Rasa haru selalu muncul ketika membicarakan nasib wayang. Pengakuan UNESCO atas wayang sebagai world heritage adalah penghiburan bagi kita, di tengah berbagai ironi yang mengepung kehidupan wayang.
Selalu ada paradoks dalam eksistensi wayang. Di satu sisi, wayang dilestarikan agar tetap eksis. Di sisi lain, terjadi "pembekuan" berupa 'politik pembiaran' atas keterdesakan wayang.
Bangsa kita meyakini wayang memiliki fungsi (1) spiritual: terkait sistem keyakinan atas hubungan vertikal (2) budaya: sumber inspirasi nilai dan (3) sosial: perekat masyarakat.
Namun, wayang dibiarkan bertarung sendirian melawan budaya global. Dalam pertempuran yang sangat tidak seimbang itu, wayang terdesak ke pinggiran. Sementara budaya massa dan budaya global yang dipompa kekuatan modal, teknologi dan jaringan kuat, justru diberi ruang melucuti memori dan keyakinan publik atas budaya lokal.
Meskipun secara retorik negara mengaku menjunjung budaya, ternyata proteksi masih kurang untuk budaya lokal termasuk wayang, baik dalam bentuk regulasi maupun politik anggaran. Berbagai keluhan nyaring kita dengar, betapa negara sangat 'kikir' memberi anggaran untuk melestarikan dan mengembangkan wayang.
Oleh karena itu, sangat mengharukan melihat keteguhan, kegigihan kerja keras para pelaku wayang mempertahankan dan mengaktualisasi nilai-nilai tradisi dalam segala keterbatasan.
Negara abai
Para penyelenggara negara (legislatif, eksekutif dan yudikatif) masih terjebak dalam pola pikir pragmatis, apa yang berguna itulah yang dianggap benar. Maka, mereka cenderung memprioritaskan langkah-langkah beraroma material (uang). Wayang yang tidak secara langsung memberi manfaat, diabaikan.
Para penyelenggara negara lupa, budaya (termasuk wayang) adalah investasi nilai-nilai suatu bangsa. Nilai-nilai bekerja membentuk perilaku, berbasis etika-moral dan etos, dan melandasi perkembangan peradaban.
Budaya lokal, termasuk wayang, dipuja-puja dalam retorika, namun setelah itu dilupakan. Praktik-praktik kenegaraan, cenderung menguntungkan budaya global yang sangat kapitalistik. Mereka bukan bertindak sebagai negarawan, melainkan lebih sebagai mediator kekuatan asing. Mereka baru mencak-mencak ketika kekayaan budaya lokal diklaim oleh bangsa asing.
Kita membutuhkan para pemimpin yang memiliki visi kebudayaan. Visi yang meletakkan ide-ide, nilai-nilai lokal dan berbagai tradisi yang tumbuh dan berakar di bumi sendiri sebagai pijakan penting dalam mengarungi kehidupan modern yang serba pragmatis. Kita tidak membutuhkan pemimpin yang terobsesi pada pencitraan diri.
Generasi muda dan inovasi
Kreativitas dan inovasi dalam tradisi wayang tidak pernah mandek. Para dalang, para kreator wayang sebenarnya gigih menciptakan berbagai terobosan agar wayang hadir secara aktual dan relevan dengan tantangan zaman. Ada wayang ukur, wayang wahyu, wayang kancil, wayang digital, wayang layar lebar, wayang pakeliran padat, wayang suket, wayang padi, wayang srawung dan lainnya.
Seluruh upaya kreatif itu merupakan kerja keras kulural demi mendekatkan wayang kepada publik, terutama generasi muda. Sebab wayang bisa bertahan hidup jika memiliki pemangku kepentingan yang besar dan kuat.
Generasi muda umumnya hidup dalam masa pertumbuhan dan pencarian identitas diri. Generasi ini secara sosial-dan kultural dapat dibedakan menjadi tinggal di desa dan di kota.
Mereka yang tinggal di desa cenderung lebih dekat dengan budaya tradisional/budaya lokal. Sebaliknya yang tinggal di kota cenderung lebih dekat budaya massa/budaya populer.
Wayang, sebagai bagian dari budaya lokal, relatif dekat dengan generasi muda yang tinggal di desa. Sejak kecil mereka akrab dengan narasi, tokoh dan pesan sosial wayang. Mereka relatif masih berasa di dalam kultur dan tradisi wayang.
Kondisinya berbeda dengan generasi muda yang tinggal di kota. Mereka lebih menyukai narasi-narasi, ikon-ikon dan sensasi-sensasi budaya massa yang digelontorkan oleh kekuatan modal, tekonologi informasi dan jaringan ekonomi yang kuat. Bagi mereka wayang justru kultur asing yang tidak dipahami. Budaya massa, pragmatisme dan hedonisme. Generasi muda ini pada umumnya berjarak dengan wayang karena beberapa faktor.
Pertama, bahasa yang digunakan di dalam wayang dianggap terlalu canggih, rumit, dan bertakik-takik sehingga sulit dipahami. Bahasa wayang baik sebagai alat komunikasi sosial maupun sebagai cara berpikir (berfilsafat) dianggap terlalu berat.
Kedua, cerita dan pesan sosial dalam pergelaran wayang cenderung berat (penuh renungan atau bobot filosofis) untuk diserap, dipahami dan dihayati. Bahkan muncul anggapan bahwa lakon dan pesan wayang hanya untuk para orang tua.
Ketiga, pertunjukan wayang, terutama yang konvensional, dianggap kurang menarik dan kurang sensasi audio-visualnya.
Keempat, durasi wayang yang terlalu lama, lebih dari lima jam, kurang sesuai dinamika ketergesaan masyarakat modern.
Kelima, frekuensi pergelaran wayang yang masih rendah menyebabkan wayang kurang berdaya dalam merebut ruang dan perhatian anak muda. Bandingkan misalnya dengan pergelaran musik pop, lawak, sinetron, film dan budaya massa lainnya yang begitu sering hadir baik secara langsung maupun melalui media komunikasi seperti televisi, internet, radio dan lain lain.
Alternatif jawaban
Mendekatkan wayang kepada generasi muda membutuhkan strategi kebudayaan meliputi (1) kebijakan politik, (2) edukasi yang membangun kultur/tradisi wayang di tengah publik, (3) inovasi wayang, dan (4) menjadikan wayang sebagai bagian dari ekonomi kreatif bangsa.
Pemerintah bisa memproteksi wayang melalui regulasi dan politik anggaran. Wayang membutuhkan dukungan kekuasaan agar tetap kokoh dan menjadi bagian penting kultur bangsa.
Melalui pendidikan baik formal maupun informal, generasi muda perlu didorong untuk mengapresiasi wayang dengan mengenal dan mencintai wayang. Dengan edukasi, maka problem yang terkait dengan bahasa, lakon, pesan sosial dan ajaran wayang mampu diatasi.
Lewat inovasi, bisa muncul karya-karya pergelaran wayang yang memberi nafas baru, tanpa harus merusak nilai-nilai dalam wayang. Idealnya, wayang kreatif dan inovatif, bisa bersanding dengan wayang klasik. Dibutuhkan pelajaran dan pelatihan terkait dengan filosofi, bahasa, teknik permainan, strategi komunikasi, pesan sosial maupun cara pengemasan pertunjukan.
Pada era industrial, wayang perlu didorong untuk memasuki langgam ekonomi kreatif, antara lain denganbersinergi dengan kekuatan ekonomi, industri, teknologi, seni dan budaya. Kita mengharapkan wayang mampu menjadi jagat kreatif yang mandiri secara ekonomi: memiliki basis sosial (penonton), basis ekonomi (pasar) dan basis budaya (orientasi nilai).
INDRA TRANGGONO Pemerhati Kebudayaan dan Sastrawan
(Kompas cetak, 24 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar