Oleh Budiarto Shambazy
Beberapa hari terakhir, media massa sering memberitakan soal "pasal santet" yang bikin heboh. Padahal, ini hanya salah satu dari ratusan pasal yang sedang dalam proses penyusunan RUU KUHAP dan RUU KUHP.
Ketentuan Pasal 293 Ayat (1) RUU KUHAP menyebutkan, "Setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain bahwa karena perbuatannya dapat menimbulkan penderitaan mental atau fisik seseorang...."
Jadi, tidak ada kata "santet". Yang ada hanya kata "kekuatan gaib". Namun, kita keburu histeris karena terkesan DPR membahas santet, urusan yang mengada-ada, alias tidak substantif.
Terlebih lagi, Komisi III DPR akan melakukan studi banding ke Rusia, Inggris, Perancis, dan Belanda untuk belajar santet. Menurut pernyataan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, studi banding itu menghabiskan uang negara sekitar Rp 6,5 miliar.
Tidak heran sebagian dari kita gusar. Seperti biasa, DPR kembali menjadi sasaran kritik dan cemooh dari delapan penjuru mata angin.
Padahal, kalau saja mau sedikit memahami, kedua RUU itu diajukan pemerintah kepada DPR, dan persoalan santet atau kekuatan gaib itu bukanlah isu baru. Sesungguhnya, pemerintah sekitar 20 tahun lalu berupaya memasukkan pasal ini ke DPR. Keinginan itu bersumber dari keresahan masyarakat yang marah terhadap praktik-praktik kekuatan gaib yang ditawarkan dukun-dukun.
Dukun-dukun itu sering menjadi korban main hakim sendiri.
Jadi, bukan kekuatan gaibnya yang merupakan subyek hukum, melainkan dukun-dukun itu yang menyalahgunakan kekuatan gaib.
Setelah sekitar 20 tahun, pembahasan diajukan lagi oleh pemerintah kepada DPR. Berhubung kita masyarakat "main pukul rata", DPR menjadi sasaran kembali alias menjadi kambing hitam.
Contoh kekeliruan persepsi dapat dilihat juga dari fenomena fanatisme publik terhadap tim nasional sepak bola. Dalam pertandingan babak penyisihan Piala Asia melawan Arab Saudi akhir pekan lalu, GBK dipadati puluhan ribu penonton.
Nah, sebagian pemain timnas melakukan tindakan kurang senonoh ketika menolak berlatih di bawah asuhan Pelatih Luis Manuel Blanco. Padahal, pelatih asal Argentina ini salah satu buah kerja sama bilateral Indonesia-Argentina.
Ulah pemain-pemain itu jelas menampar wajah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang meminta bantuan kepelatihan dari Presiden Argentina Cristina de Kirchner. Tidak ada yang ribut saat Rahmad Darmawan muncul sebagai "pahlawan".
Jangan lupa, sebagian dari pemain ini menolak dipanggil masuk timnas asuhan Pelatih Nil Maizar. Berbeda dengan Bambang Pamungkas yang berani menentang klubnya memenuhi panggilan timnas.
Padahal, di sejumlah negara Barat, nasionalisme pemain digugat cuma karena tidak menyanyikan lagu kebangsaan saat akan bertanding. Di sini, lambang Garuda dan Merah-Putih dilecehkan.
Akan tetapi, sebagian besar penggemar tak peduli. Nasionalisme sebagian besar pencinta sepak bola kita memang masih bersifat "flag-waving".
Mispersepsi terhadap pasal santet dan timnas memprihatinkan. Hal itu menunjukkan karakter masyarakat yang hidup dalam kebimbangan.
Pada dasarnya, masyarakat memang naif. Mungkin saja karena mereka kurang well-informed atau cuma memedulikan urusan masing-masing.
Namun, apatisme merupakan penyebab utama rasa bimbang yang berkepanjangan itu. Sikap masa bodoh pada sejumlah kalangan kini tampak dalam skala yang cukup massal dan bersifat sistemik.
Ternyata, Reformasi 1998 dapat dikatakan gagal karena demokrasi kita berubah menjadi "democrazy". Demokrasi menjadi ajang untuk ngomong dan berbuat seenaknya saja oleh siapa saja.
Ciri utama "sukses" demokratisasi ala Reformasi 1998 tak lain adalah perilaku korupsi. Sama seperti sikap masa bodoh, korupsi berlangsung cukup massal dan bersifat sistemik.
Bayangkan saja, sekitar sepertiga dari gubernur diperiksa KPK. Sekitar seperempat dari hampir 500 pemimpin daerah idem dito.
Sama seperti sikap masa bodoh dan korupsi, kecurangan dalam pilkada juga berlangsung dalam skala cukup massal dan bersifat sistemik. Lebih dari tiga perempat dari 500-an pilkada selama beberapa tahun terakhir disengketakan.
Kalau ada partai/politisi yang menggugat hasil pilkada, hampir dipastikan mereka dituduh ngambek. Jika petahana mengerahkan dana dan aparatnya untuk menang kembali, itu hal biasa.
Rasa bimbang berkepanjangan yang disebabkan oleh apatisme itu masih berlangsung sampai saat ini. Kita tidak tahu lagi mau memercayai siapa yang memiliki otoritas informasi-informasi vital setiap kali ada masalah berskala nasional.
Itu terjadi ketika negeri agraris ini dilanda krisis kelangkaan komoditas, mulai dari kacang kedelai sampai bawang. Sungguh menyeramkan menyimak siapa gerangan yang bertanggung jawab atas serangan terhadap LP Cebongan.
Mungkin salah satu krisis laten yang membuat kita mundur sebagai bangsa: kian tampaknya fenomena "too dumb to be governed and too dumb to govern". Ibaratnya, ini mempertanyakan mana yang lebih dulu: ayam atau telur?
Kita berharap krisis laten ini berakhir ketika ada perubahan baru pada tahun 2014 setelah Pemilu-Pilpres 2014. Di satu pihak, masih banyak yang pesimistis dan mungkin lebih memilih golput, di lain pihak tetap ada yang berharap masih ada sinar di ujung terowongan sana.
Untuk sementara, kita masih "bangsa penonton" (a nation of spectators) saja. Kita masih belum lulus menjadi "bangsa pemaham" demokrasi, apalagi "bangsa penikmat" demokrasi.
(Kompas cetak, 30 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar