Tajuk rencana harian ini, menyambut Hari Kelahiran Pancasila 1 Juni, tahun 2011 menaruh judul "Pancasila di Ujung Tanduk". Di hari, tahun, dan rubrik yang sama, tajuk rencananya berjudul "Pancasila Masuk Kotak". Dan, dalam rentang waktu tiga tahun, 2011, 2012, 2013, kecemasan Pancasila berada di ujung tanduk dan masuk kotak terjadi.
Kesaktian Pancasila yang dulu diagungkan, bagi generasi kemudian dianggap sebagai rekayasa Orde Baru, diteruskan rezim Reformasi. Upaya menghidupkan kembali kesaktian Pancasila jadi utopia. Belakangan bahkan ingin dikembangkan paradigma sebagai salah satu pilar kehidupan berbangsa selain UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Menempatkannya sebagai salah satu pilar tidak langsung mendegradasi bobot Pancasila.
Kesaktian Pancasila terletak posisi ideologis dasar negara. Ketika Pancasila tidak lagi dianggap sebagai batu sendi dan common platform bernegara Indonesia, apalagi tidak jadi wacana publik, kesaktiannya punah. Pancasila tidak lagi hanya berada di ujung tanduk dan masuk kotak, tetapi juga terbuang percuma. Olah pikir di atas perlu diapresiasi sebagai upaya revitalisasi nilai-nilai Pancasila. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila terbuka dikembangkan sesuai dengan kebutuhan aktual, terutama dalam dan untuk praksis bernegara dan bermasyarakat Indonesia.
Hasil perenungan Soekarno "di bawah pohon sukun" di Ende 70 tahun lalu disampaikannya 7 tahun kemudian di depan Sidang BPUPKI, 1 Juni 1945. Sebuah masterpiece. Menurut Daniel Dhakidae, ini menempatkan Soekarno sebagai seorang ideolog negara (state ideologist).
Saat ini, persoalan tak lagi pada makna kelima sila serta pengertian dan penjabarannya, tetapi pada implementasinya. Di situlah terletak ketidaksaktian Pancasila. Hampir semua sila ditabrak. Perilaku berkebalikan dengan semua sila membabi-buta terjadi. Dikatakan sebagai perilaku anti-Pancasila, sudah pasti marah, tetapi itulah kenyataan kita sehari-hari.
Kita menghidupkan kesaktian Pancasila kalau: 1. Partai, penguasa, dan kroninya tidak menjadi tempat berlindung koruptor. 2. Elite politik—maksud kita pejabat dan anggota DPR—tidak aji mumpung, bahkan aktif menggangsir anggaran. 3. Pemeluk agama bisa aman menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya. 4. Kehidupan yang layak, terdidik, dan sehat dinikmati rakyat—setidaknya—jadi agenda kerja praksis pemerintahan.
Politik pencitraan oke ketika awal atau sebelumnya di masa kampanye, tetapi dalam sisa waktu tinggal satu tahun, gaya ini perlu diganti dengan langkah konkret dan eksekutif. Jangan sampai sejarah berulang, pemerintahan masa lalu serba hitam. Itulah aktualisasi kesaktian Pancasila, acuan pekerjaan rumah kita bersama! Sekaligus membangun kesadaran bersama tentang gawatnya keadaan.
***
(Tajuk Rencana Kompas, 1 Juni 2013)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Tidak ada komentar:
Posting Komentar