Istilah etika publik umum digunakan sejak skandal Watergate tahun 1978, sebelumnya etika pemerintahan. Etika publik berurusan dengan pelayanan kepada masyarakat, didasarkan dan bersumber pada integritas pribadi. Modalitasnya akuntabilitas dan transparansi (Haryatmoko, Etika Publik untuk Integritas Pejabat Publik dan Politisi, 2O11).
Ketika suap-menyuap dan peras-memeras ramai terjadi, lingkupnya satu atap dengan kasus 153 pegawai negeri sipil yang tersangkut korupsi, bekas terpidana korupsi yang dipromosikan, wakil rakyat yang menggangsir anggaran, pun yang memeras BUMN. Akuntabilitas dan transparansi, dua alat untuk mengukur bobot etika publik, pintu masuk mengukur bobot pelayanan pejabat publik. Ketika dua modalitas itu didegradasi dan disamarkan, secara etis moral jabatan publik runtuh.
Maka, ketika bekas napi duduk sebagai pejabat publik, pun secara legal tak ada larangan, rasa keadilan rakyat ternodai. Tidak dalam kaitan eksekusi turunan jabatan publiknya, tetapi dalam ketidakabsahannya secara etis-moral. Sah tetapi tidak etis.
Apa yang terjadi pada 153 PNS, pada sejumlah pejabat yang dipromosikan—menafikan edaran Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi—anggota DPR yang diduga memeras BUMN, dan perilaku tak terpuji lainnya, halnya harus ditempatkan sebagai penodaan etika jabatan publik.
Kesediaan Dahlan kita apresiasi dalam konteks penguatan upaya mencegah terus melorotnya etika pelayanan publik. Ketika korupsi dianggap sebagai oli pembangunan dan ketika upaya pemberantasan korupsi sekadar pencitraan, pernyataan Dahlan terasa signifikan.
Melaporkan masalahnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi barangkali langkah yang tepat. Tepat tempat, tepat momentum. Walau masih dikesankan ada penggerogotan dan tersendat-sendat, KPK saat ini muncul sebagai institusi legal pemberantasan korupsi. Tepat waktu di saat semakin terbukanya lepra wakil rakyat kita, di saat merosotnya kinerja pejabat publik.
Perlu, bahkan secara etis harus, permasalahannya disampaikan kepada masyarakat. Kalaupun kejelasan duduk perkara dan penyimpangan itu tidak ditindaklanjuti dalam proses hukum—dalam banyak kasus korupsi riuh di wacana, tetapi menguap sendiri—hukuman sosial sudah dilakukan.
Walau rasa malu sudah hilang, koruptor justru jadi selebritas baru, misalnya, secara tak langsung publikasi itu membangun kesadaran baru tentang semakin rusaknya kondisi negeri ini. Jangan keburu dikaitkan dengan sinisme "negara gagal",
proses ini merupakan bagian dari rasa memiliki. Memiliki dan mencintai salah satu caranya membuka kedok degradasi moralitas etik publik. Maju terus, Pak Dahlan!
(Tajuk Rencana Kompas, 7 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar