Kasus kebakaran Gedung Utama Sekretariat Negara mengundang keprihatinan dan menjadi bahan perbincangan serius kalangan masyarakat.
Sebagian masyarakat sungguh dibuat tercengang atas kebakaran pada Kamis (21/3) di lingkungan Istana Negara itu. Dengan nada setengah percaya, tidak sedikit pula masyarakat bertanya-tanya, apa sesungguhnya yang sedang terjadi.
Peristiwa kebakaran tergolong sering terjadi di Jakarta dengan sejumlah sebab. Meski demikian, masyarakat tetap menggeleng-gelengkan kepala karena tidak habis pikir mengapa Gedung Utama Sekretariat Negara yang begitu vital juga tidak luput dari bahaya kebakaran.
Sebagai salah satu simbol penting negara dan bangsa, Gedung Utama Sekretariat Negara seharusnya ditempatkan pada sistem keamanan dan pengamanan urutan teratas, termasuk dari bahaya kebakaran. Gedung Sekretariat Negara dan gedung vital lainnya diasumsikan aman dari gangguan apa pun.
Sekalipun kebakaran itu bisa diterima sebagai musibah, masyarakat tetap ingin mengetahui penyebabnya. Sudah disebut-sebut, kebakaran disebabkan hubungan pendek arus listrik. Banyak kasus kebakaran di Jakarta, terutama di kawasan kumuh, disebabkan hubungan pendek arus listrik. Perlu dikemukakan pula, hubungan pendek arus listrik tidak serta-merta menimbulkan kebakaran. Secara teknis, sekring lazimnya langsung putus jika terjadi hubungan pendek arus listrik. Sudah menjadi standar pula, gedung-gedung vital dilengkapi alat pemantau asap dan api.
Jika konsentrasi asap atau sengatan panas api mencapai level tertentu, sirene alarm otomatis berbunyi. Rupanya, berbagai sistem keamanan dan pengamanan tidak berfungsi sehingga musibah kebakaran tidak dapat dideteksi dan dicegah secara dini di Gedung Utama Sekretariat Negara. Sebagai refleksi atas musibah itu, perlu dipertanyakan bagaimana gedung vital itu dibangun atau direnovasi. Apakah seluruh standar keamanan dan pengamanan, termasuk instalasi listrik dan kualitas bangunan, dipenuhi sebagai sebuah keniscayaan?
Mungkin saja, gedung dibangun dan direnovasi sesuai dengan standar keamanan, tetapi jangan-jangan proses perawatan dan pemeliharaannya kedodoran sebagai salah satu bentuk kelemahan budaya kerja bangsa Indonesia. Banyak gedung atau fasilitas dibangun dengan biaya tinggi, tetapi tidak sedikit yang cepat rusak karena lemahnya budaya perawatan dan pemeliharaan.
Suka atau tidak, kebakaran yang menimpa Gedung Utama Sekretariat Negara antara lain menimbulkan interpretasi tentang lemahnya budaya memelihara dan merawat bangsa dan negara Indonesia. Sungguh keterlaluan jika budaya merawat dan memelihara itu justru juga kedodoran di lingkungan Gedung Utama Sekretariat Negara sebagai salah acuan dan ukuran dalam menempatkan keamanan dan pengamanan di atas segalanya.
***
(Tajuk Rencana Kompas, 23 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar