Makin problematik ketika pendidikan karakter menjadi fokus Kurikulum 2013. Sebelum Kurikulum 2013 diberlakukan secara nasional, pendidikan karakter sudah bermasalah. Praksis pendidikan masa lalu, plus-minus dipuji. Lulusan sekolah bukan hanya manusia cerdas dan terampil, melainkan juga yang berkarakter baik.
Buruknya pendidikan karakter direspons. Repotnya tidak dengan memahami detail sebab musababnya, tetapi lewat pendekatan teknis (eklektik). Tidak dengan menghidupkan kembali mata pelajaran Budi Pekerti atau mengingatkan keluarga sebagai pendidikan pertama, tetapi dengan menetapkan setiap mata pelajaran memasukkan nuansa pendidikan karakter.
Keputusan serba kemampo, dan bukan solusi. Sulit dipraktikkan. Ditambah kriteria pertama keberhasilan adalah intelektualitas dan keterampilan, pengembangan karakter dinomorduakan. Yang dihasilkan lulusan pinter tetapi keblinger. Praksis pendidikan melenceng dari filosofi dasarnya, memanusiawikan manusia (homo humanum), atau humanisasi.
Karena tak ada panduan jelas, setiap daerah, setiap jenjang, bahkan tiap sekolah mencoba menemukan metode sendiri. Karena karakter dianggap turunan keberagamaan, pendidikan karakter masuk dalam pelajaran Agama. Ada yang menerapkan pelajaran Agama dengan sebutan Religiositas, ada yang dalam bentuk kesalehan devosional, ada yang menerapkan silabus khusus pendidikan karakter.
Ketika kondisi masyarakat di luar lembaga pendidikan tidak memberi ruang berkembangnya karakter yang baik. Pendidikan karakter jalan sendiri, berseberangan dengan realitas dalam masyarakat. Sekolah kelabakan dituduh biang keladi rusaknya karakter anak didik.
Kurikulum 2013 secara legal harus diterapkan dengan menafikan segala keberatan, belum lagi masalah infrastruktur yang kedodoran. Idealisasi pendidikan karakter sebagai fokus di dalamnya masuk akal kalau sekolah, dalam hal ini guru, merasa sulit mengajarkan pendidikan karakter. Mengajar sesuai kurikulum saja sulit, boro-boro mengajarkan 18 karakter. Rumusan bagus yang mempertegas pendekatan eklektivistis.
Make the best of it! Ambil yang terbaik dari suasana saat ini. Mencabut kembali pelaksanaan Kurikulum 2013 bukan terbaik. Menunggu evaluasi hingga 5 tahun berarti menggali lubang lebih dalam. Oleh karena itu, langkah terbaik adalah minus malum, (yang kurang buruk dibandingkan dengan yang buruk-buruk), yakni memberikan keteladanan.
Mari kembali pada kebajikan, keluarga itu institusi pendidikan yang pertama. Pendidikan karakter tidak bisa diajarkan, tetapi dipraktikkan dan diteladankan. Sekolah bukan segalanya, apalagi untuk pendidikan karakter.
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008778408
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar