Bahkan, ada kesan praktik menyimpang itu sengaja dipertahankan oleh elite agar permanen. Padahal, reformasi bertujuan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), yang subur di masa Orde Baru di bawah rezim Soeharto.
Maka, reformasi paling krusial adalah di bidang hukum dan politik. Namun, korupsi justru terus merajalela di tengah genderang perang pemberantasan korupsi. Demokratisasi politik memang terbuka lebar, tetapi malah terjebak dalam pragmatisme, perkoncoan, dan dinasti politik.
Fakta dan pandangan itulah yang terekam Kompas, sampai Minggu (19/5), terkait reformasi yang memasuki tahun ke-15 pada tahun ini. Reformasi yang diintroduksi dengan krisis moneter tahun 1997 dan memuncak menjadi kerusuhan sosial pada 13-15 Mei 1998 akhirnya menumbangkan pemerintahan Soeharto, 21 Mei 1998. Saat itulah era Reformasi bergulir dengan slogan perang terhadap KKN.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Bahtiar Effendy, di Jakarta, mengatakan, Indonesia memang mencapai prosedur demokrasi lewat penyelenggaraan pemilu langsung dari presiden sampai bupati/wali kota, juga anggota DPR, DPRD provinsi dan kabupaten/kota, tetapi kualitas demokrasi masih rendah dan kian pragmatis.
Demokrasi masih dimaknai sebagai ajang perebutan kekuasaan semata. Kompetisi berlangsung dengan biaya mahal sehingga hanya orang-orang bermodal besar yang bisa menduduki jabatan publik.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Siti Zuhro, juga menegaskan, substansi demokrasi tidak berjalan sehingga muncullah praktik yang tidak sesuai dengan esensi demokrasi, antara lain praktik politik dinasti di mana-mana. "Situasi tersebut membuat reformasi tidak menghasilkan konsolidasi demokrasi," ujarnya.
Siti menangkap kesan, elite dan aktor politik sengaja mempertahankan praktik demokrasi yang menyimpang demi keuntungan mereka. "Mereka sengaja membuatnya menjadi permanen," katanya.
"Demokrasi yang berjalan bukan bersifat substansial. Ini membuat biaya politik menjadi tinggi, menyebabkan banyak orang terjerat korupsi," kata anggota DPR dari Fraksi PPP, Achmad Yani. Ia menilai kehidupan bangsa saat ini semakin kacau. Era Reformasi yang mengamanatkan perang terhadap KKN nyatanya sebaliknya ketika korupsi semakin merajalela.
Terlebih sistem ketatanegaraan, ujar Bahtiar, juga masih gamang. Di jajaran wakil rakyat ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dipilih langsung oleh rakyat di tingkat provinsi, tetapi tidak memiliki wewenang kuat di parlemen. Pengajuan calon presiden dan calon wakil presiden dibatasi hanya oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh 20 persen suara dari suara nasional. Padahal, batasan itu tidak diatur dalam UUD 1945.
Penilaian masyarakat mengenai reformasi memang masih rendah. Dalam jajak pendapat Litbang Kompas pada 15-17 Mei lalu terungkap bahwa sebagian besar publik menyatakan penegakan supremasi hukum belum terpenuhi (82,1 persen), hanya 13,9 persen yang menyatakan terpenuhi. Sebagian besar publik (84,4 persen) juga menyatakan pemberantasan korupsi belum terpenuhi. Hanya 14,8 persen yang mengatakan terpenuhi.
Survei Indonesian Research and Survey (Ires), 17-27 April lalu, menunjukkan reformasi juga diapresiasi rendah. Publik yang tidak puas 34,1 persen dan sangat tidak puas 11,1 persen, sedangkan publik yang puas 25,7 persen dan sangat puas hanya 5,5 persen, selebihnya tidak memberikan jawaban atau tidak tahu.
Terhadap pemerintahan yang bersih dari KKN, publik juga tidak puas 39,5 persen dan sangat tidak puas 21,9 persen, sedangkan yang menilai puas 18,4 persen dan sangat puas 9,1 persen. Terhadap tuntutan reformasi, yaitu pengadilan Soeharto dan kroni-kroninya, publik menilai tidak puas 32,2 persen dan sangat tidak puas 8,3 persen, sedangkan yang puas 29,3 persen dan sangat puas 4,1 persen.
Ketidakpuasan publik terhadap penegakan supremasi hukum sejajar dengan fakta bahwa hukum masih belum tegak benar. Pakar ilmu hukum CFG Sunaryati Hartono mengeluhkan makin buruknya penegakan hukum di era Reformasi. "Penegakan hukum malah lebih buruk dibandingkan zaman kolonial Belanda. Saya tidak mengatakan sarjana hukum bodoh, tetapi malah terlalu 'pintar', sehingga yang salah dikatakan benar, yang benar dikatakan salah," ujarnya.
"Indonesia negara hukum adalah nol besar," tambah mantan hakim dan pengacara itu.
Bagi pengamat hukum Taufik Basari, reformasi belum sesuai dengan harapan karena bangsa ini gampang lupa dan tidak mampu mengambil pelajaran dari sejarah kelam di masa lalu untuk melakukan perbaikan. "Jika soal HAM lebih mudah dilihat dan diukur, maka lebih sulit melakukannya untuk mengukur efektivitas hukum ekonomi di Indonesia. Soal ekonomi, kita masih mencari bentuk dan masih terjadi tarik-menarik kepentingan jangka pendek," ujarnya.
Menurut Taufik, masih banyak agenda reformasi yang belum tuntas. "Meskipun telah 15 tahun berlalu, faktanya kita belum keluar dari masa transisi," katanya.
Melencengnya arah reformasi, kata Ahmad Yani, karena bangsa Indonesia belum siap untuk menjalankan demokrasi secara terbuka dan bebas. Infrastruktur dan kelembagaan belum disiapkan secara baik sehingga bangsa Indonesia gagap melaksanakan demokrasi. Akibatnya, demokrasi ditunggangi oleh oligarki sehingga menjadi demokrasi transaksional. Demokrasi dikendalikan uang.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies Philip J Vermonte mengatakan, sebetulnya harus diakui, Indonesia pelan-pelan memasuki periode "politik normal". Keputusan dilakukan di parlemen, sedangkan pergantian kekuasaan melalui mekanisme elektoral. Agenda reformasi yang relatif berjalan bahwa TNI pelan-pelan semakin kurang berpolitik, tetapi reformasi polisi dan badan intelijen belum tersentuh.
"Semua elemen bangsa perlu duduk bersama untuk mengevaluasi bentuk demokrasi kita, meluruskan hal-hal yang melenceng dari agenda reformasi," kata Bahtiar.
(Kompas cetak, 20 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar