Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 17 Mei 2013

Asas Kemanusiaan dan Asas Pengayoman (Taufiequrahman Ruki)

Taufiequrahman Ruki

Pembentukan suatu UU pada hakikatnya harus mampu memenuhi tujuan hukum, yaitu terciptanya kepastian, keadilan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.

Materi muatan UU harus mengatur obyek yang diatur di dalamnya secara jelas sehingga menjadi suatu panduan, yang tidak multi-interpretasi: UU juga harus menjadi media masyarakat untuk memperoleh rasa keadilan. Pembentukan UU harus mempertimbangkan kebutuhan di masyarakat sehingga—pada saat lahirnya—masyarakat merasakan manfaat UU tersebut.

Karena itu, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mensyaratkan, pembentukan suatu UU harus mencerminkan sejumlah asas, di antaranya asas-asas yang dipersyaratkan, yakni asas kemanusiaan dan asas pengayoman.

Hal baru yang dituangkan dalam RUU Hukum Acara Pidana (HAP) yang tak ada dalam KUHAP (UU No 8/1981) adalah perlindungan hak korban. Ini ditegaskan dalam Pasal 5. Selanjutnya hak-hak korban diatur khusus dalam Pasal 133 dan 134 (Bab XI Bagian Ketiga Putusan Pengadilan tentang Ganti Kerugian terhadap Korban).

Di sini hakim diharuskan memutuskan terpidana untuk membayar ganti kerugian materiil kepada korban. Namun, RUU HAP tidak mengatur bagaimana cara hakim menentukan besarnya ganti kerugian. Apakah pihak (keluarga) korban dapat mengintervensi peradilan pidana atas perkara yang terkait, atau pihak (keluarga) korban mengajukan perhitungan nilai kerugian kepada jaksa penuntut umum, selanjutnya diajukan sekaligus dalam surat dakwaan. RUU HAP belum mengatur secara jelas.

Bertolak belakang dengan pengaturan hak korban yang hanya diatur dalam tiga pasal, hak tersangka dan terdakwa dapat porsi pengaturan yang jauh lebih besar, diatur dalam tiga bab: Bab V (Pasal 88-102); Bab VI (Pasal 103-108); Bab XII (Pasal 128-132). Perbandingan secara kuantitas jumlah pasal ini menunjukkan betapa RUU HAP lebih memerhatikan hak tersangka/terdakwa dibanding hak korban. Akan lebih baik bagi tim perumus RUU HAP merumuskan hak-hak tersangka/terdakwa dengan korban tersebut secara proporsional.

Perlu keberpihakan

Perlu lebih dipertimbangkan juga bahwa korban kejahatan adalah orang yang secara obyektif/nyata mengalami penderitaan atau kerugian akibat suatu perbuatan pidana. Di negara-negara di mana penegakan hukum masih sangat lemah, korban kejahatan lebih banyak terdiri atas orang-orang miskin atau kedudukannya sangat lemah di masyarakat. Oleh karena itu, hukum serta negara (penyidik dan penuntut umum) harus lebih banyak berpihak kepada mereka.

Perihal pengertian ganti kerugian sendiri, RUU HAP (Pasal 1 angka 22) menjelaskan: "Ganti kerugian adalah hak seseorang untuk mendapatkan sejumlah uang karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diputus tanpa alasan yang sah berdasarkan undang- undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau mengenai hukum yang diterapkan."

Pengertian ganti kerugian ini hanya dikaitkan dengan ganti kerugian bagi tersangka/terdakwa. Sementara ganti kerugian dalam bab yang mengatur ganti kerugian terhadap korban tak dirumuskan. Artinya, RUU HAP tak memberikan perhatian atas hak korban. Korban kejahatan seperti diabaikan RUU ini.

Tim perumus terlihat lebih mengedepankan asas kemanusiaan sebagaimana diatur UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal 6 Ayat (1) Huruf b, beserta penjelasannya. Bunyi, "Yang dimaksud dengan asas kemanusiaan adalah bahwa setiap materi penguatan peraturan perundang-undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional."

Asas kemanusiaan di sini lebih ditujukan untuk tersangka/terdakwa. Seharusnya tim perumus mempertimbangkan asas pengayoman sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Ayat (1) Huruf a UU yang sama: "Yang dimaksud dengan asas pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perundang-undangan harus berfungsi memberikan perlindungan untuk menciptakan ketenteraman masyarakat."

Tim perumus RUU HAP harusnya lebih menyadari bahwa kata proporsional (sengaja penulis garis bawahi), sebagai kata kunci yang harus menghubungkan antara asas kemanusiaan dan asas pengayoman. Karena kata "proporsional" tentu bukan tanpa maksud dicantumkan oleh penyusun UU No 12/2011.

Proporsional harus diartikan bahwa asas praduga tak bersalah dalam rangka perlindungan terhadap hak tersangka/terdakwa harus diterapkan secara proporsional pada hak para korban tindak pidana. Perlu ada keberpihakan hukum sekaligus berarti keberpihakan negara kepada masyarakat yang mengalami kerugian dan atau jadi korban tindak pidana yang (mungkin) dilakukan oleh tersangka/terdakwa.

Taufiequrahman Ruki Inspektur Jenderal Polisi (Purn); Mantan Anggota Komisi III Hukum DPR dan Ketua KPK 2003-2007

(Kompas cetak, 17 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger