Cari Blog Ini

Bidvertiser

Kamis, 13 Juni 2013

"Chinese Dream" (Anton Sanjoyo)

Anton Sanjoyo

Hari-hari ini, kita sedang menyaksikan bangsa China yang sedang mengejar mimpi. "Chinese Dream", cita-cita itu mula-mula dipopulerkan Presiden Xi Jinping yang bertujuan untuk mengembalikan kebesaran dan kejayaan bangsa China. Dalam sejumlah kesempatan, bahkan sebelum dia diangkat menjadi orang nomor satu, Xi memopulerkan istilah ini sebagai spirit baru China dalam menempatkan dirinya sejajar dengan kekuatan utama dunia.

Debutnya sebagai orang nomor satu China pada November 2012 juga diawali dengan propaganda ini. Katanya, setelah mengalami kehancuran akibat penindasan kolonial selama hampir satu abad, bangsa China harus bangkit dan meraih mimpinya sendiri. Pada Maret 2013 saat berbicara pada Kongres Nasional Partai Komunis China, "Chinese Dream" juga menjadi pidato kuncinya.

Direktur Badan Riset Sejarah Partai Komunis China (CPC) Gao Yongzhong, dalam pertemuan dengan delegasi wartawan Asia Tenggara, mengatakan, saat ini China mengalami transisi kepemimpinan yang mulus. Hal itu bisa terjadi karena bangsa China dipersatukan mimpi yang sama, atau paling tidak dituntun cita-cita kolektif menjadi bangsa yang kuat dengan setiap individu mampu meraih mimpi-mimpinya.

"Kami tidak pernah menghalangi setiap individu untuk meraih cita-cita pribadi untuk hidup lebih baik, lebih kaya, dan bebas mengungkapkan aspirasinya," ujar Gao. "Yang penting, semua itu didasarkan pada kepentingan bangsa dan negara," kata Gao.

Dengan kepemimpinan yang kuat, terutama karena dikawal dengan sangat ketat oleh kekuatan politik partai penguasa (CPC), ide dan cita-cita "Chinese Dream" dipropagandakan kepada masyarakat China yang jumlahnya saat ini sekitar 1,3 miliar jiwa dengan cukup efektif. Disokong kekuatan media yang merupakan corong utama, ide "Chinese Dream" menyebar sampai ke pelosok desa. Sejumlah petani yang ditemui di kawasan pinggiran Beijing mengatakan tentang paham ide "Chinese Dream" meski tidak terlalu fasih menjabarkannya. "Ya, kami akan meraih kehidupan yang lebih baik," ujar Zang sembari mengikat batang-batang daun bawang yang masih segar.

Zang tidak berlebihan. Kawasan yang ditinggalinya sepuluh tahun lalu merupakan daerah miskin, dan petani hidup di rumah bambu yang sangat sederhana. Setelah Partai Komunis China membuka ruang bagi investor, daerahnya kini menjadi tujuan wisata dan dirinya mampu mengelola penginapan bersama 26 keluarga lain. Dengan tarif per orang rata-rata 600 yuan (sekitar Rp 950.000) semalam, dan sebulan rata-rata 500 orang berkunjung, Zang dan kawan-kawan kini hidup berkecukupan. Inilah mimpi China bagi Zang dan kawan-kawannya.

Namun, tentu tidak semua seperti Zang. Liu Shi, pemandu wisata di Shenzhen, agak skeptis dengan "Chinese Dream". Dengan latar belakang keluarga tidak mampu, dia mengatakan, "Chinese Dream" hanya milik orang-orang kaya. "Saya tak punya mimpi. Itu hak orang kaya. Saya hanya ingin belajar bahasa lebih banyak selain bahasa Inggris, pergi dari China dan tidak akan kembali," ujarnya.

Sikap seperti Liu Shi memang tidak haram lagi di China. Gao mengakui, anak muda China sekarang telah terbiasa mengungkapkan pikirannya secara terbuka. Bahkan, keinginannya pergi dari China merupakan hal yang dihormati meskipun tidak diinginkan oleh peta jalan yang dirumuskan CPC. "Semua individu punya hak untuk itu," ujar Gao, yang juga seorang pejabat di CPC.

Peta jalan (road map) "Chinese Dream", kata Gao, diformulasikan dari empat pilar pembangunan China yang dirumuskan lebih dari tiga dekade. Pilar-pilar itu adalah ekonomi, politik, budaya, serta kemasyarakatan dan lingkungan hidup. Kekuatan ekonomi yang tercermin dalam peningkatan produk domestik bruto, stabilitas politik yang kokoh, dan penggalian nilai budaya merupakan pilar pokok yang menopang posisi bangsa China saat ini.

Di bidang kemasyarakatan, China sangat fokus pada perbaikan kualitas hidup masyarakatnya melalui pendidikan dan infrastruktur dasar termasuk fasilitas dan prasarana olahraga. Di Universitas Fang Chenggang yang baru berusia dua tahun, fasilitas olahraga menjadi salah satu infrastruktur wajib yang dibangun pemerintah selain asrama untuk menampung 5.000 mahasiswanya. Terletak di kawasan perbukitan yang asri, mahasiswa Universitas Fang Chenggang menikmati fasilitas lapangan sepak bola berstandar internasional dengan rumput halus bak karpet Turki.

Di sekeliling lapangan sepak bola, peminat olahraga atletik disuguhi lintasan lari layaknya fasilitas olimpiade. Demikian pula penggemar bola basket disediakan lebih dari 10 arena dengan permukaan flexi pave, bahan sintetik yang sangat rata dan halus. Sebuah aula besar yang lebih luas dari Istora Senayan bisa dipakai untuk aneka kegiatan, mulai dari badminton, pingpong, hingga wushu. Saat delegasi wartawan ASEAN menyambangi Universitas Fang Chenggang, aula itu dipenuhi mahasiswa yang berlatih aneka macam olahraga.

Olahraga memang menjadi gaya hidup bangsa China sejak berabad-abad lalu. Tradisi budaya China yang menempatkan kebugaran fisik sebagai salah satu fondasi menjadikan bangsa ini sangat mudah beradaptasi dengan olahraga modern. Sejak awal abad ke-20, mereka mengembangkan bermacam-macam olahraga Barat dan tetap mempertahankan olahraga tradisional dengan sangat baik.

Mimpi China di dunia olahraga prestasi sebenarnya sudah terwujud jauh sebelum Xi Jinping menjadi presiden. Sejak Olimpiade Barcelona 1992, China masuk jajaran kekuatan utama dunia bersama Amerika Serikat dan Rusia. Bahkan, pada tahun 2008 ketika Beijing menjadi tuan rumah, China menempatkan diri sebagai super power olahraga nomor wahid, menggusur AS dari singgasananya. Meski pada Olimpiade London 2012 China turun ke peringkat kedua, kekuatan mereka sudah sangat merata dan terutama mampu mendominasi cabang olahraga akuatik.


(Kompas cetak, 13 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger