Pembahasan RUU Pilkada antara pemerintah dan DPR belum menemukan titik temu, di antaranya mengenai mekanisme pemilihan kepala daerah.
Semula pemerintah mengusulkan gubernur dipilih oleh DPRD, sedangkan bupati dan wali kota dipilih melalui pemilu. Kini pemerintah berubah pikiran: gubernur dipilih melalui pemilu, tetapi bupati dan wali kota dipilih oleh DPRD.
Tujuh fraksi berpandangan semua kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih melalui pemilu, sedangkan tiga fraksi mendukung usul pemerintah. Mengapa kepala daerah dan wakil kepala daerah daerah otonom provinsi, dan kepala daerah dan wakil kepala daerah daerah otonom kabupaten/kota harus dipilih melalui pemilu?
Pasal 18 Ayat (4), yang mengamanatkan kepala daerah provinsi dan kepala daerah kabupaten/kota dipilih secara demokratis, haruslah dipahami dalam kerangka desain kelembagaan negara berdasarkan UUD 1945. Khususnya tentang bentuk negara, susunan negara, bentuk pemerintahan, sistem pemerintahan daerah, dan proses pemilihan penyelenggara negara lembaga legislatif dan eksekutif, baik pada tingkat nasional maupun daerah. Pemahaman itu perlu dilakukan untuk membangun suatu negara yang menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan berdasarkan UUD.
Bentuk negara Indonesia adalah republik sehingga kepala negaranya disebut presiden. Selain bentuk negara yang republik, RI juga mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial sehingga presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih oleh rakyat melalui pemilu.
Menurut UUD 1945, tidak hanya presiden dan wakil presiden yang dipilih oleh rakyat melalui pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, tetapi juga anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Susunan negara RI adalah negara kesatuan, tetapi menjamin otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom provinsi dan daerah otonom kabupaten/kota. Karena presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih melalui pemilu, dan karena anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota juga dipilih melalui pemilu, maka kepala daerah otonom provinsi dan kepala daerah otonom kabupaten/kota juga harus dipilih melalui pemilu.
Jelas merupakan tindakan yang tak konsisten dengan bentuk pemerintahan presidensial kalau kepala daerah dipilih oleh anggota DPRD. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD lebih tepat diterapkan dalam bentuk pemerintahan parlementer. Sebab, kepala pemerintahan nasional dalam negara seperti ini juga tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh parlemen.
Jika UUD telah menggariskan keanggotaan DPRD dipilih oleh rakyat melalui pemilu, maka kepala daerah sebagai mitra DPRD dalam mengatur dan mengurus urusan pemerintahan yang jadi kewenangan daerah otonom haruslah juga dipilih rakyat secara langsung melalui pemilu. Lebih tidak konsisten lagi kalau kepala daerah suatu jenis daerah otonom dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, sedangkan kepala daerah jenis daerah otonom lainnya dipilih oleh DPRD.
Berdasarkan Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945, penyelenggaraan pemilihan umum merupakan urusan pusat (dalam hal ini KPU), dan karena itu anggaran pemilu bersumber dari APBN. Karena pemilihan kepala daerah juga termasuk pemilu, maka biaya penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah haruslah bersumber dari APBN.
Salah satu tugas Mahkamah Konstitusi (MK), menurut Pasal 24C Ayat (1), adalah memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Karena perselisihan hasil pemilu kepala daerah juga merupakan perselisihan hasil pemilu, maka tidak bisa lain MK-lah yang harus memutus perselisihan hasil pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kalau pembuat undang-undang konsisten dengan desain kelembagaan negara menurut UUD 1945, maka segala improvisasi dan coba-coba hendaknya dihindarkan.
Penuh masalah?
Dua alasan dikemukakan pemerintah untuk mendukung usulnya agar kepala daerah provinsi dipilih oleh DPRD. Pertama, jumlah urusan otonomi lebih banyak di kabupaten/kota daripada di provinsi. Kedua, selain sebagai kepala daerah provinsi, gubernur juga akan diberi kewenangan sebagai wakil pusat di daerah. Karena itu, pemilihan gubernur oleh DPRD tidak hanya lebih tepat, tetapi juga lebih efisien.
Kedua argumentasi ini mengandung sesat berpikir. Kalau jumlah urusan provinsi sedikit, maka solusi atas permasalahan ini bukan di UU Pilkada, melainkan di UU Pemerintahan Daerah, yaitu menambah urusan daerah otonom provinsi. Alasan yang menyangkut wakil pusat juga tidak tepat karena dua hal. Pertama, yang memberikan kewenangan kepada gubernur untuk juga berperan sebagai wakil pusat di daerah bukan UUD, melainkan UU Pemerintahan Daerah. Kedua, pemberian tugas tambahan kepada kepala daerah provinsi tidak dapat menjadi alasan untuk mengubah mekanisme pemilihan dari pemilu menjadi pemilihan oleh DPRD.
Pemerintah juga berpandangan, pemilihan bupati dan wali kota tidak melalui pemilu, tetapi oleh DPRD karena terlalu banyak permasalahan dalam pemilihan bupati dan wali kota melalui pemilu. Dicontohkan: terlalu mahal, sering terjadi kekerasan, dan terlalu banyak gugatan hasil pilkada ke MK.
Pilkada mahal? Efisiensi dalam pembiayaan penyelenggaraan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat diwujudkan melalui pemilu lokal serentak. Pemilu anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota diselenggarakan pada hari/tanggal, jam, dan TPS yang sama dengan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah provinsi dan kepala daerah dan wakil kepala daerah kabupaten/kota. Penghematan ini tidak saja terjadi dalam honorarium petugas KPPS, PPS, dan PPK, tetapi juga dalam sektor pengeluaran lainnya dari tiga kali menjadi satu kali pemilu lokal.
Pemilu lokal serentak justru akan mengurangi biaya kampanye karena kampanye akan diselenggarakan oleh koalisi dua atau tiga partai politik untuk pemilu anggota DPRD dan pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengeluaran kampanye yang paling besar selama ini bukan untuk pembiayaan berbagai bentuk kampanye yang sah berdasarkan UU, melainkan untuk "sewa perahu" agar dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik, dan membeli suara pemilih secara langsung ataupun melalui perantara.
Petahana cenderung menggunakan jabatan untuk kampanye pribadi? Dalam pemberitaan media, telah terungkap setidaknya ada dua modus yang digunakan petahana untuk kepentingan kampanye pribadinya, yaitu dana bantuan sosial dan bantuan pembangunan desa. Pengaturan mengenai hal ini tidak sepenuhnya terletak pada UU Pilkada, tetapi juga pada peraturan perundang-undangan lainnya.
Asumsi yang hendaknya dipegang bukan "manusia pada dasarnya baik" sehingga tidak perlu diatur, melainkan "apa pun latar belakangnya, manusia itu dapat berbuat baik tetapi dapat pula berbuat buruk". Karena itu diperlukan pengaturan untuk mendorong kecenderungan baik dan mencegah kecenderungan buruk.
Pelaksanaan demokrasi harus berpedoman pada hukum. Pengaturan mengenai tata cara penggunaan bantuan sosial dan alokasi anggaran pembangunan harus dirumuskan secara lebih rinci sehingga mampu mendorong perilaku baik petahana dan mencegah perilaku buruk petahana.
Timbulkan kekerasan?
Kekerasan di beberapa daerah tidaklah seluruhnya berkaitan dengan pilkada. Setidaknya ada dua hal dapat dikemukakan mengenai fenomena kekerasan di beberapa daerah.
Pertama, berbagai ketegangan akibat adanya kesenjangan antarmasyarakat senyatanya karena masyarakat kurang mendapat saluran yang memadai dari berbagai lembaga yang seharusnya berperan. Partai politik yang memiliki kursi di DPR dan DPRD sebagai representasi politik formal (mereka terpilih melalui pemilu untuk mewakili warga masyarakat) itulah yang seharusnya menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat tersebut. Hal yang merisaukan adalah partai politik merasa tidak bersalah setiap kali terjadi kekerasan politik di daerah.
Kedua, pemilu merupakan konflik yang dilembagakan. Artinya, prosedur dan aturan main persaingan antara pihak yang berupaya keras mendapatkan dan pihak lain yang berupaya keras mempertahankan kursi/jabatan diatur secara lengkap, jelas, dan konsisten berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, transparan dan akuntabel.
Pemilu yang diatur dengan UU seperti inilah yang disebut pelembagaan konflik. Pelembagaan konflik seperti ini dimaksudkan tidak saja untuk mendapatkan calon terpilih, tetapi juga agar persaingan itu berlangsung damai tanpa kekerasan. Satu atau lebih aspek pelembagaan ini yang mungkin belum efektif mencegah kekerasan.
Pengajuan gugatan terhadap hasil pilkada kepada MK hendaklah dilihat sebagai kesediaan masyarakat menyelesaikan perselisihan hasil pemilu secara beradab (hukum), bukan dengan kekerasan. Oleh karena itu, jumlah gugatan terhadap hasil pilkada tidak dapat diartikan sebagai kelemahan, tetapi suatu fenomena positif.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
(Kompas cetak, 24 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar