Ketahanan menghadapi tantangan zaman menjadi keharusan. Itulah yang menjadi refleksi harian ini saat memperingati hari ulang tahun ke-48, 28 Juni 2013. Salah satu gugatan yang paling menggelitik adalah, "Apa lagi yang dapat dilakukan Kompas dan pers Indonesia?" Pertanyaan itu tidak mengada-ada. Sebab, lepas dari sekadar untuk diri sendiri, Kompas yang lahir di era penuh gejolak di pertengahan tahun 1965 juga menjadi saksi atas zaman itu, dan juga zaman sesudahnya hingga hari ini.
Kini, 15 tahun setelah Reformasi, kita berharap ada kemajuan besar yang diukir negara kita. Benar, RI telah masuk menjadi kelompok elite dunia G-20, laju pertumbuhannya relatif tidak mengecewakan, demikian pula pendapatan per kapita warganya. Namun, bagi insan pers dan semua warga yang peduli, makin sering mengemuka perasaan dan pertanyaan, "Tetapi, terasa benar masih ada lubang besar yang menganga dalam kehidupan berbangsa kita." Misalnya, sering kita bergumam, "Kok begitu, ya, perilaku politisi kita?" Atau, "Kok masih banyak juga kaum miskin di tengah masyarakat kita justru ketika sebagian di antaranya semakin kaya?"
Kita juga mengamati, negara semakin bergantung pada asing, bahkan untuk kebutuhan dasar strategis, seperti pangan dan energi. Ketahanan kita di kedua bidang pokok tersebut sekarang ini rapuh.
Pers terusik dengan realitas seperti itu. Dalam idiom pers, kita memang sudah bebas dari (free from), tetapi lalu bebas untuk apa (free for).
Tersirat kita memikirkan, sebetulnya pers bisa menggali sistem pemilu seperti apa yang bisa menghasilkan anggota legislatif yang lebih berbobot daripada yang dihasilkan pemilu beberapa waktu terakhir.
Dalam sambutan saat menerima Penghargaan Cendekiawan Berdedikasi yang diberikan harian ini, Karlina Supelli menyebutkan, sejumlah bankir tertarik belajar filsafat ekonomi karena terganggu nuraninya melihat arah perkembangan ekonomi saat ini.
Ya, kita yakin masih ada reportase yang bisa didedikasikan pers demi perikehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik dan bermartabat. Amanah itu niscaya harus dilakukan segera, betapa pun pers sendiri dewasa ini tengah menghadapi guncangan yang tidak ringan. Gegap gempita media baru, yang telah merebut hegemoni media konvensional, menjadi wacana aktual. Namun, pemikir pers seperti Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam bukunya—Blur—tetap mengingatkan, justru di era simpang siur informasi sekarang ini, pers tetap dituntut pintar menghadirkan informasi yang benar.
Kita berpandangan, bukan saja informasi yang benar, melainkan juga yang menginspirasi bagi lahirnya masa depan Indonesia yang lebih baik dan sejahtera.
(Tajuk Rencana Kompas, 28 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar