Sebagaimana kemerdekaan, demokrasi tidak diraih melalui upacara serah terima di antara kaum aristokrat. Ia terlahir melalui gelombang debu, asap, dan api.
Keringat, air mata, dan darah ditumpahkan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kebebasan dan kesetaraan. Telah 15 tahun sudah tonggak reformasi dikibarkan. Marilah merefleksikan sejenak wajah demokrasi Indonesia hari ini.
Defisit militansi demokrasi
The Economist secara berkala memublikasikan indeks demokrasi sejak tahun 2006. Besaran ini didapatkan dari rata-rata tertimbang atas 60 pertanyaan yang berkaitan dengan demokrasi. Ada lima faktor yang membentuk indeks ini, yaitu proses pemilihan dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil.
Secara umum, indeks demokrasi Indonesia meningkat tipis dari 6,41 (2006) menjadi 6,76 (2012). Kenaikan ini dimotori tiga faktor: fungsi pemerintah, partisipasi politik, dan kebebasan sipil. Sementara itu dari faktor proses pemilihan dan pluralisme cenderung mengalami stagnasi. Yang cukup mengejutkan, faktor budaya politik mengalami penurunan drastis dari 6,25 (2006) menjadi 5,63 (2012).
Posisi budaya politik sangat strategis. Ia tersusun atas serangkaian pertanyaan yang berkaitan dengan persepsi masyarakat terhadap demokrasi. Pertanyaan itu, antara lain, adalah persepsi atas kepemimpinan yang kuat, pandangan terhadap militerisme, persepsi pada kemampuan tenaga ahli di pemerintahan, kepercayaan atas kemampuan demokrasi dalam memelihara ketertiban umum, keyakinan demokrasi sebagai alternatif terbaik, dan dukungan terhadap demokrasi. Dari sini terlihat faktor budaya politik berusaha untuk memotret tingkat kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Angka-angka di atas memberikan sebuah gambaran yang mengejutkan dan jarang terjadi. Di satu sisi, terjadi perbaikan institusi dan implementasi demokrasi di Indonesia. Namun, di sisi lain, terjadi defisit militansi demokrasi. Biasanya pada saat tubuh semakin sehat, manusia menjadi kian percaya diri. Namun, fakta yang terjadi berbeda. Raga demokrasi Indonesia menguat, tetapi jiwanya melemah, kehilangan militansi. Mengapa paradoks ini dapat terjadi?
Jawaban yang paling sederhana adalah kepemimpinan. Saya menafsirkan pesan dalam film Lions for Lambs (2007) yang mungkin dapat menjelaskan situasi ini, "kawanan singa yang dipimpin seekor domba akan merasa dirinya sebagai domba". Pemimpin memengaruhi persepsi masyarakat. Para pekerja yang baik, tanpa pemimpin yang baik, akan kehilangan kepercayaan diri. Mereka kehilangan keyakinan bahwa yang telah dikerjakan adalah benar.
Mencari orang kuat?
Dalam salah satu versi lakon wayang "Semar Gugat" ada kisah tentang Semar yang bijaksana dan setia kepada raja. Saat raja menggunting ikatan rambut di kepalanya, pria bijaksana ini kehilangan kepercayaan diri. Semar menganggap ikatan rambut sebagai simbolisasi kewibawaan raja. Lakon ini membawa kebijaksanaan yang mendalam. Hilangnya kepercayaan diri dapat memicu kehilangan-kehilangan lain yang lebih besar. Demikian juga defisit militansi demokrasi. Hilangnya kepercayaan publik atas demokrasi akan mengancam keberlangsungan demokrasi.
Defisit militansi ini akan memunculkan ancaman dari arah lain, yaitu publik akan merindukan orang kuat untuk menjadi pemimpin mereka. Sebenarnya pada mulanya militansi rakyat untuk demokrasi terbukti dalam bentuk partisipasi politik yang baik. Ini terbukti saat mereka memilih pemimpin dan wakil mereka. Namun, pada proses selanjutnya institusi-institusi demokrasi belum optimal menjalankan fungsi pengawasan atas kinerja pemimpin dan wakil-wakil rakyat ini. Akibatnya, banyak terjadi pengingkaran dan pengkhianatan amanah rakyat. Artinya, rakyat awalnya mempercayai sistem demokrasi secara penuh, tetapi sistem ini dibawa lari oleh elite-elitenya menjauh dari rakyat!
Dalam keadaan seperti ini, rakyat kemudian mencari-cari orang kuat untuk mengejar dan menaklukan sistem demokratis ini untuk mereka. Padahal, yang sesungguhnya harus dibangun adalah mengonsolidasikan rakyat untuk merebut kembali sistem itu. Untuk itu, yang sebenarnya dibutuhkan rakyat adalah pemimpin-pemimpin yang bisa diteladani dan dipercaya untuk membangun kepercayaan diri rakyat membangun sistem. Yang harus dihindari, orang-orang kuat yang kedigdayaannya bisa melampaui sistem dan, pada akhirnya, rakyat itu sendiri.
Multidimensi
Kepercayaan rakyat terhadap demokrasi merupakan faktor kunci bagi keberlangsungan demokrasi. Kenneth Newton (2001) menyatakan "kepercayaan adalah komponen utama modal sosial dan modal sosial adalah kondisi yang diperlukan bagi stabilitas demokrasi". Lalu apa solusinya? Penurunan kepercayaan publik terhadap demokrasi bukanlah penyakit tunggal, melainkan sebuah bentuk komplikasi. Jawaban dari literatur-literatur yang ada umumnya juga berbentuk rangkaian solusi, bukan sebuah solusi tunggal. Tak ada sebuah pil ajaib yang dapat mengatasi komplikasi sendirian.
Dalam hal ini, pendidikan memiliki fungsi strategis. Kesadaran politik akan bahaya orang yang terlalu kuat penting untuk diajarkan. Materi pendidikan sejarah seyogianya tidak hanya berisi kisah-kisah heroisme individu. Pengalaman kelam masa lalu yang bermanfaat bagi masa depan layak untuk dipertimbangkan dalam kurikulum. Bukan Hitler yang membangun kekuatan ekonomi dan militer Jerman yang dijadikan cerita untuk memicu kebangkitan ekonomi Jerman sekarang, melainkan masa lalu kelam dalam perang yang menjadi pendorongnya.
Partai politik semestinya mulai membuka ruang-ruang kerja sama dengan kekuatan ekstra parlementer, seperti LSM dan organisasi-organisasi rakyat, secara intensif. Kerja sama ini sebaiknya tidak hanya berbentuk "dengar pendapat" seperti selama ini, tetapi pembuatan program aksi bersama. Kolaborasi ini pada akhirnya akan memperkuat kepercayaan antar-elemen demokrasi.
Etika politik dan hukum harus ditegakkan. Pejabat yang memberikan informasi palsu dan fitnah serta tata krama yang tidak layak harus diproses. Selama ini penegakan etika politik dan hukum dalam komunikasi politik masih sangat minim. Panggung politik sering kali berubah menjadi pentas yang merendahkan martabat demokrasi.
Transparansi harus diperluas. Ia seyogianya tidak hanya terbatas pada aspek laporan kekayaan pejabat. Calon pemimpin harus dipaksa secara terbuka berani memberikan daftar target capaian program yang disasar sehingga dapat dievaluasi keberhasilannya. Era kepemimpinan normatif harus segera diakhiri. Retorika normatif adalah retorika yang paling rendah nilai sastranya, tetapi paling banyak korbannya karena ia sering diucapkan para pemimpin.
Langkah-langkah ini tidak mudah ditegakkan. Namun, demi keringat, air mata, dan darah yang ditumpahkan demi kebebasan dan kesetaraan itu, mari bergerak meluruskannya dengan militansi demokrasi.
Budiman Sudjatmiko Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan
(Kompas cetak, 20 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar