Cari Blog Ini

Bidvertiser

Selasa, 14 Mei 2013

Rumah untuk Rakyat (Tajuk Rencana Kompas)

Laporan utama harian ini mengungkapkan fenomena lonjakan harga rumah di sejumlah kota besar di Indonesia yang kian tak terkendali.
Kenaikan harga yang tak wajar hingga ratusan persen ini mulai memicu kekhawatiran akan gelembung properti dan membuat rakyat kecil kian sulit memiliki rumah. Pengamat properti menilai lonjakan harga ini konsekuensi riil dari tingginya permintaan yang tak dibarengi pasokan, seiring pertumbuhan kelas menengah berdaya beli tinggi.
Permintaan properti residensial tak lagi dilandasi kebutuhan rumah primer untuk ditinggali, tetapi untuk investasi/spekulasi. Akibatnya, banyak rumah kosong tak dihuni. Konsumen boleh memiliki rumah hingga belasan, bahkan ratusan, kalau perlu. Ini ironis dengan realitas 13 juta keluarga yang tak punya rumah di negara ini.
Sangat disayangkan kita cenderung gampang terbuai angka pertumbuhan penjualan dan rekor omzet transaksi yang ratusan triliun rupiah, serta menangkap fenomena ini semata sebagai indikator sukses pembangunan ekonomi.
Kita lupa angka spektakuler itu umumnya menyangkut rumah mewah yang tak akan terjangkau oleh daya beli sebagian besar rakyat. Kita juga menutup mata terhadap indikasi unsur aksi goreng harga yang tak jarang dilakukan oleh pengembang, dengan the sky is the limit.
Kenaikan harga properti mewah mengerek pula harga rumah menengah/sederhana di pinggiran dan pelosok.
Fenomena ini berlangsung sejalan dengan maraknya pelanggaran terhadap hak dasar rakyat akan perumahan. Kita memiliki konstitusi yang tegas mengatur kewajiban negara melindungi, memenuhi, dan menghormati hak dasar rakyat akan tempat tinggal yang layak. Kita juga telah meratifikasi International Covenant on Economical and Social Rights.
Namun, akses rakyat atas rumah justru kian dipersempit dan praktik penggusuran terus terjadi. Pemerintah tak berbuat apa-apa, bahkan tak jarang menjadi aktor pelaku.
Program perumahan bagi rakyat miskin semakin tak terdengar. Kita pernah kenal konsep 1:3:6 era Orde Baru, yang mewajibkan pengembang membangun tiga rumah kelas menengah dan enam rumah sederhana dalam kompleks yang sama setiap membangun satu rumah mewah.
Kebijakan penyediaan rumah rakyat ini ditopang fasilitas bunga murah dan bank khusus. Kita juga pernah punya program perbaikan kampung yang mendapatkan berbagai penghargaan internasional dan banyak program lainnya.
Semua ini wujud keberpihakan yang kini terlupakan di tengah liberalisasi pasar properti. Liberalisasi kebablasan karena kebijakan perumahan justru mempersempit akses rakyat dan belakangan negara cenderung menyerahkan tanggung jawab penyediaan rumah rakyat kepada swasta.
Di AS dan Eropa yang kapitalis pun ada regulasi ketat soal rumah bagi rakyat tak mampu. Di Singapura, 80 persen rumah susun publik dibangun pemerintah. Pembenahan kebijakan sektor perumahan mendesak dilakukan.
(Tajuk Rencana Kompas, 14 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®










Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger