Salahuddin Wahid
Berita tentang korupsi melalui TV, koran, radio, majalah, dan media online selama beberapa tahun terakhir telah menjadi makanan kita sehari-hari. Mulai dari pagi, siang, sampai malam kita dijejali berita semacam itu, hingga banyak yang merasa bosan.
Menteri, gubernur, bupati, anggota DPR, politisi papan atas, jenderal polisi dan pejabat pemerintah diduga melakukan korupsi. Banyak yang telah dijatuhi hukuman. Bahkan, ada berita tentang dugaan bahwa wakil presiden juga terlibat sebuah kasus besar, entah sejauh mana kebenarannya. Berita tentang Nazaruddin sejak 2011 muncul hampir setiap hari, diikuti berita korupsi oleh beberapa anggota DPR. Terakhir adalah berita tentang Irjen Djoko Susilo yang mempunyai sekitar dua puluh rumah dan beberapa pompa bensin, yang diduga berasal dari hasil korupsi kasus simulator SIM. Kita langsung teringat berita tentang rekening gendut milik beberapa jenderal polisi pada 2010, di mana nama Djoko Susilo ada di dalamnya. Tentu banyak yang menduga nama petinggi polisi yang lain itu juga mempunyai harta sebanyak Djoko Susilo.
Masyarakat yang sebagian besar mendukung langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga mulai sedikit kehilangan kepercayaan kepada KPK setelah beredar fotokopi draf surat perintah penyidikan (sprindik) terhadap Anas Urbaningrum. Dalam upaya menjaga kepercayaan masyarakat itu, KPK membentuk Komite Etik untuk memeriksa pimpinan dan pejabat KPK terkait kebocoran itu. Tindakan tegas perlu diterapkan kepada pembocor itu. Sebenarnya banyak yang menduga ada oknum di KPK pada lapisan menengah yang mungkin bermain sehingga kasus korupsi yang telah dilaporkan ke KPK dan didasarkan bukti yang kuat dan gamblang ternyata tidak ditindaklanjuti. Beberapa pihak datang ke saya dan menyampaikan masalah tersebut. Semoga pimpinan KPK bisa mengawasi pejabat KPK yang layak diduga bermain seperti di atas dan membenahi.
Berbagai berita itu membuat masyarakat berkesimpulan dalam survei bahwa untuk memperoleh pemimpin yang paling dibutuhkan adalah kejujuran, bukan kepandaian, ketegasan, atau keberanian. Yang jadi masalah, saat ini pejabat atau politisi jujur sulit dicari. Tokoh-tokoh yang berkata "katakan tidak pada korupsi" dalam iklan TV ternyata terlibat korupsi. Bisa jadi para tokoh partai lain juga begitu. Mungkin kejujuran telah hilang dari kamus para pejabat negara dan politisi.
Korupsi dan ajaran agama
Semua agama pasti menganjurkan kejujuran. Nabi Muhammad SAW bersabda: "Yang paling ringan dalam beragama Islam ialah membaca syahadat atau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah rasulullah. Sedang yang paling berat ialah hidup jujur (dapat dipercaya). Sesungguhnya tidak ada agama bagi orang yang tidak jujur. Bahkan, tidak ada salat dan tidak ada zakat bagi mereka yang tidak jujur" (Hadis riwayat Ahmad Bazzar). Anas RA berkata: "Dalam hampir setiap khotbahnya, Rasulullah selalu berpesan tentang kejujuran. Beliau berpesan: "Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Tidak ada agama bagi orang yang tidak konsisten memenuhi janji".
Tentu agama lain juga mengandung ajaran sama tentang pentingnya kejujuran dalam kehidupan. Masalahnya, bagaimana kita bisa menanamkan kesadaran tentang pentingnya kejujuran itu. Umat Islam yang selalu menyatakan akan meneladani perilaku Rasulullah ternyata banyak yang hanya meneladani aspek hablum minallah saja, tetapi sering lupa meneladani beliau dalam aspek hablumminannas.
Surah al Ma'un menegaskan, muslimin yang tidak peduli kepada orang miskin dan mengabaikan anak yatim adalah para pendusta agama. Mereka tidak jujur terhadap perintah agama. Namun, tak banyak muslimin yang sepenuhnya menjalankan perintah surah al Ma'un itu. Bagaimana kita bisa menemukan cara efektif dalam menanamkan kejujuran ke dalam diri kita, anak-anak kita, dan kepada anak didik kita. Pendidikan dimulai dari keluarga. Saya tak tahu sejauh mana para orangtua sadar bahwa para guru di sekolah bukanlah yang paling utama dalam membentuk karakter anak, melainkan justru orangtua itu sendiri. Sekolah lebih besar perannya dalam mengajar anak atau transfer ilmu pengetahuan. Tentu saja, sekolah juga ikut membentuk akhlak anak.
Sejauh mana para orangtua meluangkan waktu untuk membentuk akhlak si anak? Apalagi para orangtua yang harus membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi. Banyak sekali orangtua yang tak paham bahwa merekalah yang menjadi pendidik utama si anak, bukan guru di sekolah. Banyak juga yang tidak sempat menyediakan waktu untuk membentuk pribadi si anak sehingga si anak lebih banyak menonton TV yang kita tahu tidak mendidik.
Menanamkan kejujuran
Saat mulai menjadi pengasuh Pesantren Tebuireng pada 2006, saya menekankan tiga hal yang perlu ditanamkan kepada para santri atau siswa: kejujuran, antikekerasan, dan kebersihan. Sejak tahun lalu dipasang CCTV di sekolah. Jika ada siswa ketahuan mencontek dalam ulangan, ia harus mengulang ulangan itu di depan guru. Juga harus meminta maaf di depan semua murid setelah salat duha yang dilakukan setiap pukul 06.45. Syukurlah, kini hampir tidak ada siswa mencontek, paling satu-dua orang setiap tahun.
Kalau ada santri mengambil barang milik orang lain, orangtuanya dipanggil dan santri itu diberi peringatan terakhir. Apabila dia mengulangi lagi, dia langsung dikeluarkan dari Pesantren Tebuireng. Santri yang memukul kawannya, orangtuanya juga dipanggil dan diberi peringatan kedua. Kalau sudah memukul tiga kali, santri dikeluarkan. Saat memberi nasihat kepada lebih kurang 1.500 santri setelah salat magrib di masjid Pesantren Tebuireng, sering kali saya sampaikan kisah tentang manfaat dan pentingnya kejujuran.
Menurut seorang ahli pendidikan di dalam sebuah tulisan, kalau mau berhasil maka penanaman kejujuran di kelas harus didukung oleh kepala sekolah dan juga lembaga yang menaungi sekolah tersebut. Pesantren Tebuireng telah memenuhi syarat tersebut. Namun, setelah santri tamat dari SMA atau madrasah aliyah, dia akan hidup di tengah dunia kampus yang belum tentu menerapkan apa yang kami lakukan di Tebuireng. Dia juga akan menerima pengaruh di dalam masyarakat yang justru bisa menghapuskan apa yang telah kami lakukan di Pesantren Tebuireng, yaitu contoh negatif dari para pejabat negara yang amat kuat diduga telah melakukan korupsi, tetapi tidak ditindak. Mungkin apa yang ditanamkan di Pesantren Tebuireng bisa tergerus secara perlahan dan saat mahasiswa tamat dari perguruan tinggi daya tahannya melawan godaan yang datang dari lingkungan kerjanya akan menjadi minim. Mungkin sekali dia akan larut dalam praktik korupsi berjemaah.
Diperlukan metode yang tepat dan dilakukan pada usia yang tepat dalam upaya menanamkan kejujuran kepada putra-putri kita di rumah. Para ahli psikologi bisa memberi penyuluhan dan pelatihan tentang metode tersebut kepada masyarakat luas. Ikhtiar menanamkan kejujuran ini harus menjadi kesadaran bersama dan perjuangan bersama. Semoga kelak kita tidak sulit lagi mencari pejabat jujur di Indonesia.
SALAHUDDIN WAHID Pengasuh Pesantren Tebuireng
(Kompas cetak, 22 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar