Perempuan sedang menjadi isu paling panas. Di tengah upaya meningkatkan peran perempuan dalam politik, media disesaki oleh sensasi para perempuan di sekeliling tokoh politik yang terseret kasus korupsi. Kesan yang ditimbulkan seolah semua hal tentang perempuan adalah negatif.
Ini sebangun dengan komentar seorang politikus di media massa, keterlibatan perempuan dalam politik bisa positif, bisa negatif. Seolah keterlibatan pria sudah pasti positifnya. Sama sekali tidak sadar bahwa ia sedang berkomentar di tengah banjir berita politisi pria yang korupsi dan mempertontonkan ketidaksetiaan rumah tangga, mempermalukan keluarga, merendahkan martabat politisi, dan menghancurkan partainya sendiri. Politikus itu dari partai yang mengaku sangat memuliakan perempuan.
Upaya mendiskreditkan
Isu mengenai perempuan yang berhubungan dengan politik, meskipun hanya dalam pengertian sebatas berhubungan dengan tokoh politik, barangkali lebih tepat lagi sebagai korbannya saja, dapat berimbas langsung pada persoalan peran perempuan dalam politik.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang mengatur tentang 30 persen kuota perempuan dalam pemilihan legislatif kembali dipersoalkan dengan berbagai cara. Ketentuan ini sudah tak bisa diubah lagi. Namun, upaya mendiskreditkan perempuan tak pernah berhenti. Dimulai dengan keluhan yang bersifat klasik. Sulit memenuhi kuota karena keterbatasan jumlah yang mau, yang mampu, yang dapat izin suami, hingga cara perempuan berkampanye yang dituding monoton dan tidak kreatif.
Dalam konteks ini, tidak pernah disinggung kewajiban partai yang seharusnya memiliki mekanisme dan kemampuan yang cukup untuk memenuhi tuntutan undang-undang. Partai harus berperan aktif dan mampu mempersiapkan kaum perempuannya sebesar semangat untuk memenangkan pemilu. Tanpa keluhan.
Keluhan yang muncul lebih banyak mengesankan keengganan memenuhi aturan yang telah disepakati secara kolektif politik, di mana partai politik telah mengambil peran penuh dalam prosesnya, yang disebut undang-undang. Dengan kata lain, dapat digunakan kalimat masih ada partai yang terkesan terpaksa menerima kenyataan tak terhindarkannya peran signifikan perempuan dalam politik Indonesia.
Hanya satu dalam tiga
Pembahasan mengenai pentingnya kehadiran atau keterwakilan perempuan dalam politik (politics of presence) atau perimbangan jumlah penduduk dan kepentingan domestik kesejahteraan ibu, anak, dan keluarga serta peran ideal lainnya yang berimbas langsung pada pembangunan negara bangsa (politic of ideas), barangkali sudah cukup dibahas hingga tak perlu lagi meyakinkan orang mengenai pentingnya peran perempuan dalam politik lokal dan nasional.
Namun, tidak demikian dalam mengawal terwujudnya hal itu di parlemen. Perempuan harus berjuang habis-habisan seolah pengertian itu tak cukup berpengaruh dalam berbagai pembahasan penguatan peran perempuan parlemen. UU No 8/2012 yang menjadi dasar Pemilu 2014 akhirnya hanya mewajibkan daftar bakal calon anggota DPR dan DPRD memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan (Pasal 55).
Kuota ini bukan hal baru karena penerusan dari UU No 12/2003 (Pasal 65) yang menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu 2004. Dapat dianggap ketinggalan untuk penyelenggaraan Pemilu 2014 karena tidak mengikuti perkembangan perimbangan jumlah penduduk, yang menurut catatan Badan Pusat Statistik, berdasarkan Sensus Penduduk 2010, terdapat 119.630.913 laki-laki dan 118.010.413 perempuan, atau seks rasio 101 (101 laki-laki untuk 100 perempuan, merata di semua provinsi dengan terendah 94 di NTB dan tertinggi 113 di Papua).
Bila dilihat dari jumlah penduduk usia kerja (15 tahun ke atas) perimbangannya menjadi 84,3 juta laki-laki dan 84,7 juta perempuan. Kuota 30 persen belum ideal. Itu pun, para perempuan politik harus terus-menerus berjuang memperkuat dan mengawal agar tercantum dalam UU No 8/2012.
Bakal calon ini diajukan partai politik peserta pemilu berdasarkan hasil seleksinya sendiri (Pasal 51 Ayat [1] dan [2], Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012), yang mengindikasikan kebebasan penuh partai politik mempersiapkan atau melakukan pengaderan perempuan. Suatu keputusan politik penting yang mengubah perempuan dari obyek suara pemilih menjadi subyek pemeran politik kepentingan partai. Keluhan menjadi sangat tidak relevan karena memajukan perempuan menjadi ikhtiar keberhasilan partai politik peserta pemilu.
Belum ideal
Namun, untuk menjamin keterpilihan para bakal calon perempuan berdasarkan daftar urut, masih diperlukan ketentuan UU sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 56 Ayat (2), terdapat sekurangnya satu perempuan dalam tiga bakal calon. Hal yang semestinya cukup berdasarkan kesadaran partai. Ini pun belum seideal yang diperjuangkan, daftar urut bakal calon lebih baik berselang-seling.
Setelah semua perjuangan itu, kesibukan selanjutnya adalah pengawalan dan penguatan. Ini semua tiba-tiba tenggelam oleh badai pemberitaan sensasi perempuan di pusaran korupsi politisi laki-laki, yang cenderung menempatkan perempuan sebagai obyek, gula-gula, negatif, dan politik. Membias semua yang positif, memberikan tekanan pada perjuangan kaum perempuan. Perempuan akhirnya selalu ditempatkan pada posisi dalam ujian. Berlipat ganda pada mereka yang sedang menjadi korban. Tentu, selalu ada pihak yang diuntungkan oleh hal ini.
GKR Hemas Wakil Ketua DPD RI
(Kompas cetak, 7 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar