Teroris kembali berlaga. Adegan penggerebekan Densus 88 di Bandung dan Kebumen hingga menewaskan enam terduga teroris menjadi bukti nyata bahwa teroris masih bergentayangan di sekitar kita. Mereka terus mengintai dan mencari kesempatan untuk mengoyak kenyamanan hidup masyarakat.
Kita tidak perlu menutup-nutupi fakta bahwa serangkaian tindakan teroris yang terjadi selama ini menunjukkan model terorisme di negeri kita bermuarakan pada paham keagamaan. Terorisme jenis ini tak mengenal batas-batas wilayah. Dengan militansi yang sangat tinggi, dan keyakinan keagamaan akan kebenaran aksinya, mereka tidak ambil peduli dengan segala bentuk hadangan ataupun perlawanan dari aparat. Tak pelak, di sisi lain, hal ini merupakan fakta tidak henti-hentinya menguatnya tafsir pendangkalan dan penyalahgunaan ajaran keagamaan.
Kecil itu bahaya
Pada umumnya, ular yang beracun atau memiliki bisa yang mematikan bentuknya kecil. Sebaliknya, ular-ular yang berpostur besar, seperti ular piton, tidak mempunyai bisa. Namun, yang namanya ular, gerakannya memang sering tidak terduga. Binatang melata ini, bila menerkam mangsanya, melakukan taktik klandestin dan nyaris tidak terdengar. Tiba-tiba mangsanya sudah terkapar.
Penisbahan itu bolehlah ditujukan kepada gaya aksi kelompok radikal dan teroris. Mereka ini bagai ular berbisa, kecil tetapi berpotensi mengeluarkan racun yang membahayakan. Kalau toh mereka seolah-olah terpampang besar, tentu ada sebabnya. Ya, kelompok radikal sepertinya terekspos besar. Sedikit beraksi, kelompok radikal ini mampu mengisi semua pemberitaan media massa. Bagi teroris, aksi brutal mereka akan dihitung sukses bila membuat masyarakat panik dan media massa terus berburu mengabarkannya.
Dalam sejarah Islam, kelompok radikal ekstrem selalu berada dalam jumlah yang kecil. Sekte Khawarij yang dipandang sebagai kelompok awal munculnya radikalisme dalam masyarakat Islam hanyalah kumpulan kecil orang-orang yang tidak puas. Sebaliknya, justru kelompok yang moderat yang memahami ajaran Islam dengan penuh kedalaman jumlahnya jauh lebih besar sehingga dikenal dengan sebutan sebagai syawadh al-a'dhom.
Kemunculan Wahabi yang melakukan puritanisasi radikal terhadap ajaran Islam sejatinya juga merupakan kelompok minoritas yang banyak menyelisihi pandangan mayoritas ulama dan kaum Muslimin. Pendiri Wahabi, Muhammad bin Abdul Wahab, misalnya, merumuskan konsepsinya tentang thoghut sebagai cap bagi mereka yang tidak berhukum pada hukum Allah. Di negeri-negeri Muslim, banyak yang tidak mendukung pandangan-pandangan Wahabi yang sangat kaku. Begitu pula di Indonesia, jumlah kelompok radikal sebenarnya tidak seberapa banyak. Mereka terlihat besar karena dibesar-besarkan. Padahal, pemahaman Islam garda utama di negeri kita sejak penyebaran awal ajaran Islam di Nusantara sudah membuktikan moderatisme dan akomodasionisme, seperti dilakukan Wali Songo. Artinya, mayoritas Muslim Indonesia berwatak moderat.
Mereka ini memang kecil-kecil cabai rawit. Mungkin sedikit cocok untuk menggambarkan keberadaan kelompok radikal dan teroris. Sejumlah penelitian telah menguak bahwa kelompok yang disebut "inti" di jajaran mereka akan terus melakukan upaya perekrutan dengan mencari mangsa baru, utamanya kalangan anak muda yang sedang limbung. Indoktrinasi ideologi yang mereka tancapkan akan jadi senjata ampuh dalam mencari martir baru. Dari sinilah akan lahir jajaran "militan" yang menjadi andalan utama dalam aksi teror.
Tidak berhenti di situ, akan lahir pula kelompok "simpatisan" yang siap membantu dalam proses menuju aksi teror. Semua upaya dan langkah kelompok radikal dan teroris selalu dilakukan dengan membangun tandzim sirri, organisasi rahasia yang bertebaran dan membentuk beragam model. Konsep ini menjadi alat melakukan perekrutan sebagai bagian dari jihad melawan mereka yang dituding thoghut dan kafir (takfir). Lingkaran radikalisme ini akan selalu terbentuk. Ibarat siklus dalam pembentukan keseimbangan ekosistem, kelompok radikal dan teroris juga terus mengupayakan keseimbangan dalam "ekosistem" pembiakan mereka.
Kelompok-kelompok "kalap" ini terus bermunculan oleh suburnya pemikiran dan gerakan sayap radikal di kalangan Muslim. Penyebaran ideologi radikal kian menyebar dan merasuki generasi muda. Teroris terus membelah diri dalam bentuk sel-sel yang persebarannya kian merata.
Saat ini muncul fenomena terorisme dalam wujud self radicalization, sebentuk radikalisme dari generasi baru yang tak jelas tujuannya. Mereka merekrut dirinya sendiri akibat bacaannya lewat media ataupun internet dengan motivasi simpati terhadap peristiwa yang dipandangnya sebagai ketidakadilan. Kasus bom Boston persis mewakili jenis radikalisme itu.
Di negeri kita, tertangkapnya dua teroris di Benhil dan rontoknya persembunyian teroris di Kebumen dan Bandung disinyalir mereka hendak melakukan pengeboman di Kedubes Myanmar. Ini terkait dorongan rasa simpati atas penderitaan Muslim Rohingya. Sebelumnya, kasus peledakan ATM BRI di Sleman, Yogyakarta, juga mengarah pada tipe self radicalization. Tak berlebihan bila banyak amatan menyebutkan, saat ini dan masa mendatang ancaman yang patut diwaspadai adalah self radicalization, bukan hanya bentuk aksi teror dan ledakan bom.
Partisipasi
Aksi teroris saat ini tampaknya mulai menciut. Pasokan dana adalah hambatan utama bagi mereka untuk beraksi. Mereka kemudian melakukan perampokan (fa'i) dan usaha donasi lain. Begitu pula sumber daya manusianya—setelah kematian Noordin M Top dan Azhari yang dikenal jago membuat bom—juga menipis.
Senjata dan bom yang mereka gunakan juga tak secanggih aksi teror sebelumnya. Generasi baru teroris yang muncul sekarang juga terlihat "lugu", tak secerdik generasi sebelumnya. Kepolisian beserta institusi pemberantasan teroris yang terus menguatkan kebijakan dan strateginya menjadi lawan tak seimbang bagi teroris. Tak heran, bila persembunyian kelompok teroris mudah diendus dan segera dilakukan tindakan penangkapan.
Pemberantasan terorisme model Indonesia lebih mengacu pada soft power, bukan semata hard power. Tindakan pencegahan melalui deradikalisasi seperti rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi lebih diutamakan dibandingkan dengan penindakan. Jelasnya, prinsip pemberantasan terorisme lebih mengarusutamakan supremasi hukum. Penangkapan teroris yang mengakibatkan tewasnya teroris bukanlah pilihan akhir. Tujuan utamanya menangkap hidup-hidup teroris dan kemudian menjebloskannya ke penjara. Pemberantasan teroris juga selalu berpijak pada prinsip indiskriminasi dengan tidak memojokkan pada kelompok tertentu.
Walhasil, bila melihat suburnya radikalisme dan eskalasi ancaman terorisme, niscaya yang perlu dikedepankan lagi adalah prinsip partisipasi, yakni kesadaran dan keikutsertaan masyarakat dalam mewaspadai dan menahan laju radikalisme dan terorisme. Perang melawan terorisme sesungguhnya adalah panggilan bersama.
Said Aqil Siradj Ketua Umum PBNU
(Kompas cetak, 15 Mei 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar