Saldi Isra
Jamak dipahami, dalam setiap agenda pembaruan aturan hukum (legal reform) tujuan utamanya adalah untuk menghadirkan norma baru guna menjawab kebutuhan hukum masyarakat. Jika pembaruan itu berada di ranah penegakan hukum, norma-norma baru diharapkan mampu menjawab kebutuhan penegakan hukum. Bahkan, jika perlu, norma baru hadir jauh lebih progresif dibandingkan dengan pengaturan yang pernah ada.
Namun, sejumlah bentangan empiris membuktikan, keinginan ideal hampir selalu berbenturan dengan logika lain yang tidak menghendaki adanya perubahan, yaitu mereka yang merasa nyaman berada dalam status quo. Dengan logika kontraproduktif, upaya menghadirkan norma baru—terutama yang jauh lebih progresif—merupakan ancaman nyata yang harus dicegah dengan berbagai cara.
Karena perbedaan cara pandang itu, langkah menghadirkan norma baru yang progresif acapkali berubah menjadi pertarungan panjang nan melelahkan. Bahkan, tak jarang, proses demikian menemui jalan buntu. Andai bisa dituntaskan, pendukung status quo terlebih dulu telah menyusupkan atau menyelundupkan norma yang dengan mudah akan melumpuhkan norma-norma progresif yang dihasilkan.
Penyelundupan norma
Segala macam manuver sebagai bentuk resistensi atas kehadiran norma baru yang jauh lebih progresif bukan hal baru dalam proses legislasi. Jauh sebelum ini masyarakat pernah ribut ketika raibnya Pasal 113 Ayat (2) UU Kesehatan. Seperti ditulis dalam "Kudeta Redaksional" (Kompas, 16/10/2009), Hatta Rajasa pernah mengemukakan bahwa selama ia menjadi Menteri Sekretaris Negara peristiwa serupa pernah juga terjadi pada RUU Perkeretaapian dan RUU Tata Ruang.
Jika dalam peristiwa tersebut yang dilakukan adalah melenyapkan norma yang telah disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah, penyelundupan norma merupakan tindakan sebaliknya, yaitu memasukkan norma lain yang berpotensi melumpuhkan ide pembaruan hukum. Biasanya, norma yang diselundupkan memiliki semangat yang jauh berbeda. Bahkan, sangat mungkin pula norma yang diselundupkan bertentangan secara diametral dengan gagasan sentral penyusunan norma baru.
Dalam pengertian itu, penyelundupan norma sangat mungkin dilakukan ketika merumuskan materi dalam undang-undang yang sama. Atau, penyelundupan dilakukan pula dalam menyusun materi undang-undang berbeda di ranah yang sama. Tujuannya jelas, yaitu menyusun seperangkat aturan yang dapat menghadirkan konflik di antara norma (conflict of norm) sehingga upaya penegakannya sulit dilaksanakan.
Dalam batas-batas tertentu, rencana perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menuju ke arah penyelundupan norma sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Pada salah satu sisi, sejumlah perubahan memuat norma yang jauh lebih progresif dalam penegakan hukum. Namun, di sisi lain, sebagiannya justru hadir kontraproduktif, terutama dalam pemberantasan korupsi.
Di antara perubahan yang dinilai kontraproduktif adalah hadirnya pemikiran yang berpotensi membonsai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi. Terkait soal ini, dalam naskah akademis RUU KUHAP ditegaskan bahwa tanpa pengecualian KPK melakukan penyadapan harus dengan izin hakim komisaris (Kompas, 20/3).
Bentuk nyata dari gagasan tersebut, pada Pasal 83 RUU KUHAP secara eksplisit dinyatakan bahwa penyadapan dilarang kecuali terhadap tindak pidana serius, seperti kejahatan atas keamanan negara, korupsi, pencucian uang, terorisme, dan pelanggaran berat hak asasi manusia. Untuk kelima kategori tindak pidana serius (the most serious crimes) itu, penyadapan hanya dapat dilakukan penyidik setelah mendapat izin hakim pemeriksa pendahuluan.
Seperti hendak memberi sedikit katup untuk menerobos larangan itu, Pasal 84 RUU KUHAP menyatakan bahwa penyadapan bisa dilakukan dalam keadaan mendesak tanpa izin hakim. Namun, kemudian, katup tersebut dibatasi lagi dengan memunculkan frase tambahan dalam Pasal 84, yang menyatakan bahwa penyadapan harus dilaporkan paling lambat dua hari sejak penyadapan dilakukan.
Melumpuhkan KPK
Melihat karakter norma yang dirumuskan dalam Pasal 83 dan Pasal 84 RUU KUHAP tersebut, sulit dibantah bahwa kehadirannya tidak akan melemahkan dan mereduksi kewenangan KPK dalam melakukan penyadapan. Dalam pengertian itu, Pasal 83 dan Pasal 84 secara terang benderang kontraproduktif dengan substansi Pasal 12 Ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang secara eksplisit menyatakan bahwa lembaga ini berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.
Secara teoretis, dalam desain penegakan hukum pemberantasan korupsi, KPK adalah lembaga khusus yang dibentuk oleh UU. Menurut Eddy OS Hiariej (2008), ahli hukum pidana dari Universitas Gadjah Mada, dalam perspektif hukum pidana, salah satu karakter UU dikatakan hadir berbentuk khusus adalah mengatur hukum pidana formal yang menyimpang dari ketentuan acara pidana pada umumnya. Tidak hanya itu, sebagai ketentuan yang bersifat khusus, kehadirannya dapat mengesampingkan ketentuan yang bersifat lebih umum (lex specialis derogat legi generalis).
Kendati demikian, dalam praktik, banyak fakta membuktikan bahwa segala macam teori dan asas hukum gagal menempatkan KPK sebagai lembaga dengan status khusus, yang dalam penegakan hukum dapat menyimpang dari ketentuan KUHAP. Salah satu contoh yang sangat relevan dikemukakan adalah penolakan kepolisian saat proses awal penyidikan kasus suap simulator. Tanpa dukungan luas masyarakat, penyidikan kasus suap tersebut sangat sulit ditarik keluar dari wewenang kepolisian.
Berkaca dari penangkapan Wakil Ketua PN Bandung Setyabudi Tejocahyono, penyadapan harus mendapat izin dari hakim komisaris tidak perlu dipertahankan. Sulit dan hampir tidak masuk akal jika KPK harus meminta izin hakim dulu untuk menyadap seseorang yang berasal dari korps yang sama. Boleh jadi, langkah meminta izin sekaligus akan membuyarkan penyadapan yang dilakukan KPK.
Berkaca dari pengalaman kasus tersebut, sekiranya RUU KUHAP tetap bertahan dengan norma yang diatur dalam Pasal 83 dan Pasal 84, hampir dapat dipastikan KPK akan kesulitan melaksanakan wewenang istimewanya melakukan penyadapan. Selama ini, dengan tanpa larangan dalam KUHAP, tindakan KPK melakukan penyadapan hampir selalu dipersoalkan. Pengalaman menunjukkan, sebagai instrumen penting KPK dalam menyingkap berbagai skandal korupsi, resistensi terhadap kewenangan ini tidak hanya berasal dari sesama penegak hukum, tetapi juga datang dari para politisi.
Oleh karena itu, apabila larangan itu tetap dipertahankan dalam KUHAP baru, pihak-pihak yang selama ini resisten akan makin memiliki argumentasi guna mempersoalkan dan sekaligus menolak kewenangan penyadapan KPK. Bisa ditebak ujung dari norma seperti ini: aturan baru dalam KUHAP ini akan melumpuhkan kewenangan penyadapan KPK. Bahkan, bukan tidak mungkin kehadirannya sengaja didesain untuk mematisurikan institusi KPK.
Sekiranya kita masih tetap menganggap bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa yang mengancam masa depan negeri ini, dan KPK adalah institusi khusus yang dibentuk untuk memberantasnya, RUU KUHAP mestinya memperkuat posisi KPK. Dengan pilihan semacam itu, jangan pernah membiarkan KPK dibonsai dengan cara menyelundupkan norma yang kontraproduktif.
Saldi Isra Guru Besar Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
(Kompas cetak, 1 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar