Keberlangsungan masyarakat majemuk seyogianya dilandasi sikap saling menghormati dan penciptaan kehidupan yang setara. Publik menilai, sejumlah kebijakan pemerintah bukan saja mengingkari mozaik keragaman, tetapi juga berakibat turut memicu konflik sosial.
Hasil jajak pendapat Kompas pekan lalu mengungkapkan satu dari dua responden menyuarakan kegagalan pemerintah mencegah potensi konflik sosial yang terjadi di masyarakat. Secara lebih spesifik publik menilai empat hal terkait kegagalan tersebut. Dalam hal menjaga dan merawat gagasan kebinekaan, lebih dari separuh bagian res- ponden menyatakan ketidakpuasannya terhadap pemerintah.
Proporsi yang lebih besar menyuarakan ketidakpuasan terhadap upaya pemerintah mencegah ancaman kerukunan hidup beragama dan potensi konflik etnis. Bahkan, tiga dari empat responden menyatakan secara lugas pemerintah gagal menegakkan hukum dan keamanan secara konsisten.
Opini serupa telah disuarakan publik jajak pendapat Kompas pada September tahun lalu. Tampaknya belum ada perubahan berarti dalam pencegahan potensi konflik di masyarakat.
Ekspresi ketidakpuasan publik terhadap upaya pemerintah tersebut sekaligus mengidentifikasi sejumlah faktor yang turut menyuburkan potensi konflik di masyarakat. Sebanyak 86,9 persen responden menyebut kesenjangan ekonomi yang akut dan kemiskinan turut menyuburkan potensi konflik di masyarakat. Di samping itu, lebih dari tiga perempat bagian responden mengungkapkan, penegakan hukum yang lemah kepada pelaku tindak kekerasan sebagai faktor signifikan yang menyuburkan potensi konflik horizontal.
Lebih jauh, mayoritas responden juga menyebutkan kekosongan figur pemimpin yang secara tegas berani menghargai perbedaan sebagai faktor penting lainnya yang turut menyuburkan konflik. Faktor terakhir yang tak kalah penting adalah tak adanya figur pemimpin yang bisa menjadi simbol pemersatu. Pendapat ini dilontarkan oleh tujuh dari sepuluh responden survei ini.
Dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia, mozaik keragaman merupakan realitas. Seluruh bangunan kebangsaan dan kehidupan masyarakat dibangun di atas landasan adanya perbedaan antarkelompok masyarakat. Persoalannya adalah bagaimana mengelola perbedaan tersebut menjadi sebuah kekuatan bagi terbentuknya multikulturalisme.
Publik survei ini menilai, alih-alih mengelola keragaman melalui sejumlah kebijakannya, pemerintah justru mengingkari perbedaan dan menyediakan lahan bagi tercetusnya konflik sosial. Berbagai kebijakan di bidang relasi antarumat beragama, misalnya, ditengarai publik telah ikut membakar potensi konflik di masyarakat.
Sebanyak 84,8 persen responden menyebutkan, sikap pembiaran pemerintah terhadap pelaku kekerasan berbasis agama telah ikut memacu konflik sosial. Beberapa contoh bisa disebutkan di sini seperti kekerasan terhadap warga penganut Syiah di Madura dan kekerasan terhadap jemaah Ahmadiyah. Tindakan main hakim sendiri tersebut menurut enam dari sepuluh responden diberi bahan bakar oleh keputusan pemerintah terhadap Ahmadiyah dan Syiah di Madura.
Fatwa sesat terhadap kedua kelompok minoritas tersebut dinyatakan lebih dari separuh responden sebagai sikap mengingkari keragaman serta menyerang hak memeluk keyakinan dan beribadah warga negara yang dijamin konstitusi, yakni Pasal 28E Ayat 1 dan 2 UUD 1945. Bahkan, menurut separuh bagian responden, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang Pembangunan Rumah Ibadah telah ikut berpotensi memunculkan konflik horizontal. Penutupan sejumlah tempat ibadah kelompok minoritas di provinsi Aceh dan berlarut-larutnya pengurusan izin pendirian rumah ibadah di sejumlah wilayah dikhawatirkan akan menciptakan lahan konflik baru.
