Oleh Boni Hargens
Demokrasi selalu jadi perdebatan, bukan karena "akhir sejarah"-nya Fukuyama (1992), tetapi karena hakikatnya yang paradoksal.
Ia memperjuangkan kebebasan sekaligus membunuh kebebasan. Ia membicarakan kebenaran sekaligus mewartakan bualan. Berbicara keadilan sekaligus mengekalkan ketidakadilan. Setidaknya begitulah modus vivendi (cara hidup) demokrasi.
Di level dunia, propaganda perdamaian dilancarkan bersamaan perlombaan senjata nuklir. Negara maju mempromosikan diktat hak asasi manusia sambil menandatangani kontrak jual beli senjata dengan rezim negara berkembang. Kuliah keadilan dilakukan di mimbar kapitalisme yang tumbuh karena ketidakadilan struktural.
Di level negara, pemerintah dunia ketiga antusias berkampanye antikemiskinan pada saat menandatangani privatisasi perusahaan negara. Mereka menekankan kebebasan pers sambil meneror jurnalis yang kritis. Tiap hari mereka berpidato tentang "pemerintahan demokratis", yang tidak mungkin mereka sendiri bangun karena politik hidup dari sistem korupsi.
Hari-hari ini kita melihat paradoks itu kasatmata. Di awal pemilu, partai politik menabur spanduk antikorupsi, bahkan presiden dari partai dengan gagah berpidato tentang politik bersih. Menjelang pemilu berikut, partai antikorupsi dituntut bubar karena praktik korupsi. Presiden dituntut mundur karena memelihara koruptor.
Paradoks? Itulah demokrasi. Bahkan, ketika presiden dari partai korup dituntut bertanggung jawab, segala bentuk aksi protes akan dikecam dengan alibi demokrasi yang santun. Konsep demokrasi tidak mengenal kata "santun". Protes, kritik, dan oposisi tidak mungkin ada kalau sifat utama demokrasi adalah santun. Namun, pemakaian terminologi "santun" tetap penting diterima untuk memahami paradoks demokrasi Indonesia.
Aksi 25 Maret 2013 yang digagas Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia kiranya dibaca dalam paradoks ini. Protes dan kritik biasa dalam demokrasi. Yang tak biasa: protes dan kritik diterima dengan jiwa besar. Kiranya bola panas "kudeta" yang bergulir menjelang 25 Maret dimengerti dalam garis berpikir ini.
Betulkah ada kudeta? MKRI adalah forum yang beranggotakan ilmuwan, aktivis, seniman, dan tokoh masyarakat lain. Mungkinkah paguyuban macam ini melancarkan kudeta? Kalau Anda yakin itu tidak betul, isu kudeta adalah halusinasi.
Resahkan ruang sosial
Lepas dari itu, wacana kudeta sudah merusak wacana politik dan meresahkan ruang sosial. Fokus atas isu korupsi, keamanan, dan masalah lain tereduksi. Inilah paradoks lain demokrasi Indonesia. Muncul sensasi yang memusnahkan substansi.
Sensasi (Latin, sensatus>indrawi), bagi kaum strukturalis dalam psikologi adalah satu dari tiga komponen utama kesadaran manusia, selain citra dan afeksi. Ia berhubungan dengan kegiatan indra semata, pengalaman elementer yang sifatnya segera, tak butuh analisis verbal, simbolis ataupun konseptual (Wolman, 1973). Yang sensasional adalah yang merangsang emosi, cepat mengocok rasa haru.
Sadar atau tidak, demokrasi kita sudah berubah menjadi sekadar sensasi. Muncul banyak isu politik yang heboh, tetapi tidak bermutu. Presiden pun sibuk menyikapi soal sepele. Pidato hanya merespons laporan intelijen yang akurasinya diragukan.
Sensasi itu perlu dalam mencapai informasi yang akurat. Sensasi diberi makna oleh persepsi sehingga sensasi bisa diubah menjadi informasi. Begitu proses kerjanya dalam kesadaran manusia. Celakanya, banyak sensasi yang diserap mentah sebagai informasi. Akibatnya, respons pemerintah menjadi sensasi baru yang merusak ruang publik.
Multifaktor untuk menjelaskan keanehan ini. Boleh jadi, ada yang salah pada persepsi terhadap kritik. Kalau kritik tak dipahami sebagai bagian intrinsik dari demokrasi, tetapi sebagai kenakalan mereka yang kalah dalam pemilu, logis kritik dilihat sebagai ancaman. Protes diterjemahkan sebagai kudeta.
Boleh jadi juga, sensasi memang disengaja sebagai strategi politik. Dalam kacamata ini, isu kudeta bukan soal benar atau salah, tetapi bagaimana menciptakan sensasi dan teror secara halus. Rakyat dibuat gelisah dan dibelah secara kejam; mereka yang mendukung aksi protes adalah makar (melawan negara) dan yang lain adalah "warga baik". Situasi ini memaksa suara kritis untuk bungkam, atau sebaliknya: semakin keras melawan.
Demokrasi bukan soal sensasi. Demokrasi bukan soal teror psikis. Demokrasi berbicara aturan main dan kepentingan umum sebagai teleologi. Pemerintah bertanggung jawab kepada cita-cita bonum commune, bukan kepada kepentingan parsial. Maka, tak perlu heboh menghadapi kritik. Yang utama, kebijaksanaan memahami kritik untuk perbaikan kinerja. Kalau tidak, demokrasi tak lebih dari sekadar sensasi.
Boni Hargens Pengajar Ilmu Politik UI; Presidium Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia
(Kompas cetak, 9 April 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar