Cari Blog Ini

Bidvertiser

Jumat, 07 Juni 2013

Hak atas Hutan dan Masyarakat Adat (Wimar Witoelar)

Oleh Wimar Witoelar

Bagi sebagian terbesar penduduk Indonesia yang hidupnya dibatasi oleh wilayah-wilayah perkotaan, hutan terasa sangat jauh.

Sering dikagumi dan dihargai, tetapi sebenarnya tidak betul-betul dimengerti dari segi peran dalam hidup sehari-hari. Sesungguhnya hutan merupakan inti dari masa depan bangsa dan kesejahteraan generasi mendatang. Dalam hutan tersimpan kekayaan alam. Hutan mengurangi emisi karbon dan efek rumah kaca sehingga membantu meredam perubahan iklim.

Karena itu, marilah kita mensyukuri kejutan positif pada tanggal 16 Mei 2013, ketika suatu putusan bersejarah Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hak negara atas hutan milik adat seluas jutaan hektar yang selama ini menjadi habitat masyarakat adat dan komunitas lokal. Putusan ini mengembalikan hak untuk mengelola hutan mereka.

Klaim pemerintah yang sekarang dinyatakan tidak sah tertanam dalam Undang-Undang Kehutanan Nomor 11 Tahun 1999 yang menggolongkan hutan adat ke dalam hutan negara. Ini memberikan kewenangan kepada pemerintah pusat atas hutan-hutan negara kita. Kementerian Kehutanan sampai saat ini berkuasa memberikan izin untuk menebang kayu, menumbuhkan perkebunan, dan untuk pertambangan meski tanah-tanah hutan itu sebelumnya dikelola turun-temurun oleh penghuninya.

Alih fungsi

Perusahaan besar sering mendapat izin mengonversi hutan-hutan milik masyarakat adat untuk penebangan, kelapa sawit, dan pertambangan. Pengalihan fungsi hutan ini menjadi penyebab terbesar konflik antara pemerintah dan masyarakat lokal. Karena itu, keputusan MK atas permohonan uji materi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sungguh melegakan. Pihak AMAN memperkirakan, 40 juta masyarakat adat kembali menjadi pemilik sah dari hutan-hutan adat kita.

Putusan ini merupakan pukulan bagi Kementerian Kehutanan yang selama puluhan tahun mendapatkan revenue besar dari hutan. Memang sampai saat ini belum jelas bagaimana implikasi nyata keputusan historis dari MK ini, tetapi seorang pejabat di Kementerian Kehutanan sudah menyatakan bahwa wilayah hutan adat itu jauh lebih kecil dari perkiraan 40 juta hektar dan pelaksanaan keputusan itu butuh waktu bertahun-tahun.

Yang pasti, keputusan itu memperkuat masyarakat adat dalam mediasi dan dalam proses hukum di pengadilan mengenai kasus tanah. Hal ini akan mengurangi kriminalisasi yang sembarang terhadap masyarakat adat. Pada jangka panjang, putusan MK akan mengurangi konflik atas pengelolaan hutan yang sekarang melibatkan hampir 20.000 desa di seluruh Indonesia.

Banyak yang tak merasa bahwa masalah tanah adalah salah satu penyebab terbesar konflik, disusul agama dan etnis. karena itu, masuk akal ketika Abdon Nababan dari Aman mengatakan bahwa keputusan ini mengembalikan rasa kebangsaan dan kepemilikan masyarakat adat. Negara tak bisa mengusir masyarakat adat dari hutan adat yang menjadi sumber kehidupan mereka.

Deklarasi

Pada 27 Mei 2013, AMAN meluncurkan deklarasi dan petisi untuk ditandatangani masyarakat Indonesia. Tiga titik berat petisi adalah: 1) Mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera melaksanakan keputusan MK, termasuk penyelesaian konflik hutan adat dan sumber daya alam di wilayah-wilayah milik masyarakat adat. 2) Mendesak Presiden memberikan amnesti kepada masyarakat adat yang terlibat proses hukum atau diputuskan bersalah menurut UU No 41/1999 mengenai Hutan. 3) Mendesak diterbitkannya undang-undang perlindungan dan pengakuan hak masyarakat adat.

Hutan adalah sumber kehidupan Indonesia. Menurut suatu studi tahun 2007 oleh Bank Dunia, Indonesia menjadi negara penghasil gas rumah kaca ketiga terbesar setelah AS dan China, terutama karena kerusakan hutan dan tanah gambut. Dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia, dampak lingkungan tak selalu diperhitungkan.

Kini, Presiden SBY sedang berusaha mengurangi pengaruh buruk masterplan tersebut. Konsep green economy akan dimasukkan sebagai bagian dari rencana pembangunan arus utama. Tahun 2009, Presiden menargetkan pengurangan emisi karbon minimal 26 persen pada 2020. Pada 2011, Presiden memberlakukan moratorium dua tahun terhadap pengolahan fungsi hutan yang diperkuat oleh perjanjian bernilai 1 miliar dollar dengan Pemerintah Norwegia.

Pada 16 Mei 2013, SBY menandatangani Keputusan Presiden untuk memperpanjang moratorium selama dua tahun lagi. Mengembalikan hutan adat kepada pemiliknya yang sah jelas merupakan langkah yang benar dalam arah yang benar.

Deklarasi untuk Hutan Adat 27 Mei 2013 merupakan wujud pekikan rakyat menyusul keputusan MK.

WIMAR WITOELAR Konsultan Komunikasi Ekonomi Hijau

(Kompas cetak, 7 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Powered By Blogger