Berbeda dengan pemerintah, di level masyarakat, menurut publik survei ini, masih terpelihara sikap-sikap toleran dan keinginan mempertahankan mozaik keragaman. Lebih dari separuh bagian responden menyebutkan bahwa masyarakat masih sangat toleran menerima perbedaan etnis (68,6 persen) dan agama atau keyakinan (64,2 persen). Hal ini sebenarnya merupakan peluang untuk terus memperkuat hubungan sosial yang berbasis perbedaan. Namun, hal ini juga bisa berubah menjadi ironi karena lahan subur toleransi di masyarakat bisa semakin tergerus jika sikap pemerintah tak berubah.
Pola penyikapan yang berbeda muncul ketika publik survei menilai kesenjangan ekonomi di masyarakat. Menurut enam dari sepuluh responden, masyarakat lebih mudah bersikap intoleran terhadap perbedaan kelas sosial di masyarakat. Artinya, sentimen kelas sosial atau kesenjangan ekonomi lebih mudah memicu konflik di masyarakat.
Beberapa kerusuhan berdarah yang terjadi di Indonesia barangkali bisa dijelaskan dalam kerangka kesenjangan ekonomi atau perbedaan penguasaan atas akses sumber daya ekonomi. Kerusuhan antara etnis Dayak dan Madura di Sampit, Kalimantan, bukan hanya disebabkan bangkitnya identitas kelompok, tetapi juga disuburkan oleh tersisihnya etnis Dayak dari penguasaan politik-ekonomi selama puluhan tahun.
Konflik di Lampung Selatan yang terjadi minggu lalu pun bisa diteropong dari kerangka tersebut. Ketimpangan dalam penguasaan akses ekonomi antara etnis lokal dan pendatang sangat mungkin menyuburkan potensi konflik akibat perbedaan etnis di wilayah tersebut.
Dalam proses meredam potensi konflik pun, masyarakat lebih memercayai lembaga informal ketimbang institusi pemerintah. Sebanyak 52,5 persen responden menyuarakan hal tersebut. Hal itu menunjukkan tingkat ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah dalam menyelesaikan konflik sosial. Sebaliknya, relasi dengan sesama institusi sosial masyarakat dianggap masih bisa membantu memperbaiki hubungan sosial.
Ilmuwan politik Kanada, Jacques Bertrand, menyatakan, negeri-negeri yang sedang berproses meninggalkan otoritarianisme sering kali mengalami konflik komunal. Kekerasan komunal merupakan "konjungtur kritis" bagi upaya memperbarui relasi kekuasaan dan sumber daya. Artinya, kekerasan komunal menjadi alat negosiasi bagi perubahan kelembagaan kenegaraan dalam berbagai level. Setiap perubahan struktur kelembagaan politik kenegaraan akan berkontribusi pada polarisasi identitas etnik, agama, dan kelompok politik yang potensial memunculkan kekerasan (Amiruddin dalam Dignitas-Jurnal HAM, 2008).
Hal ini berarti kekerasan yang terjadi bukan semata-mata disebabkan masalah bangkitnya identitas kelompok. Dalam proses negosiasi perombakan hubungan kekuasaan dan penguasaan sumber daya, identitas akan dipakai sejauh relevan dengan kepentingan mendapatkan posisi politik dan penguasaan sumber daya ekonomi.
Dalam konteks ini, upaya negosiasi ulang dan terus-menerus antarkelompok yang berpotensi konflik menjadi prasyarat utama. Negara dan pemerintah lokal berfungsi menjembatani proses negosiasi ulang relasi tersebut. Hal itu juga berarti pemerintah harus mengelola perbedaan dan bukan mengingkari keragaman. Jika tidak, mozaik keragaman yang telah retak akan hancur berantakan. (Litbang Kompas, Kompas Cetak 5 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar