Keharusan bangkit dan berdiri bersama antara lain untuk menjawab tantangan yang jauh lebih kompleks ketimbang situasi 105 tahun lalu saat Budi Utomo, sebagai penggerak pertama kebangkitan Indonesia, didirikan. Tantangan terasa jauh lebih rumit lagi karena semangat bangkit dan berdiri bersama semakin mengendur di kalangan elite dan rakyat Indonesia dewasa ini. Jiwa gotong royong memudar. Sebaliknya, konflik dan pertikaian cenderung meningkat di kalangan elite dan masyarakat.
Pertarungan di kalangan elite sama sekali tidak memperlihatkan budaya unggul yang menawarkan kecerdasan dan pencerahan, tetapi justru kegaduhan oleh kencangnya tarikan kepentingan para politisi dan partai politik. Dalam pertarungan itu, posisi rakyat terjepit. Rupanya rakyat hanya dibutuhkan suaranya untuk kepentingan pemilu. Setelah pemilu, elite politik kembali asyik dengan kepentingannya, menjauhi rakyat.
Kecenderungan kaum elite dan rakyat jalan sendiri- sendiri merupakan isyarat buruk dan berbahaya karena tidak menghasilkan konsolidasi kekuatan yang bisa mendorong kemajuan yang berorientasi pada kesejahteraan dan keadilan. Kenyataan ini dapat dianggap sebagai langkah mundur jika disandingkan dengan semangat kekompakan generasi terdahulu yang telah melahirkan tonggak besar seperti Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan 1945.
Seharusnya kekompakan semakin diperkuat dalam mengisi kemerdekaan. Semangat senasib dan seperjuangan yang melemah justru membuat upaya mengisi kemerdekaan menjadi kedodoran. Tentu harus diakui banyak pencapaian yang diraih selama 67 tahun kemerdekaan, tetapi persoalan serius, seperti kebodohan, keterbelakangan, kemiskinan, dan kesenjangan, masih menumpuk.
Tantangan bukannya berkurang, melainkan justru bertambah karena upaya mengatasi kemiskinan dan kesenjangan dihadang korupsi yang merebak luas dari pusat sampai ke daerah. Upaya mengatasi berbagai persoalan juga terkesan berputar-putar di tempat, seperti soal mafia hukum, pengadilan, tanah, narkotika, dan pertambangan. Banyak kasus dibuka, tetapi tidak dituntaskan.
Semakin disoroti pula, antara lain oleh lembaga internasional Standard & Poor's, tentang proses pengambilan kebijakan Pemerintah Indonesia yang menyia-nyiakan momentum reformasi ekonomi. Tarik ulur waktu dalam menentukan kebijakan penghematan dan harga BBM, misalnya, hanya menciptakan ketidakpastian dan spekulasi. Begitu juga arah pembangunan infrastruktur yang lebih banyak dipergunjingkan ketimbang implementasi.
Sudah saatnya kembali bangkit, berdiri, dan berlari bersama dalam melakukan perubahan, mengatasi berbagai persoalan, dan mengejar kemajuan bangsa dan negara.
(Tajuk Rencana Kompas, 20 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar