Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan gencar mencegah dan memberantas praktik plagiat, terutama sejak keluar Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Plagiat di Perguruan Tinggi. Hasilnya, sungguh mengejutkan.
Pelakunya bukan hanya dosen dan mahasiswa, melainkan juga guru. Bahkan, politisi. Pada permendiknas itu, plagiat didefinisikan "Perbuatan secara sengaja atau tidak sengaja dalam memperoleh atau mencoba memperoleh kredit atau nilai untuk suatu karya ilmiah, dengan mengutip sebagian atau seluruh karya dan/atau karya ilmiah pihak lain yang diakui sebagai karya ilmiahnya, tanpa menyatakan sumber secara tepat dan memadai". Pada Pasal 1 Ayat (2) disebutkan, praktik plagiat mencakup sesuatu yang dibuat, diterbitkan, dipresentasikan, ataupun dimuat.
Selain plagiat, ada soal ikutan yang tak tercantum dalam Permendiknas No 17/2010, yaitu "auto-plagiat", terjemahan dari bahasa Inggris self-plagiarism. Ensiklopedia elektronik Wikipedia menulis, self-plagiarism adalah pemakaian lagi karya sendiri secara signifikan, identik, atau mendekati identik, tanpa memberi tahu tindakan itu atau tanpa merujuk karya aslinya.
Istilah self-plagiarism masih pro-kontra. Stephanie J Bird, penulis Self-plagiarsm and dual and redundant publications: What is the Problems?, misalnya, menganggap pemakaian istilah itu tak tepat karena definisi plagiat mensyaratkan ada "pihak lain" yang dicurangi. Sementara, dalam hal pemakaian kembali karya sendiri itu tak ada pihak lain yang dicurangi. David B Resnik, ahli bioetika dari National Institutes of Health, AS, tak keberatan dengan istilah self-plagiarism karena di dalamnya terdapat unsur ketidakjujuran. Namun, memang bukan pencurian intelektual.
Pertanyaannya, apakah semua pemakaian kembali karya ilmiah, baik sebagian maupun keseluruhan, baik dalam pembuatan, pemuatan, publikasi, maupun presentasi (tanpa menyebut sumber secara memadai), dianggap auto-plagiat? Kalau benar, rasanya tiada ilmuwan, dosen, atau akademisi yang tak sering melakukannya.
Perbedaan pandangan tentang auto-plagiat juga pada tiap keilmuan. The Journal of International Business Studies (JIBS), misalnya, tegas memasukkan auto-plagiat bagian dari kode etik yang harus dihindari penulis. Pada JIBS Code of Ethics for Authors dinyatakan, self-plagiarism adalah tindakan yang tak bisa diterima.
Beda lagi The American Political Science Association (APSA) yang hanya memasukkan masalah plagiat dalam kode etiknya, yang didefinisikan: "Dengan sengaja mengambil hasil karya orang lain sebagai karya miliknya", namun tak menyinggung masalah auto-plagiat. Pada A Guide to Professional Ethics in Political Science (2008) yang diterbitkan APSA malah diatur masalah pengulangan publikasi ilmiah. Misalnya, dinyatakan bahwa tesis bila dipublikasikan sebagian atau keseluruhan oleh penulisnya, yang bersangkutan tak punya kewajiban etik memberitahukan. Pun penulis dibolehkan mengirim suatu naskah kepada lebih dari satu jurnal profesional, namun wajib memberitahukannya kepada editor.
Pamela Samuelson, profesor ilmu hukum dan informasi Universitas California, Berkeley, menyebut beberapa alasan kapan pengulangan publikasi suatu karya ilmiah dibolehkan. Dalam tulisannya Self-Plagiarism or fair use? ia mengemukakan, pengulangan publikasi ilmiah terdahulu boleh dilakukan apabila: karya ilmiah itu perlu dikemukakan lagi sebagai landasan karya ilmiah berikutnya; bagian dari karya ilmiah terdahulu itu terkait bukti dan alasan baru pada karya berikutnya; sasaran yang dituju publikasi karya ilmiah itu beragam karena sifatnya yang multidisiplin, sehingga publikasi di media yang berbeda diperlukan untuk menjangkau komunitas multidisiplin.
Ada pendapat, auto-plagiat terjadi bila dalam pengulangan karya tak disertai catatan rujukan memadai atas karya terdahulu. Lalu, muncul pertanyaan, haruskah penulis membuat catatan rujukan atas karyanya sendiri? Sebab, secara logika, semua batang tubuh teks suatu karya ilmiah yang tak merujuk karya orang lain, secara implisit bersumber dari yang bersangkutan. Jadi, tak perlu dibuat catatan rujukan. Pendapat lain, auto-plagiat itu pelanggaran ringan, tak perlu diatur.
Akan tetapi, ada praktik pemakaian kembali karya sendiri yang bisa dikategorikan pelanggaran etika akademik serius, karena ada unsur curang. Misalnya, pengulangan karya yang hak ciptanya sudah milik pihak lain, mahasiswa yang menggunakan karya ilmiahnya untuk memenuhi tugas pada lebih dari satu mata kuliah, atau pemakaian ulang karya ilmiahnya untuk tugas akhir yang mensyaratkan orisinalitas (skripsi, tesis, atau disertasi).
Bagi dosen, bila menggunakan karya ilmiahnya (lagi) untuk usulan kenaikan pangkat, padahal karya itu telah digunakan untuk maksud sama.
Namun, memang, kalau semua pengulangan karya dianggap pelanggaran, betapapun ringan pelanggaran itu, mungkin bisa menghambat tugas dosen atau ilmuwan. Padahal, menurut UU No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 12 Ayat (2), tugas dosen sebagai ilmuwan tak hanya mengembangkan ilmu pengetahuan dan/atau teknologi, tapi harus menyebarluaskannya.
Mengingat pemakaian istilah auto-plagiat bermakna negatif sudah umum, sementara penggunaan dan batasan istilahnya masih kontroversial, perlu kiranya pedoman soal itu. Mungkin bisa lewat revisi Permendiknas No 17/2010 sehingga para penilai sejawat punya acuan pasti ketika menilai karya ilmiah sejawatnya. Jadi, tak bias penilaian.
Muhadjir Effendy Dosen Universitas Negeri Malang; Rektor Universitas Muhammadiyah Malang
(Kompas cetak, 9 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar