Belum lama berselang, seorang peneliti mengingatkan para purnawirawan TNI agar tidak terjebak dalam skenario dinosaurus yang dapat menjerumuskan mereka ke dalam kepunahan nilai keprajuritannya (Kompas, 22/10/2012).
Peringatan itu terkait kiprah para jenderal purnawirawan tua yang kini sedang saling berlomba memopulerkan diri untuk menjadi presiden RI 2014. Perlombaan, yang disebut rakyat sebagai "Perang Bintang", dilakukan oleh mereka yang sewaktu muda hafal di luar kepala tujuh ayat di dalam Sapta Marga. Ayat pertamanya berbunyi: "Kami warga negara Republik Indonesia, yang bersendikan Pancasila".
Di samping itu, setiap anggota TNI juga diwajibkan mengangkat Sumpah Prajurit, yang harus diucapkan pada setiap upacara bendera seminggu sekali. Ayat pertamanya berbunyi: "Setia kepada pemerintah dan tunduk kepada undang-undang dan ideologi negara".
Baik Sapta Marga maupun Sumpah Prajurit merupakan derivasi dari filsafat Pancasila, yang digali dari kebudayaan bangsa kita sendiri. Nilai kebudayaan kita yang luhur di bidang keprajuritan secara praktik telah diteladani Gajah Mada, tujuh abad lampau. Sampai kini sosok Gajah Mada tetap merupakan simbol keprajuritan yang dibanggakan TNI dan Polri.
Sang pemersatu Kerajaan Majapahit itu, walaupun namanya besar karena jasa-jasanya yang luar biasa bagi negara, tak ingin menjadi raja. Sekarang, dalam kebudayaan modern kita dewasa ini, keteladanan Gajah Mada justru diikuti secara terbalik. Para purnawirawan tua membesarkan namanya lewat media massa justru karena ingin menjadi presiden.
Melalui kepiawaian konsultan iklan, perwira yang sewaktu muda konduitenya buruk sekalipun sekarang dapat demikian populer di mata rakyat. Kepopuleran seperti ini juga dapat membuat para perwira muda usia memahaminya secara keliru: bahwa medan laga untuk jadi presiden monopoli para bekas tentara yang sudah tua dan berpangkat perwira tinggi.
Padahal, sepanjang sejarah Indonesia, dinamika kehidupan bangsa kita sejak dulu penuh diwarnai peran para perwira menengah TNI yang masih muda. Karakter kelompok manusia dalam keadaan darurat, yang biasanya terjadi di masa transisi, selalu menginginkan pemimpin muda berjiwa militer yang tegas dan penuh disiplin, yang mampu melindungi rakyat dari segala bentuk ancaman.
Sipil berjiwa militer
Mengapa harus muda? Secara mental kaum muda punya semangat lebih menggelora. Secara fisik lebih kuat dan secara psikis lebih tahan, terutama dalam daya tahan kerja intelektual mereka. Karena itu, jika kaum muda militer ingin berkiprah di bidang politik, tak usah menunggu karier di militer khatam alias pensiun, sudah tua, apalagi harus berpangkat jenderal.
Namun, harus juga diingat, dalam teori demokrasi, dasar kedaulatan politik yang dijunjung adalah supremasi sipil. Jadi, anggota militer muda yang mau mencalonkan diri sebagai presiden harus berhenti dahulu sebagai tentara dan kembali jadi orang sipil yang tak punya ikatan lagi dengan militer. Masalahnya, sesuai Kitab Undang-undang Hukum Disiplin Militer dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer, berhenti secara tidak sah dari militer berarti desersi.
Oleh karena itu, untuk menjawab keinginan rakyat kita, jalan terbaik adalah mendukung calon sipil yang berjiwa militer. Hanya pemimpin yang berjiwa tegas, disiplin, dan merakyat yang dapat membawa Indonesia benar-benar berdaulat di bidang politik, berdiri di kaki sendiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang kebudayaan.
Para purnawirawan militer yang selama ini pernah memimpin rakyat, sesuai semboyan Ing Ngarsa Sung Tulada (di depan menjadi teladan), adalah (alm) Soeharto dan SBY. Namun, dalam keadaan transisi, rakyat masih mendambakan lebih kuatnya disiplin nasional, baik disiplin birokrasi dan aparatur, disiplin legislasi, maupun disiplin sosial.
Rakyat berharap hadirnya kepemimpinan nasional yang tegas agar ide liberal tentang kebebasan tidak terus makin bergulir ke arah anarkisme. Rakyat berharap kepemimpinan yang berani agar perkembangan individualisme dalam lingkungan strategis kita tak makin menjurus ke arah konsumerisme yang hedonistik.
Kesempatan bagi para purnawirawan tua untuk memimpin bangsa ini dengan berada di depan dirasakan telah cukup. Sekarang waktunya kaum militer muda dan bekas militer yang sudah tua mendukung kepemimpinan nasional sipil dari belakang, yang di antara delapan asas kepemimpinan ABRI/TNI disebut Tut Wuri Handayani.
Para pemuda dari kalangan sipil kini harus didorong agar berani dan mampu tampil di depan untuk membangun negara Pancasila dalam bingkai demokrasi yang beretika. Fenomena Jokowi dalam memenangi kursi gubernur DKI Jakarta 2012-2017 pelajaran yang berharga bagi kita. Bahwa Indonesia menginginkan orang muda sipil berwajah baru yang berwibawa, yaitu tegas, berdisiplin, dan merakyat, sebagai presiden RI yang akan datang.
AM HENDROPRIYONO Jenderal TNI (Purn); Mantan Ketua Umum Ikatan Alumni Lemhannas
(Kompas cetak, 5 Nov 2012)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar