Dari luapan kehadiran massa hari Minggu kemarin di Taman Makam Pahlawan, segera terlihat jelas sosok, peran, ketokohan, dan jangkauan pergaulan Taufiq sebagai nasionalis sejati, politisi dan tokoh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Kepergian Ketua MPR untuk masa bakti 2009-2014, yang meninggal hari Sabtu lalu di Singapura, itu telah menyatukan berbagai kalangan, yang mungkin secara politik dan kepentingan berbeda. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sendiri memimpin upacara pemakaman.
Sejak Taufiq mengalami kondisi kritis di rumah sakit Singapura, media terus menyiarkannya. Media benar-benar menjadi amplifier, pengeras suara, terhadap sosok yang diliputnya. Masuk akal jika media dalam berbagai platform menggaungkan kepergian Taufiq sebagai ketua MPR dan politisi senior dengan terus menempatkan relevansi ketokohan dan kiprahnya dalam kepentingan pembangunan bangsa dan negara.
Seperti kepergian banyak tokoh lainnya yang tidak hanya menimbulkan kedukaan, kepergian Taufiq, yang lahir 31 Desember 1942, juga memutar kembali bentangan pergulatan dan perjuangan politiknya. Dalam sejarah kontemporer Indonesia, Taufiq tidak termasuk politisi dalam kategori orator yang dapat membakar emosi massa dari podium yang tinggi. Kehebatannya justru di luar podium, yang mampu bergerak luwes meredam pertentangan politik, melakukan rekonsiliasi, melalui pendekatan pribadi.
Kelenturan Taufiq dalam melakukan manuver politik sebagai seni berkemungkinan, the art of the possible, sering dikontraskan dengan pendekatan istrinya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri, yang terkesan berpijak dalam keteguhan prinsip dan ideologi. Perbedaan pendekatan politik itu dalam realitasnya justru saling mengisi dan memperkuat. Taufiq dapat disebut pawang politik yang mampu menjinakkan dan meredam ketegangan dalam persoalan internal partai maupun dalam urusan eksternal. Tidak kenal lelah dalam membangun komunikasi.
Semangat tidak cepat menyerah itu diperlihatkan Taufiq secara mencolok dalam memperkuat semangat keindonesiaan, yang mengacu pada Pancasila, UUD 1945, kebinekaan, dan kesatuan, yang disebutnya empat pilar. Dorongan semangat itu pula yang membawa Taufik, yang dalam kondisi kesehatan rapuh, bersama Wakil Presiden Boediono menghadiri Hari Lahir Pancasila 1 Juni di Ende, Flores, tempat pengasingan Bung Karno (1934-1938).
Upaya dan perjuangan Taufiq dalam menegakkan Pancasila, UUD 1945, kebinekaan, dan negara kesatuan tentu saja semakin relevan dan penting di tengah kegamangan bangsa dan negara menghadapi arus perubahan begitu cepat dan serempak. Lebih-lebih semakin terlihat godaan menyesatkan yang ingin membelokkan haluan negara.
****
(Tajuk Rencana, 10 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar