkan Suriah membangun aliansi strategis dengan Iran. Kedekatan Suriah dengan Iran didorong oleh adanya kesamaan persepsi ancaman yang berasal dari Israel dan sekutu Barat- nya.
Turki, meskipun dekat dengan negara-negara Barat anggota NATO dan menjadi salah satu negara di kawasan yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, tak sepenuhnya sejalan dengan negara Yahudi itu. Beberapa insiden mewarnai ketegangan hubungan Turki-Israel, termasuk salah satunya kasus penyerbuan kapal Mavi Marmara yang membawa bantuan kemanusiaan ke Gaza oleh tentara Israel.
Ketiga, ada atau tidaknya sejarah rivalitas antara Turki dan Suriah. Pemahaman konsep rivalitas secara teoretik dapat dibedakan jadi dua: enduring rivalries dan strategic rivalries. Enduring rivalries menekankan pada intensitas sengketa bersenjata, sedangkan strategic rivalries menekankan pada persepsi sebagai lawan yang dibangun tanpa harus mendasarkan diri pada intensitas sengketa bersenjata saja.
Dalam kedua penjelasan itu, Turki dan Suriah tidak diidentifikasikan sebagai dua negara yang memiliki rivalitas. Secara militer, Turki memiliki rivalitas dengan Inggris, Perancis (keduanya dianggap selesai dalam keterlibatan mereka di NATO), dan Yunani (secara strategis Turki juga memiliki rivalitas dengan Yunani). Sementara Suriah memiliki rivalitas dengan Israel, baik enduring rivalry maupun strategic rivalry.
Keempat, ada atau tidaknya perlombaan senjata antara Turki dan Suriah. Kemampuan militer Suriah senantiasa disebut sebagai salah satu yang terbaik di kawasan Timur Tengah selain Israel, Iran, dan Arab Saudi. Sebagian besar persenjataan yang dimiliki Suriah berasal dari Rusia dan Iran. Adapun persenjataan yang dimiliki Turki mengikuti standar NATO yang sebagian besar berasal dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat. Namun, tidak ada indikasi yang jelas bahwa Turki dan Suriah melakukan perlombaan senjata.
Dari keempat faktor itu, dua faktor tak mendukung pecahnya perang dan dua lainnya mendukung pecahnya perang. Vasquez dan Henehan (2001) menjelaskan bahwa sengketa teritorial menjadi penyebab utama pecahnya perang. Vasquez dan Senese (2005) mengembangkan tesis itu dengan menambahkan, secara berurutan, faktor aliansi- kontra aliansi, rivalitas, dan perlombaan senjata.
Berkaca dari tesis tersebut, kemungkinan pecahnya perang antara Turki dan Suriah cukup terbuka. Upaya untuk meredakan ketegangan agar tidak berujung pada perang harus dilakukan salah satunya dengan tidak mengaitkan kekerasan yang terjadi dengan sengketa atas wilayah Alexandretta/Hatay.
Harus dicegah
Meskipun demikian, dalam konteks Timur Tengah ada dua faktor lain yang harus dipertimbangkan dalam menilai kemungkinan pecahnya perang. Faktor pertama adalah efek bola salju perang dan faktor kedua adalah jebakan komitmen aliansi.
Efek bola salju dari pecahnya perang antara Turki dan Suriah akan menciptakan rentetan konflik bersenjata di beberapa tempat di kawasan Timur Tengah. Suriah tidak hanya membangun aliansi dengan Iran, tetapi juga jadi pelindung bagi kelompok-kelompok bersenjata di kawasan, seperti Hamas dan Hezbollah.
Keterlibatan Suriah dalam perang antarnegara akan menyeret keterlibatan kelompok-kelompok bersenjata itu. Permasalahan terbesarnya, kelompok-kelompok itu tak bersinggungan dengan Turki, tetapi bersinggungan dengan Israel. Konflik bersenjata yang melibatkan Hamas dan Hezbollah akan berdampak pada kondisi di Palestina dan Lebanon, terutama Lebanon selatan.
Faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah munculnya jebakan komitmen aliansi. Turki merupakan salah satu anggota NATO yang merupakan pengaturan keamanan di Eropa untuk menghadapi ancaman dari luar NATO. Keterikatan ini berpotensi membawa semua negara NATO ke dalam perang antara Turki dan Suriah. Keterlibatan NATO dalam konflik ini akan semakin memperburuk kondisi. Belum lagi jika Iran turut terlibat karena keterikatan relasi strategisnya dengan Suriah.
Skenario menggunakan Turki untuk menekan kedekatan Suriah dengan Iran pernah dikemukakan dalam laporan ICG bulan Desember 2009. Skenario yang sama dapat juga digunakan untuk memberikan tekanan terhadap rezim Assad untuk mengakhiri kekerasan terhadap kelompok oposisi.
Pilihan terhadap skenario ini juga pernah diungkapkan oleh Jon Alterman, Direktur Kajian Timur Tengah CSIS Washington, di depan Komisi Senat untuk Urusan Luar Negeri pada April 2012. Alterman mengusulkan agar Pemerintah AS menggunakan ketidakharmonisan hubungan Suriah-Turki untuk memberikan tekanan bagi rezim Assad. Apalagi, Turki juga menjadi safe-haven bagi kelompok-kelompok anti-Assad dan menampung para pengungsi Suriah. Meski demikian, patut dicatat bahwa skenario tersebut tidak diarahkan pada upaya menciptakan konflik bersenjata dalam skala serius antara Turki dan Suriah.
Dua pertimbangan tersebut harus lebih dikedepankan untuk mencegah munculnya kekerasan yang lebih serius antara Turki dan Suriah. Upaya untuk meredakan ketegangan harus dilakukan secara serius untuk menghindarkan kedua negara dalam konflik yang berkepanjangan. Upaya itu sama pentingnya dengan upaya untuk menyelesaikan konflik internal di Suriah.
Broto Wardoyo Dosen Mata Kuliah Dinamika Kawasan Timur Tengah, Departemen Ilmu Hubungan Internasional, UI
(Kompas cetak, 31 Okt 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar