Hal dan bobot gradasi kasus itu berbeda dengan kasus lima penumpang KRL Jakarta-Bogor yang menganiaya Fatma Ika Haryati, petugas bagian tiket yang mendapati mereka tak punya tiket, Kamis malam. Masalahnya adalah menyangkut pelanggaran Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan dan pelanggaran UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.
Menjadi lebih serius karena pelakunya adalah pejabat, yakni Zakaria Umar Hadi, Kepala Badan Penanaman Modal Kepulauan Bangka Belitung, yang kini menjadi tersangka. Sesuatu yang relatif lebih dimaklumi jika dia belum pernah naik pesawat. Kita tidak ingin mencampuri proses hukumnya. Kita hanya ingin mengingatkan dampak buruknya, sekaligus menjadi bahan belajar bersama.
UU tentang Penerbangan yang mengadopsi peraturan penerbangan internasional menegaskan betapa fatal akibat buruk dari pelanggaran mematikan ponsel selama penerbangan. Pramugari menjalankan tugas sesuai tanggung jawab dan kompetensinya berikut sanksi jika dia lalai. Permintaan pramugari wajib ditaati semua penumpang tanpa kecuali karena merekalah tangan kanan pilot dan kopilot sebagai penanggung jawab utama selama terbang.
Dalam hal transportasi udara yang mengedepankan presisi, segalanya harus diselenggarakan dengan risiko sekecil mungkin. Presisi menjadi salah satu faktor penting, berlanjut dengan etika penumpang.
Yang sering kita saksikan seiring kemudahan orang naik pesawat adalah etika plus peraturan penerbangan dilanggar. Ponsel dihidupkan terus, tanda safety belt merah dibiarkan, dan mencoba merokok di kamar kecil adalah tiga contoh pelanggaran peraturan transportasi udara.
Tidak dalam konteks kekecualian seperti penumpang berebut bau dengan ayam di daerah pedalaman, keselamatan dijaminkan bagi seluruh penumpang. Penumpang yang menolak berarti membenturkan diri dengan hak asasi penumpang lain.
Jarang memang, kecelakaan transportasi udara disebabkan terganggunya alat navigasi oleh ponsel yang dihidupkan terus. Namun, mengambil hikmah dari kasus Nur Febriani, kita diingatkan tentang penegakan hukum serta dipatuhinya prosedur dan etika pengguna sarana transportasi udara—tiga hal yang biasa kita lalaikan.
Kasus itu hendaknya jadi pelecut untuk memberikan perhatian lebih kepada faktor dan hak keselamatan penumpang penerbangan. Jabatan membawa kenikmatan sekaligus tanggung jawab. Tingkat kesalahan seorang pejabat (publik) secara etis lebih berat dibandingkan yang bukan pejabat, apalagi mengetahui dan secara sengaja.
Semakin banyak orang yang menggunakan pesawat terbang mengharuskan penggalakan pengenalan peraturan perundangan dan pasal-pasalnya sebagai upaya preventif kecelakaan akibat ketidakdisiplinan penumpang.
****
(Tajuk Rencana Kompas, 11 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar