Sungguh menjadi ironi. Di tengah gencarnya gerakan pemberantasan korupsi, kebijakan yang diambil Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat justru berbanding terbalik.
Kebijakan Kejati Sumbar yang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terhadap 22 kasus korupsi yang menunggak di kejaksaan menjadi bukti tidak seriusnya kejaksaan menangani kasus korupsi.
Bak galodo yang menghanyutkan semua yang ada di alirannya, SP3 yang dikeluarkan Kejati Sumbar menutup hampir setengah kasus yang sedang mereka tangani. Terlebih lagi, di dalam 22 kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya itu terdapat kasus yang justru menjadi perhatian khusus, seperti kasus yang menyangkut kepala daerah. Jumlah kasus yang di-SP3-kan hampir separuh kasus korupsi yang sedang ditangani itu tentu menjadi perhatian nasional, dan tidak hanya masyarakat Minangkabau.
Kinerja lemah
Dengan keputusan ini, patut dipertanyakan kinerja kejaksaan dalam mengungkap kasus korupsi yang ditanganinya. Dengan di-SP3-kan 22 kasus korupsi ini, tentu masyarakat dapat berasumsi, kejaksaan lemah dalam melakukan pemberantasan korupsi. Padahal, kejaksaan juga seharusnya menjadi ujung tombak, di samping KPK, dalam usaha memberangus korupsi.
Kejaksaan merupakan lembaga negara yang diberi wewenang melakukan penuntutan terhadap kejahatan yang terjadi di masyarakat. Kasus korupsi yang merupakan salah satu extraordinary crime (kejahatan luar biasa) mestinya juga menjadi agenda besar kejaksaan. Selain penuntutan, dalam penanganan kasus korupsi, kejaksaan justru diberi wewenang semenjak penyidikan. Dengan kewenangan itu, seharusnya kejaksaan dapat menjadikannya sebagai kekuatan yang difungsikan sepenuhnya untuk tujuan pemberantasan korupsi. Artinya, kejaksaan harusnya menjadi pemberantas korupsi, bukan malah menjadi pengampun melalui SP3.
SP3 yang dikeluarkan Kejati Sumbar menggunakan alasan-alasan klise yang tidak dapat dibuktikan. Terlebih lagi, terlihat dari upaya kejaksaan menutup-nutupi proses penetapan SP3 dengan tidak memberikan akses kepada masyarakat agar dapat menilai kebenaran SP3.
Salah satu alasan pemberian SP3 adalah kurangnya bukti. Padahal, beberapa kasus yang termasuk di-SP3-kan justru telah memiliki tersangka. Selain itu, dari data yang dimiliki pelapor dan mengawal jalannya kasus itu, juga dapat disimpulkan tidak ada alasan untuk menyatakan kasus korupsi itu dapat di-SP3-kan. Andai memang belum cukup bukti, kejaksaan tidak dapat seenaknya menutup kasus begitu saja. Sebab, kejaksaan merupakan alat negara yang ditujukan untuk menjamin tercapainya rasa keadilan masyarakat.
Seharusnya, kejaksaan berupaya lebih keras dalam menggali fakta-fakta hukum agar dapat membuktikan kasus-kasus korupsi itu. Bukan malah menyerah dan lepas tanggung jawab, kemudian penyelesaian terhadap menumpuknya tugas penanganan kasus korupsi tersebut dilakukan dengan cara mengambil jalan pintas, yakni dengan meng-SP3-kan kasus-kasus itu.
Selain itu, tindakan tersebut juga tidak dapat dibenarkan karena butuh waktu lama dalam proses penyelidikan dan penyidikan sebelum kasus korupsi di-SP3-kan. Sebab, di dalam UU Tindak Pidana Korupsi tidak diatur batas waktu penyelidikan dan penyidikan. Artinya, meski butuh waktu yang cukup lama dalam penyelidikan dan penyidikan, hal itu tak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan keputusan SP3 Kejati Sumbar.
Sisi hitam
Sikap kejaksaan yang menerbitkan SP3 massal telah menimbulkan stigma bahwa kejaksaan telah menentang arus pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi yang menjadi agenda prioritas bangsa ini justru diwarnai dengan kemalasan kejaksaan dalam bekerja menjalankan tugasnya. Kasus korupsi telah merugikan keuangan negara yang secara tidak langsung menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat di negeri ini.
Padahal, kita tahu, negara kewalahan dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan rakyat. Ironisnya, masih ada saja pihak-pihak yang dengan enaknya mengantongi kekayaan negara yang bukan haknya melalui tindakan koruptif.
Karena itu, keputusan kejaksaan yang meng-SP3-kan 22 kasus tersebut tidak hanya menyangkut hubungan antara kejaksaan dan para terduga koruptor. Namun, hal itu juga merupakan permasalahan yang sangat mengganggu rasa keadilan dalam masyarakat. Pertanyaannya, apabila kejaksaan memang tidak sanggup untuk menangani kasus-kasus tersebut, haruskah pengadilan rakyat yang akan menghukumnya?
Jawabannya tentulah tidak karena negara ini adalah negara hukum. Karena itu, segala tindak-tanduk perbuatan haruslah sesuai dengan hukum. Namun, dengan kinerja aparat penegak hukum seperti yang terpapar, rakyat tentu tidak akan tinggal diam. Boleh jadi, sewaktu-waktu pengadilan rakyat yang akan menghukum para terduga koruptor karena ketidakmampuan kejaksaan dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.
Kebijakan SP3 kasus korupsi yang mengejutkan ini juga menimbulkan kecurigaan bahwa keputusan untuk meng-SP3-kan kasus korupsi itu tidak sesuai prosedur dan menyisakan sejumlah pertanyaan. Karena itu, kebijakan Kejati Sumbar yang tidak pro pemberantasan korupsi ini seyogianya dievaluasi dan diaudit sehingga dapat membuka tabir yang menutupi kebenaran. Dengan dasar itu, apabila kecurigaan adanya tindakan koruptif di balik kewenangan kejaksaan memang benar terjadi, hukum juga harus bergerak untuk membersihkan oknum-oknum kejaksaan yang bermain dalam kebijakan yang tidak pro pemberantasan korupsi ini.
Dengan demikian, kekuasaan yang diberikan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum haruslah dijalankan dengan sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan. Terlebih lagi, dalam pemberantasan korupsi, karena korupsi secara nyata telah membebani negara ini, kejaksaan tidak mampu mewujudkan tujuannya dalam menyejahterakan rakyat. Dalam kaitan tersebut, kejaksaan seharusnya menjadi pendekar pemberantas korupsi, bukan malah menjadi pahlawan bagi langgengnya kehidupan koruptor di Tanah Air Indonesia ini.
Muh Ridha Hakim Peneliti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas
(Kompas cetak, 5 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar