Lambang Trijono
Di tengah ramainya pembicaraan soal kepemimpinan menjelang Pemilu 2014, ada baiknya kita menengok sejenak perkembangan infrastruktur demokrasi.
Kepemimpinan yang akan datang berpijak di atas terbentuknya infrastruktur ini. Keduanya berinteraksi membentuk kepemimpinan transformatif yang diharapkan hadir mewujudkan impian mengubah Indonesia menjadi lebih setara, bebas, dan mandiri. Transisi politik menuju demokrasi telah memberikan harapan tersendiri untuk mewujudkan impian itu. Namun, demokratisasi di Indonesia saat ini menghadapi krisis perubahan; apakah terus membiarkan diri terseret arus krisis demokratisasi ataukah berani melakukan lompatan perubahan ke depan melakukan transformasi politik.
Infrastruktur
Selama ini berbagai kritik telah dilontarkan menyusul kesepakatan politik moderat dicapai dalam politik transisi. Suara yang paling keras mengatakan, reformasi politik lebih pada aspek pembentukan lembaga di satu sisi dan di sisi lain terlalu cepat dijalankan mengikuti semangat liberalisasi tanpa disertai transformasi politik dan perluasan horizon demokrasi.
Mengikuti semangat liberalisasi, partai-partai politik baru dibentuk. Pemilu bebas dan terbuka pun diselenggarakan. Namun, hal itu tidak disertai pelembagaan infrastruktur demokrasi, seperti perluasan kebebasan dan ekualitas, respek pada perbedaan, penegakan hukum, efektivitas lembaga peradilan, dan penyelesaian konflik dengan cara-cara demokratis tanpa kekerasan.
Demokratisasi dijalankan mengikuti konsepsi politik liberal yang sangat terbatas. Hanya menekankan hak-hak otonomi dan kebebasan individual, tidak disertai penggunaan hak dan kebebasan itu secara kolektif.
Di tengah minimnya perluasan horizon demokrasi itu, yang terjadi kemudian adalah reduksi demokratisasi dari kekuatan transformasi menjadi sekadar modus vivendi dan modus operandi berbagi kekuasaan di kalangan elite terbatas (Tornquist, 2010). Reduksi ini telah memandulkan demokratisasi. Bahkan, lebih dari itu, juga telah menimbulkan dislokasi politik dan eksklusi sosial.
Kecenderungan terkini demokratisasi di Indonesia sepertinya mengamini temuan di berbagai tempat di Dunia Ketiga. Bahwa demokratisasi disertai liberalisasi politik tanpa pelembagaan demokrasi tak membawa dampak pengurangan penyalahgunaan kekuasaan dan kekerasan di masyarakat (Parish, 2004). Sebaliknya, ia justru menimbulkan kerentanan demokrasi yang berdampak pada meningkatnya konflik sosial.
Krisis liberalisasi politik selama ini telah mengundang berbagai respons dari banyak kalangan. Kalangan liberal sendiri umumnya berpendapat pentingnya merevitalisasi lembaga-lembaga demokrasi. Mereka menyarankan sebaiknya liberalisasi politik itu ditunda dulu sampai stabilitas politik, kekuatan sipil, dan lembaga-lembaga penegakan hukum berjalan (Parish, 2004).
Di sisi lain, kalangan demokrasi sosial menyerukan pentingnya penguatan kelembagaan demokrasi melalui gerakan sosial dan penguatan agensi-agensi demokrasi (Tornquist, dkk., 2009). Sementara itu, kalangan revisionis mengkritik keduanya, baik reformasi liberal maupun sosial-demokratik. Mereka lebih menekankan pentingnya perluasan dan pendalaman demokrasi dalam arah dan jalan menuju transformasi politik (Mouffe, 2005).
Perbedaan respons itu, selain mencerminkan perbedaan ideologi, juga memperlihatkan adanya dilema dan kesulitan-kesulitan untuk menemukan model demokrasi paling sesuai untuk mewujudkan kebebasan dan ekualitas tanpa harus mengorbankan stabilitas politik. Indonesia tampaknya harus memilih jalan mana yang harus ditempuh tanpa mengorbankan stabilitas domestik dan tetap bisa bermain dalam percaturan demokrasi global.
Transformasi sosial
Kita selama ini telah menempuh jalan demokrasi liberal dengan segala keterbatasannya. Melanjutkan reformasi politik itu, ke depan, tak ada pilihan lain kecuali melakukan perluasan dan pendalaman demokratisasi yang kita tempuh selama ini dalam arah dan jalan menuju transformasi demokrasi. Tidak ada salahnya melakukan pilihan ini. Selain tetap disukai kedua ideologi besar liberalisme dan sosialisme-demokratik, hal itu juga sangat menjanjikan bagi berlangsungnya transformasi sosial.
Perluasan dan pendalaman demokrasi di sini bukan hanya memperkuat otonomi dan kebebasan individual, melainkan juga memperluas otonomi dan kebebasan itu ke seluruh lapisan sosial, mewujudkan kebebasan dan kesetaraan bagi semua, mengaktivasi hak-hak dan kebebasan warga negara secara kolektif, dan menjadikan warga negara aktif membentuk republik. Dalam arah dan jalan menuju transformasi demokrasi inilah kepemimpinan transformatif diharapkan hadir melakukan perubahan.
Lambang Trijono Dosen Fisipol UGM
(Kompas cetak, 22 Maret 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar