Abhijit Banerjee (1997) dalam papernya "A Theory of Misgovernance" mengemukakan bahwa birokrasi sebuah pemerintahan sering diasosiasikan dengan beberapa karakteristik (yang negatif), seperti red tape (memiliki serangkaian prosedur yang rumit dan kompleks), korup, dan kekurangan insentif.
Ditambahkan oleh Banerjee bahwa perilaku korup birokrat dan kekurangan insentif itu saling bertalian erat. Oleh karena itu, salah satu jalan keluar untuk mengurangi kemungkinan seorang birokrat melakukan korupsi adalah dengan memberikan insentif yang memadai.
Sebagai contoh kebijakan pemberian insentif adalah di Swedia. Pada abad ke-17 dan 18, Swedia merupakan salah satu negara terkorup di Eropa. Namun, sejak tahun 1970-an, Swedia termasuk ranking teratas negara tidak terkorup di dunia. Kebijakan penambahan remunerasi bagi pegawai negeri di Swedia yang dikombinasikan dengan deregulasi menjadi dasar kemunculan pegawai negeri yang jujur dan kompeten di Swedia akhir abad ke-19 (Lindbeck, 1975).
Remunerasi jadi obat
Lebih kurang logika dari pemikiran Banerjee adalah logika yang mendasari kebijakan remunerasi untuk pegawai negeri sipil (PNS) di Indonesia. Remunerasi pegawai dinilai sebagai "imuni - sa s i " alias obat yang dapat membuat pegawai kebal dari godaan suap, korupsi, dan penyelewengan jabatan lainnya.
Seperti diketahui bersama, sejumlah kementerian telah menerapkan kebijakan remunerasi pegawai. Beberapa kementerian yang menerapkan kebijakan itu selama beberapa tahun antara lain Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung, dan BPK.
Yang membuat miris adalah Kementerian Keuangan yang telah dan lebih dulu mengimplementasikan kebijakan remunerasi ternyata pegawainya justru acapkali tersangkut kasus penyalahgunaan wewenang, seperti suap dan korupsi.
Kasus terakhir adalah tertangkap tangannya dua pegawai Direktorat Jenderal Pajak, yakni Muhammad Dian Irwan Nuqishira dan Eko Darmayanto oleh KPK saat "b e r t r a n sa k s i " suap dengan wakil dari perusahaan The Master Steel di Bandara Soekarno- Hatta.
Penangkapan itu menambah panjang daftar pegawai Dirjen Pajak yang berurusan dengan kasus hukum. Sebelumnya sudah ada nama-nama seperti Gayus Tambunan, Bahasyim Assiffie, Dhana Widyatmika, Tommy Hindratno, dan Pargono Riyadi yang menjadi tangkapan KPK sepanjang 2010-April 2013.
Padahal, data menunjukkan, gaji pegawai Dirjen Pajak termasuk yang terbesar di antara PNS. Berdasarkan penelusuran Kompas.com (3/5), gaji pegawai pajak berkisar Rp 5 juta hingga Rp 30 juta per bulan.
Pegawai level menengah memperoleh gaji Rp 15 juta-Rp 25 juta per bulan, sementara pegawai yang masuk kategori eselon II atau Kakanwil Pajak memperoleh Rp 25 juta-Rp 30 juta per bulan. Jumlah yang diterima oleh pegawai Dirjen Pajak jauh lebih besar ketimbang pendapatan PNS di 20 kementerian/lembaga lain (Rp 2,82 juta-Rp 23,96 juta per bulan) dan pendapatan PNS biasa (Rp 1,26 juta-Rp 4,6 juta per bulan).
Pertanyaannya kemudian, mengapa para abdi masyarakat di bidang pajak itu masih juga tergoda dengan uang tidak sah? Apakah kebijakan remunerasi keliru? Ataukah ada faktor lain yang luput dari perhatian pembuat kebijakan?
Proteksi birokrasi
Hemat penulis, remunerasi tetap menjadi dasar penting untuk memproteksi birokrasi dari mencari penghasilan di luar gaji yang didapat dari negara. Akan tetapi, policy remunerasi harus didukung faktor-faktor lain.
Pertama, penegak hukum yang kredibel dan penegakan hukum yang berefek jera. Jakob Svensson (2005: 33), ekonom senior Development Research Group di bawah Bank Dunia, pernah mengutarakan bahwa remunerasi bisa mengurangi suap dan korupsi, tetapi hanya di bawah kondisi tertentu. Strategi remunerasi memerlukan aparat penegakan (hukum) yang berfungsi baik. Di banyak negara di mana korupsi bersifat kelembagaan, persyaratan penegak dan penegakan hukum mutlak perlu.
Kedua, berkaitan dengan faktor pertama, yaitu adanya punishment and rewards yang efektif dan berhasil guna. Untuk sanksi atau hukuman sebetulnya Dirjen Pajak telah dengan tegas memberhentikan anak buahnya yang "bandel" dari jabatan dan statusnya sebagai PNS. Juga untuk reward s , ada Peraturan Dirjen Pajak Nomor 22 Tahun 2010 yang mengatur soal penghargaan, berupa pemberian sembilan kali gaji apabila bisa membongkar penyimpang pajak oleh sesama rekan di Dirjen Pajak. Selain berupa uang, ada juga kesempatan memperoleh promosi jabatan hingga pelatihan di luar negeri.
Belum jera
Akan tetapi, kelihatannya hu - kuman ini masih belum membuat jera korps pegawai pajak karena mereka masih berpikir untung-untungan. Siapa tahu tidak tertangkap, barangkali itu yang ada di benak mereka. Untuk reward s , pada praktiknya juga tidak mudah karena berkaitan dengan nasib rekan mereka.
Ketiga, pembenahan faktor mental individu birokrat. Sebagus apa pun aturan main, kalau mental dari birokrat masih "se - lalu tidak puas" dengan pendapatan yang didapat, maka aturan itu akan diperlakukan sebagai perangkap yang harus disiasati.
Oleh karena itu, pemerintah dan DPR perlu memikirkan secara serius adanya "r e i m u n i sa s i " alias imunisasi ulang agar para birokrat jadi bermental pelayan masyarakat dan kebal dari godaan birokrasi yang patologis. Dengan demikian, reformasi birokrasi tidak hanya sekadar menjadi slogan dan jargon semata.
IKHSAN DARMAWAN Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
(Kompas cetak, 30 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar