Masih banyaknya curah hujan di wilayah Indonesia hingga Juni 2013 menimbulkan tanda tanya besar dari sejumlah kalangan. Terutama, petani dan pihak-pihak yang secara langsung terkait terhadap perubahan musim.
Indonesia bagian selatan (Lampung-Nusa Tenggara) paling merasakan dampaknya. Sebab, salah satu puncak musim kemarau, selain Juli dan Agustus, juga terjadi pada Juni. Wilayah itu disinyalir mengalami kerugian cukup signifikan akibat kekacauan pola tanam dan kegagalan panen komoditas lahan kering yang peka terhadap surplus air.
Anomali iklim yang mengarah kepada kemarau basah sebenarnya muncul sejak pertengahan Mei lalu. Jika normal, seharusnya sejak Mei sebagian besar wilayah Indonesia memasuki kemarau. Curah hujan tinggi yang terjadi selama periode itu mengakibatkan periode musim hujan 2012/2013 di sejumlah wilayah di Indonesia menjadi lebih panjang dibandingkan rata-rata.
Analisis klimatologis dinamika atmosfer-lautan menunjukkan, peningkatan hari hujan dan curah hujan di atas normal merupakan dampak hangatnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia. Hingga awal Juni, tercatat suhu permukaan laut di wilayah Indonesia mencapai 29-31 derajat celsius dengan anomali 1-2 derajat celsius. Artinya, ketersediaan uap air di atmosfer Indonesia sangat melimpah sehingga pembentukan awan dan hujan cukup intensif.
Hangatnya suhu permukaan laut wilayah Indonesia, seperti sekarang ini, tak dapat dipisahkan dari fenomena iklim di kawasan Samudra Hindia bagian barat. Adalah Dipole Mode Index (DMI) negatif, yaitu suatu indeks yang digunakan untuk mendeteksi pendinginan suhu permukaan laut di perairan sebelah timur Afrika yang prosesnya bersamaan dengan memanasnya suhu permukaan laut di perairan sebelah barat Sumatera-Jawa.
Hingga awal Juni, DMI negatif tercatat -0,53, menyusul akhir Mei -0,61, yang artinya aliran massa udara global bergerak dari Samudra Hindia bagian barat ke wilayah Indonesia. Penambahan suplai uap air yang hangat dan lembap inilah yang telah memengaruhi cuaca musim kemarau di sejumlah wilayah di Indonesia bagian barat jadi basah.
Adapun identifikasi El Nino Southern Oscillation (ENSO) melalui pantauan anomali suhu permukaan laut di Nino 3,4 (Samudra Pasifik bagian tengah) menunjukkan kondisi normal (+0,03) hingga Mei 2013. Artinya, hingga kini tak terjadi fenomena La Nina meski sinyal kehadirannya terdeteksi lewat pendinginan suhu permukaan laut di Nino 1 dan 2 (Samudra Pasifik bagian timur) dengan anomali mencapai 2 derajat celsius.
Kemunculan fenomena DMI negatif tahun ini tak diduga sebelumnya oleh institusi meteorologi dunia, seperti Jamstec (Jepang), BoM (Australia), ataupun BMKG. Tak seperti fenomena iklim La Nina yang mempunyai siklus rata-rata empat tahun, DMI negatif punya siklus lebih lama, yaitu sekitar lima tahun.
Perubahan sangat cepat dari kondisi normal pasca-DMI negatif 2010 menjadi DMI negatif 2013 praktis membuat prakiraan yang dikeluarkan institusi meteorologi dunia tidak akurat karena prediksi sebelumnya normal hingga akhir 2013. Sampai sekarang, penyebab DMI negatif belum diketahui secara pasti. Namun, menurut banyak pihak, hal itu berkaitan dengan pemanasan global meski hasil riset belum cukup untuk membuktikannya.
Prediksi
Sebagian besar institusi meteorologi dunia memprediksi, hingga Oktober 2013 kondisi ENSO masih akan berlangsung normal, kecuali BoM memprediksi mulai Juni 2013 terjadi La Nina lemah. Analisis klimatologis tren penjalaran suhu permukaan laut ke arah barat memungkinkan pendinginan suhu di Samudra Pasifik bagian timur dapat mencapai Nino 3,4 menjelang musim hujan 2013/2014. Akibatnya, awal musim hujan di sebagian besar wilayah Indonesia berpotensi maju (lebih cepat) dibandingkan normalnya. Sementara itu, prediksi DMI oleh BoM memperlihatkan kecenderungan DMI negatif hingga Oktober 2013.
Suhu muka laut di wilayah Indonesia bagian barat yang hangat secara meteorologis dapat memicu pertumbuhan vortex atau pusaran angin di Samudra Hindia sebelah barat Sumatera atau di selatan dan utara Jawa. Aktivitas vortex di perairan ini mengakibatkan konvergensi atau perlambatan kecepatan angin di wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan sehingga berpotensi menghasilkan awan hujan. Dampaknya terhadap iklim adalah meningkatnya curah hujan dan hari hujan selama musim kemarau sehingga curah hujan di atas normal.
Fenomena kemarau basah 2013 boleh jadi akan mirip dengan kemarau basah 2010 karena kondisi iklimnya hampir sama. Bedanya, kemarau basah 2010 dipengaruhi DMI negatif dan La Nina kuat yang muncul hampir bersamaan.
Sigit Hadi Prakosa Analis dan Forecaster Cuaca Iklim BMKG
(Kompas cetak, 27 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar